NASIONAL

Tak Hanya Demo di Jalan, Mahasiswa Juga Beraksi di Pengadilan

Berbagai aksi yang sudah dilakukan mahasiswa dan masyarakat sipil dalam konteks penolakan revisi UU TNI, tak dihiraukan pemerintahan Presiden Prabowo.

AUTHOR / Shafira Aurel, Sindu

EDITOR / Sindu

Google News
Tak Hanya Demo di Jalan, Mahasiswa Juga Beraksi di Pengadilan
Gerakan mahasiswa berdemo menolak RUU bermasalah di DPR. Foto: KBR/Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta- Gerakan mahasiswa menuntut perubahan tak hanya dilakukan dengan turun ke jalan berdemonstrasi seperti yang kerap dijalani selama ini. Mereka, kini juga bergerak ke ruang pengadilan sebagai variasi gerakan mahasiswa memperkuat aksi turun ke jalan.

Variasi gerakan itu salah satunya ditunjukkan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad), Moch Rasyid Gumilar.

Rasyid dan empat temannya di FH Unpad tak hanya turun ke jalan. Mereka juga mengajukan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 29 April 2025. Undang-undang yang menuai penolakan ini, belum lama disahkan Presiden Prabowo.

Selain Rasyid, empat temannya ialah Kartika Eka Pertiwi, Riyan Fernando, Akmal Muhammad Abdullah, dan Fadhil Wirdiyan Ihsan. Pengajuan itu dilakukan dalam tenggat 45 hari sesuai Peraturan MK soal batas waktu pengujian uji materi.

"Apa yang bagi saya pribadi dan teman-teman lintas terdorong untuk pada akhirnya melakukan uji formil adalah, ya, kami juga cukup jengah. Kami jengah sebagai seorang mahasiswa fakultas hukum khususnya, melihat bagaimana praktik yang ditunjukkan oleh pemerintahan dalam arti luas, hal ini adalah DPR dan juga presiden dalam membentuk undang-undang," katanya kepada KBR, Rabu, 30 April 2025.

Penguatan

Rasyid mengaku, uji formil yang mereka lakukan, tak menegasikan atau menyangkal apa yang dilakukan teman-teman mahasiswa lain dengan turun ke jalan. Menurutnya, ini bagian dari penguatan dan variasi gerakan mahasiswa menuntut perubahan.

"Tujuannya tentu adalah untuk memperkuat gerakan, ya. Memperkuat bagaimana daya dobrak apa yang coba kita tuju gitu. Dalam hal ini misalnya Undang-Undang TNI, kita pasca atau bahkan sebelum diundangkan di tanggal 20 Maret dan 26 sampai tanggal seminggu setelah tanggal 20 Maret setelah rapat paripurna, itu banyak sekali aksi," tuturnya.

Menurut Rasyid, berbagai aksi yang sudah dilakukan mahasiswa dan masyarakat sipil dalam konteks penolakan revisi UU TNI, tak dihiraukan pemerintahan Prabowo Subianto. Bahkan, beleid yang banyak diprotes itu telah ditanda-tangani presiden pada Rabu, 26 Maret 2025.

"Rasanya ketika memang suara-suara di jalan, teman-teman mahasiswa sudah tidak didengar lagi, maka kita harus mencoba masuk kepada ranah-ranah yang lebih formal, bisa menantang argumentasi-argumentasi yang diberikan oleh pemerintah ataupun DPR, dalam hal ini adalah men-challenge bagaimana membentukan Undang-Undang TNI yang baik, yang sejatinya tidak dicontohkan oleh mereka," jelasnya.

Tak Seperti yang Diajarkan

Rasyid bilang, praktik pembuatan legislasi oleh DPR dan pemerintah, tak sesuai dengan yang mereka pelajari di kampus. Di ruang-ruang kelas, mahasiswa diajari dan ditekankan bagamana proses pembentukan legislasi yang baik.

"Bagaimana pembentukan undang-undang yang baik itu menaati prinsip due processs of law. Di sana ada keterlibatan masyarakat, ada partisipasi dari masyarakat sipil, apalagi terkait dengan undang-undang atau aturan-aturan yang memang akan memiliki dampak yang luas," imbuhnya.

Rasyid mengakui, secara pribadi ia tidak berada di masa sebelum reformasi. Yakni, masa di mana dwifungsi ABRI mendominasi ruang-ruang sipil. Tetapi, ia membaca sejarah yang terjadi di masa itu, tentang bahaya dwifungsi TNI.

Ruang itu berpotensi muncul kembali dengan revisi UU TNI. Substansi revisi UU TNI dinilai Rasyid menimbulkan potensi ancaman keselamatan masyarakat.

"Kita membaca historis dan lain-lain. Ketika saya melihat bahwa ada banyak sekali cacat prosedur yang dilakukan dalam pembentukan Undang-Undang TNI, kami sama sekali tidak melihat pada akhirnya ada niat baik yang ditunjukkan oleh pemerintah, apa pun DPR," katanya.

Kata dia, praktik pembuatan undang-undang secara serampangan ini terjadi sejak rezim Presiden Joko Widodo, dan diteruskan di era Presiden Prabowo Subianto.

"Oleh karena itu, jadi alasan utama kami yang kuat untuk bukan hanya pada turun ke jalan, tetapi juga kami coba masuk atau merangsek kepada kamar-kamar yang sifatnya lebih formal gitu. Karena saya selalu percaya bahwa segala bentuk gerakan itu harus dikonsolidasikan, entah itu untuk teman-teman yang turun ke jalan, apa pun di ruang-ruang formal," tuturnya.

"Tentunya juga saya dan kawan-kawan empat berpesan bahwa pada dasarnya jangan lagi menggunakan cara-cara culas untuk membentuk undang-undang demi meloloskan kepentingan-kepentingan elit tertentu atau kepentingan-kepentingan kelompok tertentu."

Koalisi Mahasiswa

Tak Hanya Unpad, mahasiswa hukum dari sejumlah universitas belum lama ini juga menggugat aturan penggantian antarwaktu (PAW) yang diatur di Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke MK.

Bagian dari bab yang digugat adalah Pasal 239 ayat (2) huruf d UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Bunyinya, "Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;".

Para penggugat ialah Chindy Trivandi Junior mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas, Halim Rahmansah mahasiswa FH Universitas Negeri Semarang, Muhammad Arya Ansar mahasiswa FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah. Lalu, ada Insan Kamil, legal intern.

Para penggugat menilai, PAW menjadi alat kontrol partai politik terhadap anggotanya yang menjabat dalam parlemen. Meskipun proses ini adalah salah satu sarana pengisian jabatan di luar proses pemilihan secara periodik. Gugatan itu teregistrasi dengan nomor 41/PUU-XXIII/2025.

"Bahwa pemilihan umum merupakan perwujudan kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah yang mereka bentuk. Sebelum roda pemerintahan berjalan, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi memberikan mandat kepada wakilnya di DPR untuk menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran," bunyi poin D nomor 10 dalam materi gugatan, yang dikutip KBR dari situs Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 23 April 2025.

"Oleh karena itu, kedudukan anggota DPR setelah terpilih tidak semata-mata bergantung pada partai politik, tetapi lebih kepada rakyat yang memberikan legitimasi kepadanya," bunyi materi gugatan tersebut.

Kematangan Politik

Fenomena gerakan mahasiswa yang tak hanya turun ke jalan, tetapi juga memanfaatkan sarana konstitusional, dinilai bentuk kematangan dan kedewasaan politik. Penilaian itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi.

Menurutnya, upaya yang dilakukan mahasiswa tersebut hak konstitusional. Terutama ketika menanggapi kebijakan-kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan publik maupun aspirasi mahasiswa.

"Cuma saya kira ini juga menjadi catatan kritis bagi para pembentuk undang-undang untuk tidak menempatkan MK sebagai semacam kotak pembuangan bagi atau malah terakhir kekecewaan masyarakat atas ketidakcermatannya dalam merumuskan undang-undang. Mestinya, kan, orang tidak akan atau tidak perlu mengugat ke MK kalau proses pembuatan undang-undang ini memenuhi syarat formil maupun material secara baik, ya," kata Ade kepada KBR, Rabu, 30 April 2025.

Cermat

Ade bilang, sejak awal, semestinya pembuat undang-undang sedari awal sudah cermat dan bijak dalam proses formil maupun material dalam menyusun undang-undang. Sehingga UU yang dihasilkan berkualitas dan sesuai asiprasi publik.

"Jadi, orang tidak beranggapan bahwa MK ini semacam keranjang sampah untuk melepaskan tanggung jawab terhadap ketidakcermatan dalam merumuskan satu undang-undang. Apakah di dalam upaya ini juga bisa dinilai efektif?" imbuhnya.

Tetapi, Ade juga memiliki catatan terhadap soal Putusan MK Nomor 90 tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang diajukan mahasiswa pengagum Gibran Rakabuming Raka, Almas Tsaqibbirru, mahasiswa UNS. Putusan itu dikabulkan hakim MK, dan memicu keriuhan politik.

"Mengingat kan sebelumnya juga ada gugatan dari Almas ya terkait dengan batas minimum usia wakil presiden, kan itu juga diloloskan oleh MK," katanya.

Putusan inilah yang menjadi jalan untuk Gibran yang berusia 36 tahun untuk mengikuti Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto. Sebab, MK mengubah syarat batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun menjadi dikecualikan bagi yang berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah.

Kontestasi Politik

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi menyadari, MK juga menjadi arena kontestasi kepentingan politik. Yakni, dengan menguji norma-norma yang dihasilkan dari proses politik ke MK

"Saya sendiri masih punya harapan dan optimisme MK bisa menjadi sarana terakhir untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan bisa bersikap pijak dan objektif terkait dengan sengketa penafiran undang-undang atas konstitusionalitas suatu undang-undang, ya. Saya masih punya harapan dan optimisme itu bisa diraih melalui MK, ya," harapnya.

Dalam konteks gerakan mahasiswa, Ade menilai, kombinasi antara aksi turun ke jalan dan uji materi ke MK bisa memberi tekanan lebih besar dan efektif untuk mengubah kebijakan yang tidak pro-rakyat.

"Saya kira ini satu perkembangan yang baik yang dilakukan oleh mahasiswa dan menjadi semakin teredukasi mahasiswa tidak hanya memilih sarana jalanan tetapi juga memilih sarana konstitusional lain yang tersedia seperti judicial review itu," pungkasnya.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!