NASIONAL

Pemberantasan Korupsi Era Jokowi Memburuk?

"Most likely penyebabnya semuanya itu conflict of interest yang arahnya pada kekuasaan," kata dia.

AUTHOR / Astri Yuanasari

EDITOR / Resky Novianto

Google News
jokowi
Presiden Joko Widodo. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 menilai, kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memburuk.

Saut menyebut, kerusakan semakin tinggi dimulai dari 2019 sejak adanya revisi Undang-Undang KPK.

"Kita ambil aja dari 2019 kerusakan itu kan semakin tinggi. Dimulai dari tidak pahamnya apa itu yang disebut sebagai koordinasi, supervisi, monitoring, pencegahan, penindakan di KPK, dia nggak ngerti. Jadi ini menunjukkan bahwa keadaannya semakin buruk," kata Saut kepada KBR, Kamis (10/10/2024).

Saut menambahkan, pada era pemerintahan Jokowi juga tidak ada upaya-upaya yang serius dan sustainable, untuk membangun sistem dan strategi pemberantasan korupsi.

"Baik itu skill, lalu orang-orang yang berada di situ, terus kemudian yang lain-lain lah, yang menyangkut karena rusaknya nilai yang dibangun dalam pemberantasan korupsi," imbuhnya.

Saut mengatakan, nilai-nilai pemberantasan korupsi telah rusak karena conflict of interest yang cukup tinggi, yang mengarah pada kekuasaan.

"Most likely penyebabnya semuanya itu conflict of interest yang arahnya pada kekuasaan," kata dia.

Bantahan Istana

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan membantah jika pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Jokowi memburuk.

Apalagi, jika disebut era Jokowi berupaya melemahkan KPK dengan Revisi UU KPK. Menurut Irfan, itu adalah sangkaan yang tendensius.

"Sangkaan-sangkaan yang disampaikan oleh masyarakat itu atau kelompok masyarakat itu mungkin sangat tendensius ya. Apa yang menjadi misalnya ukuran pemerintahan pak Jokowi itu, ini akan berpotensi melemahkan karena adanya revisi Undang-Undang KPK. Sebuah undang-undang itu akan direvisi kan karena memang bisa menjadi sebuah kebutuhan yang ada dalam konteks penanganannya," kata Irfan kepada KBR, Kamis (10/10/2024).

Irfan menjelaskan, dalam konteks pemberantasan korupsi, metode, cara, dan formulasi tentu jauh berbeda dengan apa yang dilakukan untuk memberantas korupsi pada 20 tahun yang lalu, sehingga revisi itu perlu.

"Semua pelaku-pelaku yang diduga melakukan korupsi sampai hari ini masih menjadi sorotan dari KPK. Terbukti berapa hari yang lalu kita mendengar OTT yang dilakukan KPK di Kalimantan Selatan nah itu adalah bukti bahwa KPK tetap jalan," imbuhnya.

Irfan juga menegaskan, pemerintahan Jokowi tidak punya niat untuk mencampuri kewenangan lembaga antirasuah. Kata dia, KPK harus berjalan secara profesional terhadap fungsi, tugas dan kewenangannya.

"Dia tidak boleh bermain di wilayah-wilayah yang abu-abu, KPK tidak boleh untuk melakukan kegiatan yang mungkin bisa saja diduga sifatnya politik, nggak boleh. Juga dia harus masuk dalam wilayah yang menjadi tugas dan fungsi kewenangannya, apa pemberantasan korupsi," kata Irfan.

Survei Indikator Politik

Sebelumnya, Survei Indikator Politik Indonesia memaparkan data penilaian publik soal pemberantasan korupsi di era Presiden Jokowi. Mayoritas publik menilai kondisi pemberantasan korupsi di pemerintahan sekarang buruk.

“Pemberantasan korupsi Bagaimana penilaian publik di sini yang menilai sedang dan buruk sangat buruk. Kalau buruk dan sangat buruknya kita jumlahkan maka justru yang lebih banyak nilai buruk sangat buruk 37,7% warga nilai pemberantasan korupsi kita saat ini buruk. Sedang 31,7% dan yang menilai baik lebih sedikit ada 26%,” ujar Peneliti Utama Lembaga Survei Indikator, Rizka Halida dalam Rilis Indikator, Jumat (4/10/2024).

Rizka menambahkan, dalam evaluasi pemberantasan korupsi menurut publik dalam beberapa bulan terakhir yang dinilai buruk cenderung naik.

Yakni dari 34 persen menjadi 37,7 persen dan sebaliknya yang menilai baik semakin menurun dari 29,4 persen ke 26 persen.

Survei Indikator Politik Indonesia ini melibatkan 3.540 responden di seluruh Indonesia. Indikator menggelar survei ini pada 22-29 September 2024.

Penarikan sampel menggunakan metode multistage random sampling. Margin of error sekitar 2,3 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Baca juga:

- Kasus Jet Pribadi, KPK: Kaesang Sama di Mata Hukum

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!