HEADLINE
Simposium Tragedi 65, Tim Perumus: Tak Lepas dari Tindak Kekerasan Sebelumnya
"Kami temukan, tindakan-tindakan kekerasan, pembunuhan dan yang (jumlahnya) hampir bisa menyamai dengan pembunuhan setelah 65 yang dilakukan PKI kepada nonPKI"
AUTHOR / Ika Manan
KBR, Jakarta- Tim perumus simposium menganggap tragedi 1965 tak dapat dipisahkan dari tindakan kekerasan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sebelum 1965. Ini menjadi rumusan umum hasil simposium bertajuk "Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Kesejarahan".
Anggota tim perumus Agus Widjojo mengatakan, tindakan kekerasan itu menjadi salah satu penyebab pecahnya tragedi 1965.
"Artinya bahwa sebelum 65 kami temukan, tindakan-tindakan kekerasan, pembunuhan dan yang (jumlahnya--Red) hampir bisa menyamai dengan pembunuhan setelah 65 yang dilakukan PKI kepada nonPKI. Terutama pada peristiwa pemberontakan 1948. Walaupun memang skalanya lebih besar dalam skala tindakan kekerasan setelah 65," jelas Agus kepada KBR, Kamis (19/5).
Wacana mengaitkan peristiwa 1948 dengan 1965 sempat mengemuka pada simposium hari kedua, 19 April lalu. Pendapat itu ditentang oleh beberapa peserta diskusi. Salah satunya Yunantyo, pegiat HAM dan sejarawan dari Semarang. Ia mengungkapkan keberatannya. Peristiwa Madiun 1948, lanjutnya, merupakan konflik antarkelompok politik. Sementara, pasca 1965 adalah kekerasan massal negara kepada rakyatnya.
"Yang Madiun dua-duanya melakukan kekejaman, PKI dan lawannya saling melakukan kekejaman. Nah yang dipermasalahkan dalam tragedi kemanusiaan 1965 ini bukan pelaku G30S, tapi ada ratusan ribu dibunuhi dengan alat-alat negara. Pelaku G30S diadili, lalu yang bukan pelaku dibunuhi. Dan orang PKI yang dulu anggota pada 48 itu kan mengalami perkembangan. Dua peristiwa ini dua ruang waktu yang berbeda, bagaimana mungkin dikaitkan?" Kata Yunatyo.
Lagipula, kata dia, peristiwa 1948 telah dituntaskan secara kenegaraan oleh Presiden Soekarno satu tahun setelahnya.
"Pada 1949, parlemen waktu itu namanya Komite Nasional Indonesia Pusat membahas Madiun secara kenegaraan dan mengakui bahwa pihak yang bertikai sama-sama melakukan kekejaman. Akhirnya peristiwa itu diselesaikan secara kenegaraan dan, dinyatakan semua pihak dalam peristiwa Madiun bekerja sama kembali dan tidak saling menggugat," terang Yunantyo saat dihubungi KBR, Kamis (19/5).
Pada 7 September 1949, Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo mengeluarkan pernyataan yang menyebut bahwa pihak yang terlibat peristiwa Madiun takkan dituntut asalkan tak tersangkut dalam tindak kejahatan kriminal.
Periodisasi, Salah Satu Perdebatan Alot
Anggota tim perumus lainnya, Suryo Susilo mengakui, simpulan mengaitkan peristiwa sebelum 1965 dan sesudahnya sempat menjadi perdebatan di antara anggota tim perumus. Hanya saja, adu argumen itu berkisar pada penggunaan istilah pelanggaran HAM berat.
"Hanya (perdebatan--Red) istilah saja. Apakah sebelum 65 juga disebut pelanggaran HAM berat? Setelah 65 bagaimana? Ini semua merupakan bahan diskusi. Akhirnya ada informasi dari Komnas HAM, bahwa kejadian 65 itu bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat, tapi karena belum melalui proses, karena pelanggaran HAM berat ini kan yudisal, belum melewati penyidikan dan selanjutnya. Maka masih diduga. Yang pra kami pakai istilah lain, disebut terjadi tindakan kekerasan secara masif," jelasnya.
Lebih lanjut Suryo mengatakan, belum bisa membeberkan rekomendasi final yang diserahkan ke pemerintah, pada Rabu (18/5) lalu. Sebab menurutnya, pilihan mengungkap ke publik, menjadi kewenangan pemerintah. Tugas tim, kata dia, hanya sebatas mengusulkan konsep penyelesaian.
Baca juga: Wawancara soal proses perumusan konsep penyelesaian tragedi '65
"Kebijakan memilih itu kewenangan pemerintah. Karena kan pemerintah itu kan tukang masaknya nih. Kami hanya yang memilihkan bumbu. (Artinya unsur penyelesaian?) Iya, elemen-elemen penyelesaian," ujar Suryo saat ditemui KBR di Jakarta, Kamis (20/5).
Agus Widjojo menyatakan, penyelesaian akan bermuara pada mekanisme nonyudisial melalui rekonsiliasi.
"Tentu ada konsekuensi risiko sikap ikutannya oleh berbagai elemen (penyelesaian--Red). Hendaknya kita percayakan pada rasionalitas dan akal sehat individu yang memegang peranan. Poin besarnya rekonsiliasi, kalau rehabilitasi masuk konsep rekonsiliasi dan merupakan kebutuhan ya mengapa tidak. Dan, itu yang saya katakan sebagai logika dan akal sehat," ungkap Agus.
Temuan pelanggaran hak-hak terhadap sejumlah warga pada masa sebelum dan sesudah tragedi 1965 memungkinkan pilihan rehabilitasi umum. Opsi ini juga pernah disampaikan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto saat menutup kegiatan simposium April lalu.
Meski begitu, menurut Suryo, sejumlah rekomendasi dari timnya hanya berupa masukan. Sementara pilihan keputusan, tetap di tangan pemerintah.
"Itu terserah pemerintah, kita memberikan rekomendasi seperti ini, nanti pemerintah mau membuat seperti apa ya monggo," ujar Suryo Susilo.
Baca juga: Ini Pertimbangan Rekomendasi Tak Diungkap ke Publik
Hari ini, sedianya Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan bertemu perwakilan anggota tim perumus simposium 1965 untuk membahas hasil rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965. Namun pertemuan tersebut urung terlaksana.
"Seharusnya sekarang, tapi tidak jadi. Menunggu Pak Luhut pulang dari luar negeri (Rusia--Red)," jelas anggota tim perumus dari Komnas HAM, Roichatul Aswida saat dikonfirmasi KBR, Jumat (20/5).
Baca juga: kumpulan berita mengenai penuntasan tragedi '65
Editor: Rony Sitanggang
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!