INDONESIA

Pengungsi Suriah Hadapi Samarnya Kebijakan Suaka di Korea Selatan

Tapi petugas di sana mengatakan, melarikan diri dari peperangan tak bisa jadi alasan untuk mendapat suaka.

AUTHOR / Jason Strother

Ahmed Lababidi, pencari suaka asal Suriah yang kini tinggal di Pulau Jeju Korea Selatan sejak 2012.
Ahmed Lababidi, pencari suaka asal Suriah yang kini tinggal di Pulau Jeju Korea Selatan sejak 2012. (Foto: Jason Strother)

Perang yang masih berkecamuk di Suriah membuat puluhan ribu warganya menjadi pengungsi di Eropa. Tapi ada beberapa dari mereka yang melarikan diri ke Korea Selatan.

Koresponden Asia Calling KBR Jason Strother memperkenalkan kita pada seorang anak muda asal Shuriah. Dia kini menyebut Korea Selatan sebagai rumahnya, meski tidak tahu untuk berapa lama.

Jason menyusun kisahnya dari Pulau Jeju di selatan Seoul.

Pulau Jeju adalah tempat peristirahatan yang terkenal bagi orang Korea Selatan. Pulau itu ditutupi batu vuklanik hitam yang menjorok laut.

Dihuni 600 ribu jiwa orang Korea, termasuk seorang anak muda asal Suriah, Ahmed Lababidi.

Hari ini cukup cerah dan kami pergi ke sebuah cafe untuk berbincang.

Lababidi berusia 22 tahun. Dia memakai kacamata, tidak berkumis atau berjenggot dan berambut hitam panjang.

Karena perang melanda kampung halamannya, Aleppo pada 2012, keluarganya melarikan diri ke Turki.

Di akhir tahun itu, dia dan saudara lelakinya mendapat visa bisnis selama tiga bulan di Korea Selatan. Alasan yang mereka gunakan untuk membeli mobil.

Lababidi mengatakan, awalnya dia mau tinggal di ibukota Seoul. Tapi dia berubah pikiran saat berkunjung ke Jeju.

“Saya sering datang ke Seoul. Tapi setiap kali ke sana, saya jatuh sakit. Saya merasa stres, lelah dan ingin pulang,” kata Lababidi.

Setelah beberapa bulan tinggal di pulau itu, dia datang ke kantor imigrasi dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan status pengungsi.

Tapi petugas di sana mengatakan, melarikan diri dari peperangan tak bisa jadi alasan untuk mendapat suaka. Suaka kata dia, hanya diberikan bagi orang yang melarikan diri akibat penganiayaan.

“Saya bilang tentu saja pemerintah menginginkan saya. Bagaimana Anda tahu soal itu? Berikan kami bukti dan kami akan memberikan status pengungsi pada Anda. Saya bilang bagaimana cara saya membuktikannya? Saya aktif di Facebook menyuarakan anti-pemerintah, mereka tahu nama saya,” terang Lababidi.

Kantor imigrasi hanya bisa mengeluarkan visa kemanusiaan untuknya. Dengan visa itu, ia tetap bisa tinggal di Korea.

Tetapi menurut Lababidi, visa tersebut berbeda dengan visa pengungsi. “Tidak ada asuransi kesehatan, perumahan dan tunjangan. Mereka hanya bilang Anda bukan pengungsi, kami hanya memberi Anda status kemanusiaan.”

Pihak imigrasi juga tak menyebut berapa lama masa berlakunya dan berapa kali ia bisa mengajukan permohonan untuk visa ini.

Dan Lababidi, tak sendiri. Sampai akhir tahun lalu, ada sekitar 850 orang Suriah yang mengajukan status pengungsi ke Korea Selatan. Tapi, hanya tiga yang dikabulkan.

Ia sempat mempertanyakan keputusan itu. Namun petugas imigrasi menjawab bahwa semua permohonan diperlakukan adil.

Terkait dengan pengungsi, Korea Selatan sangat bermurah hati pada pengungsi Korea Utara. Semisal; adanya program pemukiman kembali. Tapi menurut pegiat HAM, ada bias jika tertuju pada pengungsi dari negara lain.

Panggilan shalat berkumandang dari sebuah masjid terbesar di Kota Seoul.

Chung Shin-young, seorang pengacara imigrasi mengatakan, pencari suaka Muslim kerap dicurigai di Korea Selatan.

“Korea itu masyarakatnya sangat homogen dan sulit menerima keberagaman. Ketika ada orang dari bangsa lain datang ke Korea untuk mencari suaka, kami merasakan perasaan yang berbeda. Penyebabnya karena orang yang datang itu punya warna kulit dan budaya yang berbeda,” papar Chung.

Seperti di Eropa atau Amerika Utara, beberapa politisi, media dan aparat hukum negara itu berupaya mengaitkan pengungsi Suriah dengan terorisme.

Chung menyontohkan dari yang dikatakan polisi ke pendatang Muslim di salah satu Koran lokal.

“Polisi mendekati warga Muslim dan meminta mereka untuk mencukur jenggot. Mereka bilang Anda terlihat seperti teroris karena itu Anda harus mencukur jenggot. Dan mereka pergi ke Masjid hanya untuk mencari siapa saja yang terlihat seperti teroris,” kata Chung.

Bagi Ahmed Lababidi, kehidupan di Pulau Jeju, cukup baik. Dan dia mendapat banyak teman dari pekerjaannya sebagai pelayan di restoran India.

Tapi, sebuah pengalaman tak mengeenakkan terjadi pasca serangan bom di Paris tahun lalu. Dia diinterogasi kepolisian.

“Saya merasa tidak enak. Mengapa mereka datang kepada saya? Mengapa mereka berpikir saya teroris? Tapi kemudian saya mengerti kalau mereka harus melakukannya karena mereka tidak mengenal saya,” kata Lababidi.

Lababidi berharap, imigrasi Korea Selatan kembali mempertimbangkan permohonannya untuk mengantongi status pengungsi.

Pilihan lain, jika orangtuanya yang berada di Turki mendapat status pengungsi di Eropa, dirinya akan menyusul ke sana. Hanya, Labadidi lebih suka membawa keluarganya ke Pulau Jeju.

“Akan lebih baik jika mereka bisa datang kemari mengunjungi Jeju. Saat saya berkeliling pulau, saya selalu ingat mereka. Mereka tidak akan pernah melihat tempat seperti ini atau merasakan kehidupan seperti ini di sini,” jelas Lababidi.  

 

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!