BERITA

Saling Menguatkan Bersama Yayasan Penyintas Indonesia

""Untuk perdamaian, kita sandingkan antara korban dan mantan pelaku baik di sekolah, lapas, para jurnalis dan ulama""

Tyas Sukma Amalia

Saling Menguatkan Bersama Yayasan Penyintas Indonesia
Ilustrasi: Yayasan Penyintas Indonesia (YPI)

KBR,Jakarta - Banyaknya tragedi bom atau kasus radikalisme yang terjadi di Indonesia, membuat para penyintas atau keluarga korban saling merangkul dan bersatu. Kebersamaan dan rasa saling menguatkan itu, mereka wujudkan dengan mendirikan sebuah yayasan. Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), namanya.

Yayasan ini dibentuk dari beberapa komunitas korban, seperti korban serangan bom di JW Marriott, bom Kuningan dan korban bom Bali I dan II. Ketua Yayasan Penyintas Indonesia, Sucipto, yang juga korban bom kuningan 2004, mengatakan tujuan didirikannya yayasan ini, selain untuk berbagi cerita dan kepedulian, sosialisasi perihal misi-misi perdamaian, juga untuk menumbuhkan semangat kepada penyintas. Seluruh pengurus yayasan ini adalah orang-orang yang menjadi korban tragedi bom.


"Salah satu kegiatan YPI yaitu kampanye kesekolah-sekolah. Untuk perdamaian, kita sandingkan antara korban dan mantan pelaku baik di sekolah, lapas, para jurnalis dan ulama,” ujar Sucipto, saat menjadi pembicara di acara 10 Tahun LPSK Dalam Wajah Hukum Indonesia, Kamis (18/10/2018).


Menurut data yang dimiliki YPI, korban tragedi bom yang terjadi di Indonesia, berjumlah sekitar 200. Sementara anak-anak, sekitar 50 orang. Data ini akan diupdate secara bertahap. YPI juga akan membawa data ini ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK maupun ke Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT.


Untuk saling menguatkan dan mempererat kebersamaan satu sama lain, anggota yayasan ini selalu memperingati hari, dimana peristiwa yang mengguncangkan Indonesia dan dunia itu terjadi. Selain menjadi korban, mereka juga jadi saksi sejarah tragedi kelam itu.


"Biasanya kita kumpul. Setiap peringatan pasti diperingatin. Terakhir, di Bali bulan Oktober. Waktu itu malah 11 September kami kumpul di Ragunan, jadi semua keluarga kumpul. Kita becanda, saling menguatkan, anak-anak kita sudah pada besar. Sudah puluhan kasus gitu ya, empat belas tahun yang lalu," ujar Sucipto.


Sucipto menceritakan, ada seorang ibu bernama Ni Luh Ernita,  berasal dari Bali. Waktu anaknya masih kecil, si buah hati berharap bapaknya pulang, tapi bapaknya sudah meninggal. Ni Luh Ernita, berusaha menutupi apa yang terjadi. Ia tak berani mengatakan pada anaknya, bahwa bapaknya meninggal karena bom. Ketika sang anak sudah besar dan masih menanyakan di mana keberadaan bapaknya, Ni Luh akhirnya menceritakan yang sebenarnya.


“Kini anak kecil itu sudah dewasa dan telah bekerja di Bali. Mereka survive. Malah ibunya sekarang yang dibantu oleh anaknya untuk penguatan,” kata Sucipto.


Untuk penanganan anak-anak yang masih trauma, Sucipto menerangkan, biasanya akan dilakukan rehabilitasi mental, seperti acara kumpul bersama atau refreshing. Di Bali, menurutnya, sudah ada dana pendidikan untuk para korban dan diskusi sosial untuk usaha.


Layanan LPSK


Tahun 2018, merupakan tahun ke-10 terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).


Lembaga ini adalah harapan masyarakat dalam memberikan pemenuhan hak atas mereka yang menjadi saksi dalam suatu tindak pidana maupun menjadi korban dalam suatu tindak pidana. Bagi korban yang terluka akibat bom, termasuk layanan medis, saat ini ditanggung oleh LPSK.


“Jadi waktu itu YPI di-assessment, akhirnya diputuskan mendapatkan buku hijau. Dalam assessment itu merekomendasikan YPI agar mendapat dokter dan rumah sakit. Itu assessment awal, bahwa mereka harus dinyatakan korban, supaya bisa mendapatkan (perawatan medis). Sekarang birokrasinya harus ke BNPT dulu untuk mendapat status korban,” jelasnya.


Sucipto berharap, layanan medis dari LPSK kepada korban penyintas, bisa diperpanjang menjadi per enam bulan, atau satu tahun bahkan seumur hidup. “Karena luka bom ini, terutama yang terkena syaraf-syaraf, seperti bom yang terjadi di Kuningan itu, kebanyakan syaraf-syaraf yang kena. Nanti itu beberapa tahun bisa sakit, itu harusnya mendapat jaminan," harapnya.


"Penanganan LPSK bagus, tapi namanya manusia inginnya cepat dan segera terealisasi. Bagus, tapi kurang maksimal. Terutama saya pengennya empati dari seluruh yang ada di LPSK itu ada di korban. Maksudnya, punya rasa humanisnya gitu, rasa kemanusiannya yang penting banget, bukan sekedar kerja, saya pikir itu yang penting banget," tambah Sucipto.  

  • Korban Bom
  • Terorime
  • YPI
  • Yayasan Penyintas Indonesia
  • Penyintas
  • bom

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!