NASIONAL
Tiga Hakim Jadi Tersangka Suap, MAKI: Memang Minta Digoda Uang
Menurutnya, hal ini bukan sekadar soal godaan uang, melainkan sudah mencapai tahap "minta digoda" uang.

KBR, Jakarta - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai Mahkamah Agung (MA) belum menunjukkan komitmen kuat mereformasi lembaganya. Terbukti, sejumlah kasus korupsi yang melibatkan hakim terus saja bermunculan.
Boyamin menanggapi kasus terbaru, yang menyeret tiga hakim dalam dugaan korupsi perkara minyak kelapa sawit mentah atau ekspor crude palm oil (CPO).
"Artinya, sistem pengawasan Mahkamah Agung sangat buruk. Karena nyatanya baru ada jebol Surabaya, ini jebol di Jakarta, bahkan Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, karena ini Tipikornya kan rangkaiannya di Pusat, ternyata hakimnya juga sebagian dari Jakarta Selatan. Jadi ya, nampaknya kasus-kasus yang telah menjerat Mahkamah Agung sampai petingginya, Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Sekretaris Mahkamah Agung Hasbi Hasan, itu kan, dan sekarang Surabaya dan Jakarta, itu belum menjadikan Mahkamah Agung mengawasi secara efisien," ujar Boyamin kepada KBR, Senin (14/4/2025).
Boyamin juga menyebut, setelah petinggi MA seperti Sekretaris MA Nurhadi dan Hasbi Hasan pernah dijerat hukum, nyatanya praktik-praktik serupa seperti suap masih saja berulang.
Menurutnya, hal ini bukan sekadar soal godaan uang, melainkan sudah mencapai tahap "minta digoda" uang.
Boyamin juga menyoroti resistensi MA terhadap pengawasan eksternal, khususnya dari Komisi Yudisial (KY). Padahal, kata dia, KY merupakan lembaga konstitusional yang diberi mandat untuk menjaga integritas hakim. Namun saat ini, kewenangan KY terbatas pada persoalan etik dan tidak bisa menyentuh aspek isi putusan hakim, sekalipun ada dugaan "permainan".
"MA harus membuka diri terhadap KY, bukan hanya dalam soal perilaku seperti selingkuh, judi, atau narkoba saja. Tapi juga dalam memeriksa dan mengaudit putusan-putusan hakim yang bermasalah," katanya.
Selain lemahnya pengawasan MA, Boyamin juga menyinggung persoalan kesejahteraan sebagai salah satu faktor yang membuat hakim mudah "tergoda" uang.
Ia menyebut banyak hakim yang penghasilannya sudah dipotong besar-besaran untuk membayar cicilan pinjaman ini-itu.
"Ada yang sampai 70-80 persen gaji dipakai buat bayar hutang. Yang diterima tinggal 20-30 persen. Akhirnya "tergoda" uang juga. Apalagi kalau pinjamannya buat gaya hidup, beli mobil, dan sebagainya," ungkapnya.
Boyamin pun mendorong MA membuat regulasi tegas, misalnya membatasi pinjaman hanya maksimal 30 persen dari gaji. Ini agar para hakim tidak terbebani secara finansial dan tetap dapat menjaga integritasnya.
Menurutnya lagi, tanpa reformasi menyeluruh dan kemauan membuka diri terhadap pengawasan independen, sulit bagi MA untuk keluar dari bayang-bayang mafia peradilan yang terus membayangi.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dugaan kasus suap terkait putusan lepas perkara korupsi ekspor CPO di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ketiganya adalah Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom yang diketahui sebagai majelis hakim dalam sidang tersebut. Penetapan tersangka dilakukan pada Minggu (13/4/2025) usai pemeriksaan yang berlangsung di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.
Baca juga:
Rentetan Kasus di Lembaga Peradilan Berpotensi Menggerus Kepercayaan Publik
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!