Article Image

NASIONAL

Stop Kriminalisasi Komunitas Gay Peserta 'Big Star Got Talent' di Puncak, Bogor

"Stop framing jahat terhadap komunitas LGBT"

Tangkapan layar video dokumentasi acara gathering The Big Star Got Talent, di Puncak, Bogor, Jawa Barat.

KBR, Jakarta - Polres Bogor didesak menghentikan proses hukum terhadap panitia dan peserta acara gathering "Big Star Got Talent" yang digelar di Puncak, Bogor, Jawa Barat, 21-22 Juni 2025. Pasalnya, tidak ada bukti yang mengarah ke pesta seks, seperti yang dituduhkan.

"Mereka salah apa? mereka korban," kata Daniel Awriga, Direktur Human Rights Working Group (HWRG) saat dihubungi KBR, Kamis (3/7/2025).

Acara itu digerebek polisi bersama ormas pada Minggu (22/6/2025) sekitar pukul 01.00 saat panitia maupun peserta sedang beres-beres usai gathering ditutup. Polisi berdalih ada laporan dari masyarakat soal dugaan pesta seks.

Padahal, berdasarkan video dokumentasi dan rundown kegiatan yang diterima KBR, acara diisi dengan gim dan kompetisi menyanyi. Namun, karena pesertanya dari kalangan gay diduga menjadi sebab upaya kriminalisasi.

Tanpa surat perintah, polisi melakukan penggeledahan dan menyita barang-barang mereka. Sebanyak 75 orang kemudian ditangkap, dibawa ke Polres Bogor, dan diperiksa tanpa dasar.

Yosua Octavian, pengacara publik LBH Masyarakat mengatakan, polisi melanggar prosedur yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).

"Perlu diingat penggeledahan, penyitaan, dilakukan dalam rangka penyidikan. Yang mana, ketika sudah ditemukan terduga pelaku, dalam bahasa KUHAP adalah tersangka," kata Yosua saat konferensi pers di LBH Masyarakat, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

red
(Dari kiri ke kanan) M Slamet, penasihat hukum korban, Albert Wirya, Direktur LBH Masyarakat, dan Yosua Octavian, pengacara publik LBHM, saat konpers di kantor LBHM di Jakarta, Selasa (1/7/2025).(Foto: KBR/Heru)

Baca juga: Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia

Hingga hari ini, tidak ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Polisi tidak bisa membuktikan adanya pelanggaran pidana dalam acara gathering, tidak ada bukti yang mengarah pada aktivitas seksual maupun pornografi. Namun, penasihat hukum para korban, M Slamet menyayangkan polisi masih melanjutkan proses hukum.

"Tidak ada satupun perbuatan pesta seks itu, sangat tidak benar. Saya sangat menyesalkan, apa yang dilakukan oleh aparat Polres Bogor, yang terus memanggil kawan-kawan untuk dimintai keterangan, masih sebagai saksi hingga sekarang," kata Slamet dari Inclusive Legal Center, yang ditemui di acara konpers di LBHM.

Slamet bilang, polisi terkesan ingin menggiring agar ada tersangka. Pola yang sama terbaca dari kasus-kasus sebelumnya.

Polisi juga dinilai melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM.

"Mereka tidak boleh melakukan penggeledahan secara berlebihan, apalagi mengakibatkan terganggunya hak privasi. Saya punya asumsi bahwa mereka tidak memahami, baik aturan secara hukum, general, KUHAP maupun spesifik di dalam internal mereka," tutur Yosua.

Soal adanya temuan kondom, Yosua menegaskan, itu tidak bisa dijadikan bukti adanya pesta seks, pornografi, maupun perbuatan asusila.

"Apa salahnya seseorang membawa kondom? Kondom itu diatur dalam UU Kesehatan sebagai salah satu alat kesehatan. Itu bukan barang haram atau barang ilegal," ucapnya.

LBHM bersama Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menilai proses hukum harus dihentikan karena ada cacat formil dan materiil di dalamnya.

“Kita sepakat bahwa kejahatan harus diusut, harus dicari pelakunya, dan dia harus mendapatkan proses hukum. Kalau mereka tidak melakukan kejahatan, apa harus dilakukan pemrosesan. Oleh karena "berbeda” apa ini menjadi masalah?,” tegas Yosua.

red

Pengamat kepolisian, Poengky Indarti menyarankan agar LBHM melaporkan dugaan pelanggaran polisi ini ke pengawas internal, Propam dan Irwasum Polri. Laporan juga bisa diajukan ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Menurut Poengky, polisi kerap permisif dengan kelompok-kelompok intoleran dan mengikuti suara mayoritas. Padahal, mestinya polisi melindungi, bukan mengkriminalisasi.

"Apakah nggak boleh misalnya kelompok LGBT mengadakan acara, terus kemudian mereka melakukan kegiatan? Kan boleh-boleh saja. Jadi nggak boleh ada diskriminasi, itu yang benar," tutur Poengky yang juga eks Komisioner Kompolnas ini.

Persekusi lanjutan

Koalisi juga menyayangkan framing sejumlah media, yang melanggengkan stigma terhadap kelompok LGBT. Sebagian korban mengalami persekusi lanjutan karena identitasnya terungkap. Beberapa kehilangan pekerjaan, ada yang diusir dari tempat tinggal. Banyak dari mereka mengalami trauma.

“Korban mengalami tekanan psikis berat, trauma, bahkan kekerasan verbal baik dari masyarakat, keluarga dan juga lingkungan sekitar. Bahkan untuk sekedar keluar rumah, atau berinteraksi dengan teman, keluarga dsb, karena takut mendapatkan persekusi lebih lanjut. Ada laporan korban mengalami intimidasi oleh pihak yang belum terindentifikasi, mendatangi tempat tinggal,” kata Richa Sofyana dari Crisis Response Mechanism (CRM) Consortium.

Sebagai pilar demokrasi, media semestinya bekerja profesional dan memberi ruang aman bagi kelompok rentan.