NASIONAL

Menimbang Kerugian dan Keuntungan Teknologi Rekam Retina World Coin

“Berbeda dengan data KTP atau SIM yang sebetulnya masih bisa kita update, masih bisa kita ganti ketika misalnya ada kebocoran. Biometrik ini bisa punya risiko besar kalau bocor,”

AUTHOR / Nafisa Deana, Valda Kustarini

EDITOR / Valda Kustarini

Google News
Menimbang Kerugian dan Keuntungan Teknologi Rekam Retina World Coin
Warga mengantri di kantor World Coin di Bekasi, Jawa Barat untuk melakukan rekam retina. (Foto: akun X AKU_dgn3putra)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

  • Perekaman retina mata berpotensi jadi celah pencurian identitas.
  • Teknologi rekam retina bisa jadi salah satu solusi masalah double data di Indonesia.
  • Pemerintah didorong membuat regulasi khusus atau undang-undang terkait penggunaan data biometrik dalam sistem digital yang sensitif. 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

KBR, Jakarta – Pernahkah terpikir jika di masa depan identitas bukan hanya dari kartu tanda penduduk (KTP) atau sidik jari? Tetapi lebih canggih, misalnya lewat identifikasi retina mata. Makin majunya teknologi tak menutup hal itu akan terlaksana di kemudian hari.

Beberapa minggu lalu viral di media sosial pemindaian retina mata yang dilakukan World Coin, salah satunya di wilayah Bekasi, Jawa Barat. Warga berbondong-bondong ke kantor World Coin untuk merekam retina, sebagai gantinya ada iming-iming uang ratusan ribu yang dijanjikan World Coin.

Apakah memberikan rekaman retina mata ke perusahaan digital berbahaya?

Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum, menyoroti setidaknya lima potensi risiko perekaman retina mata. Pertama, pencurian data retina mata. Ia menilai dengan banyaknya data yang direkam World Coin, penyedia layanan harus memberikan proteksi maksimal terhadap data, jangan sampai rekaman retina itu bocor.

“Ketika data tersebut tidak memiliki tingkat keamanan yang maksimal, potensi untuk bocor datanya atau disalahgunakan juga menjadi sangat besar,” kata Nenden pada KBR.

Kedua, penyalahgunaan data biometrik. Nenden menjelaskan, cara memperlakukan rekaman retina mata berbeda dengan perekaman data manual seperti KTP dan SIM. Sebab retina mata menempel permanen di tubuh, dan termasuk biometrik yang tidak dapat diduplikasi. Jika data ini jatuh ke tangan yang salah, orang tersebut berisiko menjadi korban pencurian identitas atau penyalahgunaan akses tanpa bisa menggantinya.

“Berbeda dengan data KTP atau SIM yang sebetulnya masih bisa kita update, masih bisa kita ganti ketika misalnya ada kebocoran. Biometrik ini bisa punya risiko besar kalau bocor,” jelasnya.

Ketiga, risiko peretasan. Sistem biometrik bisa saja diretas. Jika hacker berhasil masuk ke server penyimpanan data retina, mereka bisa menyalin atau menyebarkan data tersebut ke pasar gelap digital (dark web). Itu sebab, Nenden juga mengkritisi kesiapan infrastruktur teknologi dalam negeri, selain juga aturan yang sudah berlaku. 

" Meskipun udah ada undang-undang PDP tapi kan kita belum melihat efektivitasnya ya, dan implementasinya kita masih wait and see, karena masih banyak hal-hal yang memang belum dipenuhi lah oleh pemerintah,” ujarnya.

Keempat, risiko kurang pengawasan penggunaan data. Setiap usaha yang dibuka di Indonesia harus ada izin dari pemerintah. Terlebih World Coin mengumpulkan data dari warga. Pemerintah harus mampu melakukan tugas regulasi dan pengawasan agar data tak disalahgunakan.

“Harus memastikan data warga itu aman ya dan maksudnya tidak disalahgunakan pihak manapun, mau itu data asing ataupun perusahaan global, ataupun lokal, ya itu memang seharusnya dilakukan,” tutur Nenden.

Kelima, kurangnya transparansi. Walaupun perekaman itu diklaim bertujuan untuk membedakan antara manusia dan kecerdasan buatan (AI), namun alasan tersebut masih dinilai ambigu. Ke depan, tanpa transparasi yang baik pengguna tidak tahu ke mana data mereka dikirim atau siapa yang bisa mengaksesnya. Nenden mendorong World Coin bisa memberikan penjelasan komperhensif terkait penggunaan data.

“Harus dipastikan juga bahwa pemerintah atau negara juga tahu ya bagaimana prosedurnya, datanya mau dibawa ke mana, siapa yang mengelola, siapa yang bertanggung jawab, untuk memastikan bahwa data warga itu adalah aman," jelasnya. 

red
World Coin menggunakan 'orb' untuk merekaman retina masyarakat. (foto: media sosial)

Perekaman Retina Solusi Problem Data Identitas?

Pandangan lain disampaikan Pengamat Keamanan Siber Alfons Tanujaya. Menurutnya, identifikasi biometrik retina dapat menyelesaikan masalah identitas di Indonesia. Ia mendorong transformasi teknologi perekaman retina sebab, telah banyak kasus penyalahgunaan identitas seperti KTP, SIM, dan paspor.

“Sistem World ID ini bisa membantu mencegah penyalahgunaan identitas, meskipun orangnya bisa ganti identitas, biometriknya akan tetap sama dan terdeteksi oleh sistem," jelas Alfons.

Alfons menilai identifikasi retina mata yang unik di tiap orang bisa dimanfaatkan untuk autentifikasi, sebagai bukti pengguna teknologi adalah manusia bukan bot. Selain itu, teknologi dari perusahaan Tools for Humanity itu dapat dimanfaatkan untuk mencegah penggunaan bot ketika membeli tiket daring (war tiket) karena mampu membedakan identitas manusia dan AI.

“Misalnya war tiket PSSI yg menang adalah yang memiliki koneksi kencang dan menggunakan banyak bot yang akan mendapatkan banyak tiket. Dengan sistem World ID ini, bot-bot tidak akan bisa menjalankan aksinya karena akan terdeteksi dan dihentikan sebelum beraksi," katanya.

Tak hanya itu, penggunaan data rekam retina dapat mengantisipasi partisipasi buzzer atau pendengung di berbagai sosial media. Saat ini banyak postingan di media sosial yang sengaja dijadikan trending oleh para pendengung. Pendengung biasanya meninggalkan banyak komentar bernada serupa, jika aktivitas ini berulang di satu akun akan dianggap spamming oleh sistem, itu sebab buzzer memiliki beberapa akun saat melancarkan aksinya.

Saat ini, meskipun pendaftaran kartu SIM telepon seluler telah menggunakan sistem perekaman KTP tapi cara tersebut masih bisa dicurangi. Ditambahlagi pendaftaran akun media sosial juga mudah, modalnya hanya email.

Jika teknologi rekam retina ini diimplementasikan, harapannya orang-orang tidak akan memiliki lebih sari satu akun, sebab identitas mereka terrekam dalam bentuk data retina.

“Akun-akun bot akan bisa dicegah melakukan posting atau memberikan kesan seakan-akan semua bot itu mewakili banyak individu pemilik akun padahal itu adalah bot yg dikendalikan oleh beberapa orang saja,” terang Alfons.

Baca Juga:

Dorongan ke Pemerintah Setelah Perekaman Retina

Aktivitas perekaman retina mata oleh World Coin direspon Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dengan pembekuan sementara Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) Worldcoin dan WorldID pada 4 Mei lalu.

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi Alexander Sabar mengatakan langkah tersebut diambil setelah adanya laporan dari masyarakat mengenai aktivitas mencurigakan yang berhubungan dengan dua layanan kripto tersebut. Kata dia, hal tersebut juga merupakan langkah preventif untuk melindungi data masyarakat.

Meski retina mata warga terlanjut direkam, Pengamat Keamanan Siber Alfons Tanujaya mendorong pemerintah bisa bertindak tegas, yaitu memastikan data warga berada di server yang berlokasi di dalam negeri.

“Meminta data biometrik orang Indonesia disimpan di server pada data center yang terletak di Indonesia dan tidak di luar Indonesia,” desak Alfons.

Demi menjaga data, pengamanan melalui enskripsi ketat juga wajib dilakukan World Coin. Ia mencontohkan perusahaan besar seperti Microsoft dan Google yang sudah berpengalaman mengelola banyak data.

“Lihat saja Google, Meta, dan Microsoft yg mengelola data pengguna Indonesia yg banyak. Kira-kira seperti itu. Memastikan data tidak bocor yah sangat tergantung kepada pengelola datanya,” pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono menanggapi aktivitas World Coin di Indonesia mendorong adanya regulasi khusus ataupun undang-undang untuk mengatur penggunaan data biometrik dalam sistem digital yang sensitif.

Dave mendukung langkah pembekuan World Coin oleh Komdigi, sebab menurutnya, penggunaan data biometrik retina oleh pihak swasta, apalagi entitas asing, sangat rawan disalahgunakan dan belum memiliki dasar hukum yang kuat di Indonesia.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!