SAGA
"Perubahan iklim merupakan masalah bersama, tak pandang latar belakang agama"
Peserta Tur Rumah Ibadah GreenFaith saat mengunjungi Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta. (Foto: dok GreenFaith).
KBR, Jakarta - Clarissa Paath (38) tak pernah terpikir bakal menjejakkan kaki ke tiga tempat ini: Masjid Istiqlal, kantor PP Muhammadiyah, dan Klenteng Hok Tek Tjeng Sin.
“Aku lahir dan besar di Jakarta aku belum pernah ke Masjid Istiqlal. Kalau ke PP Muhammadiyah apalagi ya, ngapain juga ke sana? Nah, di Vihara (Hok Tek Tjeng Sin) juga aku belum pernah, (meski) sering lewat,” kata Clarissa.
Ketiga tempat itu, ia kunjungi sekaligus dalam sehari, saat mengikuti tur rumah ibadah 6 agama, yang digelar GreenFaith Indonesia, awal Juni 2024 lalu.
“Aku berpikir gimana ya caranya bisa membawa isu lingkungan ini ke gereja aku, ke lingkungan Kristen ini. Makanya aku tertarik untuk GreenFaith supaya bisa belajar dari teman-teman lintas agama untuk membawa isu ini ke agama kita sendiri,” tutur dia.
Clarissa mendaftar atas inisiatif sendiri. Ia ingin belajar bagaimana pemeluk agama lain berkontribusi memitigasi perubahan iklim.
“Di Istiqlal itu lebih dari yang kuharapkan karena lumayan dapat informasi-informasi dasar mengenai penerapan penggunaan energi panel surya. Jadi kebayang, oh kalau untuk penerapan di rumah atau kita mau pasang untuk keperluan sendiri atau organisasi sendiri seperti ini aplikasinya,” ucapnya.
Inovasi hijau
Saat mengunjungi Masjid Istiqlal, Clarissa dan puluhan peserta lain dikenalkan dengan program Wakaf Energi.
Kepala Subbidang Pemeliharaan Masjid Istiqlal, Suhendri, mengatakan, lewat program ini, publik diajak berkontribusi mendanai panel surya untuk memasok listrik masjid.
“Jadi kalau sedekah suka dimasukkan ke kotak amal, untuk sumbangan ke mana gitu. Nah, kita ada program Wakaf Energi,” kata Suhendri.
Baca juga: Jalan Lurus Putus-Putus Malik Ros, Rapper Ahmadiyah
Solar panel di Masjid Istiqlal, Jakarta dibangun sejak 2019 memasok 16 persen kebutuhan listrik masjid. (Foto: dok GreenFaith Indonesia).
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Istiqlal dibangun sejak 2019 dan mulai digunakan setahun kemudian.
Total ada 504 panel terpasang yang bisa memproduksi sekitar 160 ribu watt. Ini baru mengkaver 16 persen kebutuhan masjid.
“Kalau cuaca terik banget, umpamanya bulan Maret, dari mulai tanggal 1 atau pokoknya banyak matahari, itu bisa sampai 19 persen. Jadi kita bayar listrik biasanya Rp190 juta, Rp180 juta (sebulan). Dengan adanya ini (solar panel), dia bisa menghasilkan Rp29 juta,” terang Suhendri.
Konsep masjid ramah lingkungan makin lengkap karena Istiqlal mengelola sendiri air limbah. Selain itu, mereka menggunakan keran hemat air.
Adopsi energi terbarukan dengan PLTS atap juga bisa ditemukan di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka pun mengelola air limbah untuk menyiram tanaman dan kendaraan.
Muhammadiyah sudah memiliki Majelis Lingkungan Hidup sejak 18 tahun lalu. Di majelis ini, Hening Parlan menjabat sebagai Wakil Ketua. Ia juga Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia.
“Dengan berkumpulnya teman-teman beragama, kita ingin saling sadar bahwa masing-masing agama kita mempunyai kekuatan yang luar biasa. Karena kita memang diwajibkan untuk menjaga lingkungan, merawat lingkungan, dan memuliakan bumi. Dari masing-masing kepercayaan kita bisa membuatnya dalam bentuk aksi. Aksi itu tidak bisa masing-masing agama, justru dengan bersama-sama kita bisa saling memperkuat satu dengan yang lain,” kata Hening.
Baca juga: Minoritas Menanti Langkah Progresif Rancangan Perpres PKUB
Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, Hening Parlan. Ia juga menjabat Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup di Muhammadiyah. (Foto: dok GreenFaith Indonesia).
Dengan mengikuti Tur Rumah Ibadah, Clarissa makin paham krisis ekologi adalah problem bersama, apapun agamanya.
“Aku semakin percaya sih, walaupun dinamika di Indonesia seperti apa, masih banyak orang-orang di Indonesia yang juga menerapkan toleransi. Dan kita tahu kok kita berbeda-beda tapi kita harus bersatu,” kata Clarissa.
Dampak krisis iklim sudah nyata dirasakannya saban hari.
“Kalau kita di rumah aja panas banget, kita jadi bergerak pengin pasang AC. Dulu mungkin kita pengin pasang AC pas tidur aja saat malam. Sekarang kita tergoda untuk pasang dari siang hari, efeknya tagihan listrik naik. Efek lainnya harga kebutuhan pangan naik,” tutur dia.
Ia mengerti lonjakan harga bahan pokok juga imbas kondisi iklim yang tak menentu. Pembagian musim hujan dan kemarau kian sulit dijadikan patokan. Bencana pun rentan terjadi di mana-mana.
“Sebagai orang yang tinggal di kota besar, orang urban, kita merasanya, kok tadi panas banget sekarang kok jadi hujan. Musim banjir jadi enggak terantisipasi, dulu kan, di Jakarta itu Januari-Februari kita antisipasi, tapi sekarang bulan apapun kita bisa siap-siap banjir,” ujar Clarissa.
Peran rumah ibadah
Rumah ibadah bukan hanya tempat ritual, tetapi juga pusat pengetahuan dan aksi, salah satunya tentang isu lingkungan.
Di Pura Adhitya Jaya, Jakarta Timur, umat Hindu diajarkan tentang kewajiban menjaga keseimbangan dengan alam.
Pinandita Pengayah Pura Adhitya Jaya, I Gde Wiyadnya menjelaskan ajaran Tri Hita Karana.
“Pertama, parahyangan, bagaimana kita mengharmonisasikan diri kita ke atas, Tuhan yang Maha Esa. Kedua, bagaimana kita mengharmonisasikan dengan pawongan, wong itu manusia atau kelompok manusia. Ketiga, palemahan, bagaimana kita mengharmonisasi dengan alam semesta,” kata Gde.
Rumah ibadah agama Hindu didesain ramah lingkungan. Praktik baik ini diharapkan dapat menginspirasi umat.
“Kita berusaha membangun (rumah) ibadah di tempat terbuka, sehingga kita bisa menanam pohon, memberikan oksigen, mendaur ulang karbondioksida, dengan adanya tanaman, ada tanah, ada penyerapan” jelas Gde.
Baca juga: Ateis di Era KUHP Baru, Dulu Rentan Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)
Clarissa Paath (tengah) dan Hanifah (kanan), peserta Tur Rumah Ibadah saat berkunjung ke PP Muhammadiyah, Jakarta. (Foto: dok GreenFaith Indonesia)
Di Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Paulus, ajaran tentang penyelamatan lingkungan disampaikan saat ibadah. Ajaran ini dipraktikkan di keseharian. Misalnya, meminimalkan penggunaan kertas dan menyediakan fasilitas pemilahan sampah di area gereja.
Menurut sang pendeta, Rommi Matheos, GPIB Paulus juga punya program Gerakan Layanan Masyarakat dan Lingkungan yang disingkat Germasa.
“Ada tema soal lingkungan hidup dalam firman Tuhan. Itu kita sampaikan melalui ibadah setiap Minggu. Setelah diberi pemahaman yang benar, baru kita menyampaikan apa tindakan yang bisa dilakukan melalui program-program pelayanan yang memang sudah diputuskan dalam sidang majelis jemaat,” kata Rommi
Rukun untuk lestari
Hanifah, mengapresiasi kegiatan Tur Rumah Ibadah. Pemeluk agama Islam ini turut menjadi peserta dari Yayasan Bakti Budi Pertiwi, Bogor. Menurutnya, program bisa menguatkan toleransi antarumat beragama sekaligus pelestarian lingkungan.
“Membuka ruang perjumpaan terutama di antara orang-orang muda. Saya pikir ini harapan untuk membangun kesepahaman, membangun isu bersama untuk merespons masalah-masalah sosial di Indonesia. Ini langkah konkret untuk membangun gerakan, selain untuk mempromosikan perdamaian dan toleransi,” ujar Hanifah.
Hanifah bilang, kerukunan antarumat beragama bisa menjadi modal penting untuk menghadapi berbagai tantangan baru soal lingkungan.
“Kalau kemarin security itu ngomongin konflik, perang, saat ini isu climate change, ketersediaan air bersih, ketahanan pangan menjadi isu security yang memang harus kita hadapi. Jumlah penduduk yang terus bertambah membuat SDA semakin menipis dan kita enggak tahu, apakah sampai di generasi kita ataukah anak cucu kita masih bisa mengakses sumber daya yang kita miliki saat ini,” pungkasnya.
Baca juga: Ateis di Era KUHP Baru, Dulu Rentan Sekarang Lebih Rentan (Bagian 2)
Penulis: Hoirunnisa
Editor: Ninik Yuniati