NUSANTARA

Deteksi Dini Kebutaan Akibat Diabetes, UGM Ciptakan Kamera Fundus Berbasis Smartphone

Kamera ini dapat mendeteksi secara dini risiko kebutaan pada pasien diabetes. Inovasi alat tersebut dapat menjadi solusi untuk masalah keterbatasan akses screening retinopati diabetika di Indonesia.

AUTHOR / Ken Fitriani

EDITOR / Resky Novianto

diabetes
Guru besar FKMK UGM, Bayu Sasongko sedang memperlihatkan cara kerja kamera fundus portabel berbasis smartphone di Yogyakarta, Selasa (19/11/2024). Foto: KBR/Ken

KBR, Yogyakarta- Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan angka pengidap diabetes di Indonesia saat ini telah mencapai 19,5 juta jiwa pada 2021. Jumlah tersebut diprediksi akan melonjak hingga mencapai 28,5 juta penderita pada 2045. Padahal, penyakit diabetes berpotensi membuat pasien mengalami kebutaan.

Saat ini diperkirakan sudah sekitar 1,5 juta pasien diabetes yang mengalami kebutaan akibat penyakit tersebut. Sementara deteksi dini untuk pemeriksaan mata pasien diabetes masih sulit dilakukan.

Sebab, peralatan kesehatan seperti fundus camera untuk mendeteksi kebutaan pasien diabetes di rumah sakit masih sangat mahal dengan harga mencapai Rp 600-700 juta.

Ironisnya, tren menunjukkan penderita diabetes semakin muda. Jika dulu banyak terjadi pada usia 45-50 tahun, kini banyak yang sudah mengalami kebutaan akibat diabetes pada usia 35 tahun.

Berangkat dari fakta tersebut, peneliti sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM FKKMK UGM, Bayu Sasongko, berinisiatif mengembangkan kamera fundus portabel berbasis smartphone.

Kamera ini dapat mendeteksi secara dini risiko kebutaan pada pasien diabetes. Inovasi alat tersebut dapat menjadi solusi untuk masalah keterbatasan akses screening retinopati diabetika di Indonesia.

"Jadi cara kerjanya alat ini ditempelkan pada smartphone. Kemudian ini didekatkan mata kemudian ini mode kamera langsung kita ambil ke foto retinanya, jadi sangat sederhana. Semua punya smartphone, kemudian perkembangan kamera pada smartphone semakin baik, semakin canggih, resolusinya semakin bagus sehingga mengambil gambar retina semakin mudah dilakukan dengan smartphone," katanya di sela workshop Inovasi Model Layanan Skrining Retinopati Diabetika Yogyakarta, Selasa (19/11/2024).

Bayu menjelaskan pengembangan alat tersebut dilakukannya selama enam tahun sejak 2018 lalu. Melalui sejumlah pengembangan prototype, akhirnya alat tersebut berhasil dia buat.

Alat ini memiliki tingkat akurasi sekitar 85 persen dibandingkan dengan foto fundus di rumah sakit.

"Hasil foto dapat langsung dikirim ke tenaga medis melalui sistem konsultasi jarak jauh," ujarnya.

Bayu menjelaskan, gambar retina ini sangat penting terutama dalam konteks skrining atau penapisan dini retinopati diabetika. Retinopati diabetika adalah komplikasi diabetes yang samgat sering terjadi dan menyebabkan kebutaan permanen.

"Kebutaan itu tidak bisa disembuhkan, tidak bisa dikembalikan. Jadi kalau sudah tidak bisa lihat atau pandangannya turun pada diabetes akibat retinopati diabetika ini tidak bisa kembali, sehingga sangat penting dilakukan skrining untuk mengetahui dari awal sejak belum ada komplikasi, komplikasi tahap ringan, sedang, berat, sampai tahap lanjut," tandasnya.

Bayu menjelaskan, melalui tahapan tersebut, nantinya bisa dilacak kemudian melakuka penanganan maupun intervensi dan penanganan yang diperlukan untuk mencegah kebutaan.

"Alat ini mendeteksi lebih awal. Jadi sebelum kebutaan,itu ada fase-fase, tahap-tahap yang dilalui. Sebelum terjadi kebutaan, alat ini tujuannya mendeteksi. Kalau penderita diabetes penglihatannya masih bagus, itu harus dilakukan skrining. Harus diambil foto retinanya. Kenapa? Kalau masih bagus kita harus ikuti, misal setahun lagi, enam bulan lagi itu harus diikuti, " ujar dokter RS Sarjito itu.

Lebih lanjut Bayu mengatakan, melalui pemeriksaan secara berkala kepada penderita diabetes itu, akan terlihat perkembangan retinopati nya. Jika retinopati bertambah buruk, maka bisa dilakukan penanganan lebih awal.

"Perjalanan retinopati diabetika ini seringkali tidak menimbulkan gejala. Jadi di tahap awal, dimana itu harus dilakukan penanganan itu biasanya pasien belum merasakan apa-apa. Penglihatan masih baik. Itulah mengapa skrining itu sangat penting karena begitu pasien sudah mengeluh pengelihatannya turun, itu kecenderungannya sudah permanen dan tidak bisa jelas lagi, apalagi kalau sudah tidak bisa melihat. Tapi kalau masih bagus pengelihatannya bisa kita pertahankan dengan catatan diabetesnya juga terkontrol," terangnya.

Bayu menambahkan, penanggulangan penyakit retinopati diabetika ini sangat mahal. Jika penyakit itu terdeteksi lebih awal maka biaya yang dikeluarkan bisa jauh lebih murah daripada sudah tahap lanjut. Selama ini ya g biasa dilakukan pasien ketika datang ke rumah sakit adalah pasien melakukan foto fundus dengan alat standar rumah sakit yang canggih.

"Alat itupun harganya sangat mahal sekali. Dari situ karena mahal itu tidak mungkin dilakukan secara massal. Padahal idealnya skrining ini dilakukan di tingkat masyarakat, di puskesmas atau komunitas," katanya.

Bayu menambahkan, harga jual alat buatannya itu memang masih belum pasti. Sebab saat ini masih dalam pengurusan izin edar dan pengusulan topik prioritas untuk teknologi kesehatan di Kementerian Kesehatan.

"Tergantung rekomendasinya tapi ini estimasinya masih di bawah Rp 20 juta," pungkasnya.

Baca juga:

- Kemenkes: 30 Persen Masyarakat Konsumsi Gula, Garam, Lemak Berlebih

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!