BERITA

Meski Dirusak, Sedekah Laut Tetap Berlanjut

Meski Dirusak, Sedekah Laut Tetap Berlanjut

KBR, Yogyakarta - Sembilan orang dicokok polisi. Mereka diduga pelaku perusakan properti kegiatan sedekah laut di Pantai Baru, Ngentak, Poncosari, Srandrakan, Bantul, Yogyakarta, pada Jumat (12/10/2018). Akibatnya, meski tradisi budaya ini tetap dilaksanakan, tapi mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian.

Pemerintah Kabupaten Bantul menyayangkan terjadinya perusakan properti sedekah laut yang diduga dilakukan oleh sekelompok orang yang menamakan diri, Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta. Penyerangan dilakukan karena front beranggapan, sedekah laut adalah perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan.

Kepada KBR, Bupati Bantul, Suharsono menjelaskan, pelaksanaan tradisi sedekah laut selama ini selalu berjalan aman dan lancar-lancar saja. Karena, ini merupakan kegiatan budaya lokal, yang dilaksanakan dengan harapan menolak bencana. Diantara ritual kegiatannya adalah melakukan pemotongan kepala kerbau di kawasan Pantai Selatan.

"Itu bukan berarti musyrik, tidak. Itu budaya. Jangan dihubungkan antara agama dengan kebudayaan. Tiap daerah-daerah punya kebudayaan masing-masing, seperti di Bali, juga Sulawesi. Melakukan acara ritual seperti itu, bukan berarti musyrik," kata Suharsono, pada Minggu (14/10/2018).

Lebih lanjut, Suharsono mengaku, meski sempat mengalami perusakan properti, tapi kegiatan sedekah laut tetap berlangsung. Hanya saja, tidak berlangsung meriah seperti rencana awal.

Suharsono mengklaim, sempat pula punya pengalaman berhadapan dengan kelompok FJI Yogyakarta ini. Ia mengaku, pernah didemonstrasi karena mengangkat non-muslim sebagai camat.

Berkaca dari pengalaman ini, Suharsono berniat memperketat pengamanan kegiatan sedekah laut pada tahun depan. Mengapa? Karena, kebudayaan ini harus tetap dijaga. "Ini tradisi nenek moyang. Harus dilestarikan," kata bupati.

Anarkisme Akibat Interpretasi Budaya

Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Arie Sudjito menyatakan perusakan properti acara sedekah laut, merupakan tindakan anarkis dan sewenang-wenang, akibat persoalan interpretasi budaya.

Arie mengklaim, setiap tahun Keraton Yogyakarta juga menyelenggarakan ritual kebudayaan, yang diantaranya berupa prosesi merti desa, nyadran dan sebagainya. Semua itu memiliki nilai historis masing-masing.

"Mereka enggak suka, ya jangan merusak dan bertindak anarkis dan sewenang-wenang seperti itu. Ini termasuk persoalan tentang interpretasi budaya, kemudian melakukan tindakan yang sewenang-wenang, itu tidak boleh. Misalnya Keraton (Yogyakarta) itu kan seringkali membuat acara di Laut Selatan dan sebagainya, (Gunung) Merapi juga seperti itu, (kemudian) tradisi merti desa di berbagai desa juga ada, ya masak seperti kayak gitu-gitu dirusak, kan tidak boleh," kata Arie Sudjito saat dihubungi  KBR, Minggu (14/10/2018)

Menurut Arie, tindakan kekerasan maupun perusakan sangat melanggar norma dan aturan hukum, maka pelakunya wajib dilakukan penindakan oleh pihak kepolisian sesuai hukum yang berlaku.

"Melakukan tindakan kekerasan atau perusakan itu tidak dibenarkan. Kalau tidak suka, ya silakan dialog. Jangan melakukan tindakan sewenang-wenang, ini ada aturan mainnya, yang melakukan perusakan itu harus diproses secara hukum," pinta Arie.

Hal senada disampaikan Halili, Direktur Setara Institute. Menurutnya, perusakan properti sedekah laut di Bantul, Yogyakarta, merupakan suatu bentuk penebalan identitas suatu kelompok atau individu, yang bersamaan dengan kuatnya eksistensi. Akibatnya, muncul keinginan keras untuk menolak identitas yang berbeda dari kelompoknya.

"Kita, pada masa lalu sudah biasa berinteraksi dengan perbedaan masing-masing. Nah sekarang, penebalan identitas itu bersamaan dengan penguatan eksistensi, jadi kita ini kuat pada identitasnya masing-masing, tapi juga keras keinginan kita untuk menolak identitas yang berbeda. Itu yang jadi masalah," ujarnya.

Di lain pihak, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yogyakarta Thoha Abdurrahman mengatakan, kegiatan kebudayaan sedekah laut seharusnya tetap bisa dilakukan. "Masyarakat musti toleran dengan kegiatan-kegiatan yang menyuarakan doa atau selamatan," tuturnya.

Front Jihad Islam Yogyakarta Membantah

Di lain pihak, panglima FJI Yogyakarta, Abdurrahman membantah ormasnya melakukan perusakan properti. Meskipun, Abduraahman membenarkan, FJI Yogyakarta yang berkekuatan 50 personil, Jumat malam itu memang datang ke lokasi acara sedekah laut.

Kehadiran FJI Yogyakarta untuk mengingatkan, bahwa sedekah laut itu musyrik, yang kalau dilakukan, maka bisa mendatangkan bencana.

"Kalau perusakan kita enggak tahu ya. Karena waktu kejadian itu enggak ada perusakan. Dan dari warga sendiri yang membubarkan acara itu. Itu tidak ada perusakan. Itu hanya himbauan saja. Karena kan terjadi pro-kontra untuk kegiatan kesyirikan itu. Kita mencegah kemusyrikan dengan pesan singkat melalui baliho. Kita datang dengan 50 personil. Kita pasang banner, spanduk, ya sedekah laut adalah perilaku kemusrikan dan itu mendatangkan bencana," ujar Abdurrahman kepada KBR, Senin (15/10/2018)  

Kalau pada tahun depan, Bupati Bantul, Yogyakarta masih akan tetap melakukan tradisi sedekah laut, dengan pengamanan yang lebih ketat, Panglima FJI Yogyakarta, Abdurrahman menegaskan, semua terserah Pak Bupati. Yang jelas, sesuai Al Qur’an dan As Sunnah, tradisi sedekah laut itu adalah syirik akbar.

"Ya itu terserah mereka, yang jelas kan himbauan ini dari Al Qur’an dan As Sunnah bahwa yang mereka lakukan itu adalah syirik akbar," ujar Abdurrahman lagi.


Editor: Fadli Gaper 

  • sedekah laut
  • bantul
  • prosesi sedekah laut
  • larung
  • budaya laut

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!