NASIONAL

Urgensi Proyek Giant Sea Wall, Banyak Manfaat atau Mudarat?

“Ini suatu dampak yang boleh dibilang mega ya. Dampak yang amat besar, berjangka panjang, karena tidak 5 tahun, pasti lebih dari 10 tahun," ujarnya

AUTHOR / Naomi Lyandra

EDITOR / Resky Novianto

Google News
udara
Foto udara permukiman warga terdampak banjir rob pasang air laut pantura Jawa di Kampung Sembilangan, Bekasi, Senin (18/11/2024). (Foto: ANTARA/Fakhri H)

KBR, Jakarta- Pembangunan proyek raksasa Tanggul Laut atau Giant Sea Wall (GSW) yang kini bakal diteruskan oleh pemerintah menuai sorotan dari berbagai pihak. Meski disebut-sebut sebagai solusi ampuh untuk mencegah banjir rob hingga dan erosi di Pantai Utara Jawa, namun proyek ini juga menimbulkan kekhawatiran besar terkait dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir.

Giant Sea Wall direncanakan membentang sejauh 500 kilometer dari Banten hingga Gresik, Jawa Timur. Proyek ini sebenarnya bukan hal baru, karena sudah dirancang sejak era Orde Baru namun terus tertunda. Baru pada 2014, pembangunan tanggul di Jakarta mulai dilakukan, dan kini rencana perluasannya kembali dihidupkan.

Namun, data dari Destructive Fishing Watch (DFW) pada April lalu menunjukkan bahwa 56,2% masyarakat pesisir tidak setuju dengan pembangunan ini.

Alasannya bukan tanpa dasar yaitu mereka khawatir kehilangan mata pencaharian serta rusaknya lingkungan hidup mereka.

Potensi Kerusakan Ekologis

Dosen Ekologi Politik dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA IPB), Soeryo Adiwibowo, berpendapat bahwa proyek ini bukan hanya soal bangunan, tapi juga potensi kerusakan ekologis jangka panjang.

“Ini suatu dampak yang boleh dibilang mega ya. Dampak yang amat besar, berjangka panjang, karena tidak 5 tahun, pasti lebih dari 10 tahun”, ujar Soeryo dalam Diskusi Ruang Publik di Youtube KBR Media, Rabu (18/6/2025).

Ia menjelaskan bahwa pembangunan tanggul bisa mengganggu morfologi pantai, arus laut, hingga kualitas air laut dan sungai. Bahkan, tanggul bisa menyebabkan area muara sungai berubah menjadi danau tertutup, sehingga terjadi proses eutrofikasi atau ledakan alga yang menyebabkan air kekurangan oksigen.

Lebih lanjut Soeryo bilang bahwa yang paling terdampak adalah nelayan kecil. Mereka harus melaut lebih jauh karena akses ke laut langsung akan terhambat. Ongkos melaut bertambah, tapi hasil tangkapan belum tentu naik.

“Ongkos dibagi mata nelayan akan makin besar. Karena dia harus fishing trip lama melayar, kalau kapal-kapal tradisional nambah 1 jam, 2 jam itu kan ongkos ya. Mereka nelayan-nelayan kecil. Sehingga ada akses langsung ke laut menjadi terhambat,” jelas Soeryo.

“Dan itu akan menyulitkan mereka untuk bisa mendapatkan penghasilan yang selancar seperti yang sebelumnya,” imbuhnya.

red
Dosen Ekologi Politik dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA IPB), Soeryo Adiwibowo. Foto: Youtube KBR Media

Ada Potensi Konflik Sosial

Namun bukan hanya soal lingkungan saja, Soeryo juga fokus menlihat soal potensi konflik sosial akibat proyek ini.

“Jadi ada ketimpangan ekologi dan ekonomi itu dugaan saya untuk di pesisir itu makin besar ya, jadi ada yang menarik gara-gara ada satu kelompok ingin mendapatkan akses yang lebih besar kepada manfaat,” tambahnya.

Selain itu Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan masa lalu dalam proyek-proyek besar seperti program sejuta hektare lahan gambut di era Soeharto, yang dinilai gagal karena tidak memperhatikan karakteristik alam setempat.

Giant Sea Wall jadi Solusi Palsu Krisis Iklim

Sementara Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menyebut proyek GSW sebagai "solusi palsu" yang dibalut kemasan modern.

“Ya, Giant Sea wall ini seperti solusi palsu ataupun pemanis buatan ya. Ini tidak lain, tidak bukan, hanya sebatas proyekan dan kita bukan berarti tidak mengapresiasi, tapi pertanyaannya apakah memang seluruh pesisir yang melintas dari Banten sampai Jawa Timur membutuhkan Giant Sea wall?,”ujar Susan dalam Diskusi Ruang Publik di Youtube KBR Media, Rabu (18/6/2025).

Ia juga menilai ada kecenderungan menjadikan krisis iklim sebagai ladang bisnis.

“Kenapa krisis iklim ini berubah jadi proyekan? Apakah krisis iklim kini dijadikan peluang bisnis besar-besaran?,” tegasnya.

red
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati. Foto: Youtube KBR Media

Di samping itu, Susan juga menyoroti kemungkinan proyek ini tidak hanya membangun tanggul, tetapi juga terhubung dengan proyek reklamasi besar-besaran seperti yang terjadi di Teluk Jakarta.

“Kami menghawatirkan bahwa lainnya ini adalah reklamasi gitu. Kurang lebih gitu. Kan nggak mungkin juga tiba-tiba negara ini mau bangun Giant Sea Wall sedemikian rupa tapi nggak ada proyek bisnis lain di belakangnya,” ujar Susan.

Perbaikan Lingkungan juga Mesti dari Hilir

Upaya penanggulangan banjir dan rob tidak boleh hanya fokus pada hilir (pantai), tapi juga harus memperbaiki kondisi hulu sungai.

Soeryo Adiwibowo menjelaskan bahwa jika hulu rusak, sebesar apa pun tanggul dibangun tetap akan kewalahan. Ia juga menekankan perlunya strategi yang lebih holistik seperti perbaikan tata ruang, rehabilitasi mangrove, dan pengendalian izin tambang di daerah aliran sungai. Kekhawatiran besar lainnya adalah soal tata kelola proyek.

“Saya melihat proyek ini nanti dengan tata kelola seperti kita sekarang ini kalau dijalankan, dengan tingkat korupsi yang begitu besar yang terjadi, itu lebih akan banyak mudaratnya. Mohon maaf, banyak mudaratnya. Tujuannya bagus, tetapi kita tidak punya sistem tata kelola yang baik,” tegasnya.

Ia menyebutkan pengalaman masa lalu dengan proyek 17 pulau reklamasi di Jakarta yang tak jelas peruntukannya sebagai contoh nyata lemahnya kontrol.

“Siapa yang kuat, itu yang akan dapat. Jadi ini itu suasana yang menurut saya gelap yang akan terjadi dengan proyek ini,” ungkapnya.

Diklaim Bisa Menyelamatkan Masyarakat dari Dampak Perubahan Iklim

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan atau IPK Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkapkan pembangunan Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall di Pantai Utara Jawa untuk menyelamatkan masa depan masyarakat dari dampak perubahan iklim.

AHY menegaskan bahwa perlindungan garis pantai bukan sekadar urusan infrastruktur, melainkan menyangkut kelangsungan hidup masyarakat dan eksistensi bangsa.

“Arahan Bapak Presiden RI bukan hanya merupakan respons teknis, tapi sebuah keputusan yang berani untuk menyelamatkan masa depan jutaan rakyat di pesisir utara Jawa. Bagi bangsa yang hidup di kepulauan, melindungi garis pantai adalah melindungi eksistensinya,” ujarnya di Jakarta, 13 Juni 2025, dikutip dari ANTARA.

red
Foto udara permukiman nelayan yang dilindungi tanggul laut di Kawasan Kampung Bahari Tambaklorok, Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/11/2025). Pemerintah berencana membangun tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) di pantai utara Pulau Jawa sepanjang 946 kilometer yang membentang dari Cilegon, Banten hingga Gresik, Jawa Timur, sebagai upaya untuk melindungi kawasan pesisir yang rawan terdampak abrasi, kenaikan permukaan air laut ke daratan disertai penurunan muka tanah, serta berfungsi untuk meningkatkan ketahanan lingkungan pesisir. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Salah satu fokus utama pemerintah saat ini adalah pembangunan Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Pantai Utara Jawa, sebuah proyek raksasa yang telah direncanakan sejak 1995, namun kini mulai direalisasikan. Proyek sepanjang ±500 kilometer dari Banten hingga Gresik ini diperkirakan menelan biaya hingga 80 miliar dolar AS dan akan dilaksanakan secara bertahap dalam jangka waktu 15–20 tahun.

Di Jakarta, konsep ini diwujudkan melalui proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), yang dirancang untuk melindungi kota Jakarta dari ancaman banjir rob dan penurunan permukaan tanah.

Sejumlah Negara Berminat pada Proyek Giant Sea Wall

Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Kewilayahan (Menko IPK) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)

Dia juga mengungkapkan bahwa sejumlah negara, seperti China, Korea Selatan, Jepang, Timur Tengah, hingga Belanda telah menyatakan minatnya pada proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall.

"Sudah berdatangan sebetulnya kepada kami, kemarin pada saat International Conference on Infrastructure, maupun di kesempatan-kesempatan sebelumnya," ujar AHY dalam acara kickoff misi ekonomi Belanda, di Jakarta, 16 Juni 2025, dikutip dari ANTARA.

Khusus untuk Belanda, AHY mengatakan bahwa mereka sebetulnya telah menyelesaikan studi kelayakan untuk proyek ini pada 2020. Ia mengatakan pemerintah akan terus membuka jalur komunikasi dan kerja sama yang saling menguntungkan.

Lebih lanjut, AHY mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia saat ini sedang mengidentifikasi berbagai proyek infrastruktur potensial untuk kerja sama, sekaligus mematangkan rencana detail dari proyek-proyek tersebut.

Menteri PU: Proyek Serius untuk Dilanjutkan

Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menegaskan, proyek Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa akan serius dilaksanakan di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

"Insya Allah itu akan terlaksana. Namun, mohon bersabar karena anggaran kami sangat terbatas dan ada prioritas lain. Tapi bukan berarti kami diam, kami akan tetap berjuang bersama menyelesaikan permasalahan rob ini," kata Dody di Jakarta, 16 Juni 2025, dikutip dari ANTARA.

Proyek Giant Sea Wall ini menjadi infrastruktur vital untuk melindungi kawasan pantai utara Pulau Jawa dari ancaman rob dan perubahan iklim ekstrem. Menurut Dody, perhatian Presiden Prabowo terhadap penanganan rob di pantai utara Jawa terbukti sangat besar. Bahkan, proyek ini sudah dicanangkan dalam visi dan misi Presiden Prabowo sebelum beliau terpilih menjadi presiden periode 2024-2029.

"Rob ini sudah lama terjadi akibat kondisi global seperti kenaikan suhu dunia, perubahan iklim, dan penurunan permukaan tanah. Oleh karena itu, setelah dilantik, Presiden Prabowo langsung menginstruksikan para menteri untuk memikirkan pembangunan Giant Sea Wall dari Banten hingga Gresik," kata Dody.

red
Foto udara permukiman nelayan yang dilindungi tanggul laut di Kawasan Kampung Bahari Tambaklorok, Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/11/2025). Pemerintah berencana membangun tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) di pantai utara Pulau Jawa sepanjang 946 kilometer yang membentang dari Cilegon, Banten hingga Gresik, Jawa Timur, sebagai upaya untuk melindungi kawasan pesisir yang rawan terdampak abrasi, kenaikan permukaan air laut ke daratan disertai penurunan muka tanah, serta berfungsi untuk meningkatkan ketahanan lingkungan pesisir. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Pembentukan Badan Otorita Tanggul Laut

Pemerintah saat ini sedang menyiapkan pembentukan Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa. Ini merupakan upaya melindungi wilayah pesisir Pantai Utara Jawa, dari Jakarta hingga Semarang, termasuk Demak.

“Pembentukan Badan Otorita ini penting agar pembangunan Giant Sea Wall di Pantura dapat terlaksana secara berkelanjutan,” tutur Menteri Dody.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dalam waktu dekat berencana untuk membentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa.

"Sekarang tidak ada lagi penundaan, kita akan segera mulai itu. Saya sudah perintahkan suatu tim untuk roadshow keliling, dan dalam waktu dekat saya akan bentuk Badan Otorita Tanggul Laut Pantai Utara Jawa,” kata Prabowo.

Biaya Anggaran Fantastis

Prabowo memaparkan bahwa pembangunan tanggul laut raksasa ini membutuhkan biaya sedikitnya 80 miliar dolar AS atau setara Rp1.297 triliun.

Khusus tanggul di Teluk Jakarta, pembangunannya bisa memakan waktu 8-10 tahun dengan alokasi APBD dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar 8 miliar sampai 10 miliar dolar AS.

Meski sudah masuk dalam perencanaan sejak 1995, Prabowo tidak merasa kecil hati karena mega proyek itu baru akan selesai hingga berganti kepemimpinan Presiden.

"(Proyek) ini vital dan ini sesuatu mega proyek. Saya tidak tahu Presiden mana yang akan menyelesaikan, tapi kita harus mulai dan kita akan mulai," kata Presiden.

Giant Sea Wall, atau Tanggul Laut Raksasa adalah struktur besar yang dibangun di sepanjang garis pantai untuk memisahkan daratan dan laut, dengan tujuan utama mencegah erosi dan kerusakan akibat gelombang.

Kompleksitas Masalah Jika Proyek Giant Sea Wall Diteruskan

Mengutip dari laman resmi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) walhi.or.id, selama ini, wilayah pesisir utara Jawa, mulai dari Banten sampai Jawa Timur, telah dibebani izin industri skala besar yang menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah secara cepat.

Jika Pemerintah ingin menghentikan penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa, maka solusinya bukan dengan membangun tanggul laut raksasa, tetapi dengan mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa.

Dengan demikian, pembangunan tanggul laut raksasa akan mempercepat kebangkrutan sosial sekaligus kebangkrutan ekologis Pulau Jawa karena memperluas kehancuran dari daratan ke pesisir, laut, dan pulau kecil.

Krisis di Perairan Utara Jawa

Wahi.or.id juga menyatakan lebih jauh, pembangunan proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall akan menghancurkan wilayah laut atau perairan Pulau Jawa bagian utara yang selama ini menjadi wilayah tangkapan ikan ratusan ribu nelayan tradisional. Pasalnya, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit.

Sebagai contoh, pada tahun 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 388.200.000 meter kubik. Jumlah ini sangat besar untuk kebutuhan reklamasi di Jakarta saja.

Ambisi pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall akan mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati yang ada di perairan pulau Jawa bagian utara. Belum Lama ini, International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam perhelatan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), 11 Desember 2023 lalu menyatakan spesies ikan Pari Jawa atau Urolophus Javanicus punah. Spesies ini diketahui memiliki habitat di perairan utara Jawa, khususnya di Teluk Jakarta.

Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli, kepunahan ini disebabkan oleh dua hal yaitu penangkapan ikan yang over exploited serta kehancuran ekosistem pesisir dan laut akibat aktivitas industri. Dalam jangka panjang, ambisi pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall akan mempercepat kepunahan spesies flora dan fauna lainnya di perairan Pulau Jawa.

red
Foto udara kondisi limpasan air laut di Pantai Blendung, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Rabu (28/5/2025). Menurut warga setempat, limpasan air laut yang melewati hamparan Pantai Blendung sejak tahun 2018 itu berimbas banjir rob air laut yang membanjiri 13 desa di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang saat air laut pasang dengan ketinggian rata-rata sekitar 30-50 centimeter. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

Menghancurkan Ekonomi Masyarakat di Sektor Perikanan

Pada tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, telah mempublikasikan sebuah kajian mengenai dampak proyek reklamasi Pulau C dan D di Teluk Jakarta dengan judul Dampak Sosial Ekonomi dan Rekomendasi Kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta.

Meski kajian ini belum menghitung dampak kerugian dan kehilangan ekonomi masyarakat di sektor perikanan di tempat lainnya di pesisir utara Jawa, tetapi kita dapat membayangkan kerugiannya setara atau lebih besar.

Hancurkan Mangrove, Solusi Palsu hadapi Krisis Iklim

Pemerintah mengklaim bahwa proyek ini merupakan skenario mitigasi krisis iklim di pesisir utara Jawa. Namun faktanya, proyek tanggul laut raksasa atau giant sea wall tidak akan mampu menjawab krisis iklim yang dihadapi oleh masyarakat pesisir.

Proyek ini akan mempercepat kehancuran eksosistem mangrove yang selama ini terjadi di pesisir utara Jawa. Sebagai contoh, akibat beban industri yang sangat berat di pesisir utara Jawa Tengah, luasan mangrove terus mengalami penurunan. Pada tahun 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektar.

Tahun 2021, mengalami kehilangan yang sangat signifikan, di mana luasannya hanya tercatat 10.738,62 hektar. Begitu pula di pesisir Jakarta. Saat ini luasan mangrove tercatat tidak lebih dari 25 hektar. Padahal sebelum adanya proyek reklamasi, luasannya tercatat lebih dari seribu hektar.

red
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan tanggul mitigasi di area Docking Kapal Baywalk, Pluit, Jakarta, Rabu (11/6/2025). Pemerintah Jakarta Utara membangun tanggul mitigasi setinggi 3,6 meter yang ditargetkan selesai pada Agustus untuk mencegah terjadinya banjir rob di kawasan tersebut. ANTARA FOTO/Fauzan


Menggusur Nelayan

Di Jakarta, Pembangunan tanggul laut yang masih berjalan sampai saat ini telah mengancam kelangsungan hidup nelayan yang tinggal di pesisir utara Jakarta. Berdasarkan hasil analisis risiko pembangunan NCICD fase A yang dilakukan oleh Kementerian PUPR, sekitar 24.000 nelayan di Jakarta Utara terancam digusur.

Penggusuran tersebut tak pelak menimbulkan potensi hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan, sebab mereka harus direlokasi ke wilayah lain yang aksesnya jauh dari laut dan kapal.

Alih-alih melindungi identitas nelayan dengan menjaga aksesibilitas nelayan terhadap laut, pemerintah justru merencanakan pelatihan untuk membuka lapangan kerja baru bagi para nelayan yang terdampak penggusuran. Dengan begitu, ancaman hilangnya identitas nelayan akibat pembangunan NCID di Teluk Jakarta semakin besar.

Baca juga:

Guru Besar IPB: Tanggul Laut Raksasa Jangan Rampas Hak Masyarakat Pesisir

Polemik Rencana Tanggul Laut Raksasa Prabowo

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!