NASIONAL
Revisi UU Polri: Kekhawatiran Jika Kewenangan Polisi Bertambah
Jika kewenangan-kewenangan kepolisian makin besar, akan menjadi ancaman bagi masyarakat.

KBR, Jakarta - Usai pengesahan revisi Undang-Undang TNI, kini bergulir wacana untuk melanjutkan pembahasan revisi UU tentang Kepolisian. RUU Polri sudah ditetapkan menjadi usul inisiatif DPR sejak Mei 2024.
Komisi III DPR menyatakan siap melanjutkan pembahasan revisi. Namun, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan parlemen belum menerima surat presiden atau surpres dari pemerintah.
Dalam pertemuan dengan sejumlah jurnalis di rumahnya daerah Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Presiden Prabowo Subianto berjanji akan mempelajari draf revisi tersebut.
"Udah siap draf yang beredar? Hahaha. Saya akan pelajari draf itu (RUU Polri)," kata Prabowo, Minggu (6/4/2025).
Prabowo bilang, kewenangan polisi tidak boleh ditambah. Polisi cukup bertugas dalam sektor keamanan, tekannya.
"Pada prinsipnya, polisi harus diberi wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya. Kalau dia sudah diberi wewenang cukup, kenapa harus ditambah. Jadi ini tinggal kita menilai secara arif gradasi itu. Kalau polisi sudah diberi wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya, untuk memberantas kriminalitas, memberantas penyelundupan narkoba, dan sebagainya, saya kira cukup. Kenapa kita harus mencari cari," kata Prabowo.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian menyoroti sejumlah pasal yang merujuk pada upaya perluasan kewenangan Polri dalam penyidikan. Berdasarkan draf rancangan yang beredar, mereka menuding ada upaya menjadikan kepolisian sebagai institusi superbody.
Bahkan mereka khawatir revisi itu justru akan menjadikan Polri sebagai alat politik kekuasaan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat.
Berdasarkan draf RUU Polri yang beredar, ada beberapa pasal yang menuai sorotan. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) memperkenankan Polri melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Kemudian Pasal 16A menyebut Polri berwenang menyusun rencana dan kebijakan intelijen.
"Sayangnya berbagai penambahan kewenangan yang dimuat tidak disertai dengan pengaturan yang tegas dan ketat mengenai mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kewenangan aparatur kepolisian," tulis koalisi dalam siaran pers mereka.
Koalisi menuntut DPR dan Presiden tidak menyusun undang-undang secara serampangan hanya untuk kepentingan politik kelompok tertentu.
Baca juga:
- Prabowo Saat Rapim TNI-Polri: Jangan Arogan, Pangkat dari Rakyat
- Survei LSI: Dibandingkan Penegak Hukum Lain, Kepercayaan Publik ke Polri Paling Rendah
Menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, kekhawatiran terkait perluasan kewenangan kepolisian dalam revisi Undang-Undang Kepolisian cukup mendasar.
Sebab kata dia, fakta yang dirasakan masyarakat, polisi seringkali masih jauh dari profesional dan juga dijadikan alat-alat kepentingan di luar tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
"Alat-alat kepentingan, bisa alat-alat kepentingan elite kepolisian, alat kepentingan oknum, alat kepentingan korporasi, atau alat kepentingan politik kekuasaan. Yang ini yang kekhawatiran inilah yang dirasakan oleh masyarakat bila undang-undang, revisi Undang-Undang Kepolisian ini tidak menyentuh problem yang dirasakan masyarakat selama ini," ujar Bambang kepada KBR, Selasa (8/4/2025).
"Karena implementasi Undang-Undang 2 Tahun 2002 itu saja sudah sangat jauh dari harapan, apalagi dengan adanya penambahan kewenangan-kewenangan yang tercantum dalam draf revisi Undang-Undang Kepolisian yang beredar di masyarakat itu," imbuhnya.
Bambang menilai, jika kewenangan-kewenangan kepolisian makin besar, akan menjadi ancaman bagi masyarakat.
Dia mengatakan daftar perubahan dalam draf revisi UU tidak menjawab persoalan yang ada di tubuh Korps Bhayangkara.
"Problemnya, revisi Undang-Undang 2002 itu, draf yang beredar tidak sesuai dengan problem-problem yang ada dalam Undang-Undang 2 Tahun 2002 tersebut. Bahkan malah bukan melakukan evaluasi, malah memberikan tambahan kewenangan pada kepolisian. Sementara problem-problem terkait undang-undang tersebut atau implementasi terkait dengan Undang-Undang 2 tahun 2002 itu tidak dijawab dalam revisi Undang-Undang Kepolisian yang drafnya sudah beredar seperti itu," ucap Bambang.
Masalah lainnya, menurut Bambang, ada potensi pembahasan revisi UU tidak transparan.
"Dengan ketidaktransparan itu memunculkan kecurigaan-kecurigaan bagaimana revisi Undang-Undang Kepolisian itu nanti akan terbit seperti apa. Kalau benar sesuai dengan draf yang beredar, ini akan menjadi ancaman bagi masyarakat. Tentu masyarakat sebagai pemilik republik ini pasti akan menolak," ujarnya.
Bambang mendorong pembahasan revisi Undang-Undang Kepolisian dilakukan secara terbuka. Kata dia, dalam proses pembahasan, pemerintah dan DPR harus mengedepankan dialog dengan seluruh kalangan masyarakat.
"Jangan hanya sekadar dialog pada masyarakat tertentu saja yang pada akhirnya hanya sekadar menjadi alat legitimasi saja dari draf tersebut. Kalau itu dilakukan, ya akhirnya akan muncul penolakan-penolakan karena masyarakat merasa tidak dilibatkan. Dan substansi dari revisi Undang-Undang tersebut jauh dari harapan," ucapnya.
Alih-alih memperluas kewenangan, menurutnya peningkatan peran pengawasan di kepolisian jauh lebih mendesak.
"Undang-Undang 2 tahun 2002 ini mengatur bahwa komposisi Kompolnas ini lebih banyak dari perwakilan pemerintah, kemudian perwakilan kepolisian, sementara perwakilan masyarakat hanya tiga orang. Ini dampaknya suara masyarakat ini sangat lemah dalam pengawasan kepolisian yang ada di Kompolnas, seperti itu. Dampaknya Kompolnas sesuai dengan Undang-Undang 2 tahun 2002, ini hanya sekadar alat legitimasi saja dari kebijakan-kebijakan kepolisian. Bahkan muncul adagium atau pameo bahwa Kompolnas malah menjadi juru bicara dari kepolisian," ucapnya.
Baca juga:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!