NASIONAL
Rapor Pemerintahan Prabowo dari Sejumlah Pakar UGM
Sejumlah pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) turut menyoroti kinerja pemerintahan Presiden Prabowo yang berkaitan dengan Asta Cita

KBR, Yogyakarta– Survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih dalam 100 hari pertama menunjukkan hasil yang cukup positif.
Diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas dan Indikator Politik Indonesia, tingkat kepuasan publik masing-masing tercatat sebesar 80,9 persen dan 79,3 persen.
Sejumlah pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) turut menyoroti kinerja pemerintahan Presiden Prabowo yang berkaitan dengan Asta Cita, program yang menjadi fokus pemerintahan dalam 100 hari pertama.
Pakar Politik UGM, Mada Sukmajati, mengungkapkan salah satu program yang paling terlihat adalah Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk siswa, serta bantuan gizi untuk balita dan ibu hamil. Namun, Mada menilai meskipun program tersebut sudah berjalan, desain dari program ini masih belum jelas.
"Ya menurut saya program ini nggak salah, tetapi kan desainnya harus matang. Pemangkasan anggaran itu juga tidak akan menjamin bisa membiayai semua dari program ini. Ini program yang tipikal membutuhkan sumber daya negara yang besar," ujar Mada dalam diskusi Pojok Bulaksumur di UGM, Yogyakarta, Jumat (7/2/2025).
Lebih lanjut, Mada menyebutkan program MBG ini akan sulit berjalan jika tidak ada partisipasi dari masyarakat dan pengembangan potensi ekonomi lokal.
"Karena itu tadi menurut saya desainnya itu belum matang. Sampai sekarang lebih dari 100 hari itu belum matang. Semua program cepat tadi itu, jangankan implementasi, rencananya saja tidak pernah disampaikan oleh pemerintah," jelasnya.
Menurut Mada, kejelasan desain dalam program MBG ini masih belum terlihat, baik dari kementerian yang ditunjuk, peran pemerintah daerah, maupun peran masyarakat.
"Jadi memang gayanya Pak Prabowo ini kepemimpinannya kan kalau kita mengacu pada gaya kepemimpinannya Soekarno-Hatta, solidarity maker dan agitator. Pak Prabowo tentu saja bukan pemimpin yang agitator. Tapi sayangnya, Wakil Presidennya gaya kepemimpinannya itu masih mencari gaya," tandasnya.
Baca juga:
Sementara itu, Pakar Hukum UGM, Hendry Noor Julian, menyoroti melemahnya sistem check and balance dalam pemerintahan saat ini. Hendry mengutip teori Donald Black dalam The Behavior of Law yang menyebutkan bahwa kedekatan politik dapat menyebabkan hukum kehilangan daya berlakunya. Hal ini merujuk pada dominasi koalisi di parlemen yang berpotensi mengurangi efektivitas pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
"Alih-alih menjadi mekanisme kontrol, hubungan eksekutif dan legislatif saat ini cenderung bersifat partnership," jelas Hendry.
Lebih lanjut, Hendry menjelaskan di awal pemerintahan, ide Presiden Prabowo untuk memaafkan koruptor mendapat banyak kritikan. Menurutnya, status seseorang sebagai koruptor harus didasarkan pada putusan hukum yang berkekuatan tetap.
Menurut Hendry, jika benar ada mekanisme yang memungkinkan koruptor bebas setelah mengembalikan uang negara, hal ini akan menimbulkan banyak persoalan, terutama dalam hal penegakan hukum dan keadilan.
Hendry juga menyatakan keraguannya terhadap keberhasilan kebijakan ini, mengingat pranata dan aparat yang ada saat ini.
“Kalau melihat pranata dan aparat yang ada sekarang, saya bahkan kurang yakin di atas 20 persen kebijakan ini bisa berhasil,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom UGM, Yudistira Hendra Permana, turut menyoroti kebijakan penghapusan utang bagi UMKM, petani, dan nelayan. Yudistira menilai kebijakan ini lebih merupakan langkah desperatif ketimbang solusi jangka panjang untuk meningkatkan perekonomian.
"Apakah ini langkah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, atau justru tanda bahwa pemerintah sudah kehabisan opsi?" tandasnya.
Yudistira juga memberikan tanggapan terhadap kebijakan pemangkasan anggaran di berbagai sektor yang merupakan dampak dari defisit fiskal yang semakin membesar. Ia juga menyoroti kebijakan yang kurang memperhitungkan keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang. Selain itu, ia menilai target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen terlalu ambisius, mengingat kondisi ekonomi global yang masih mengalami perlambatan.
"Capaian 8% dalam lima tahun ke depan saya rasa tidak realistis tanpa strategi konkret dan kebijakan ekonomi yang lebih terstruktur," pungkasnya.
Baca juga:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!