NASIONAL

PBHI: Intimidasi terhadap Band Sukatani Langgar HAM dan Kode Etik Polri

"Karena ekspresi adalah bentuk nyata atau perwujudan dari alam pikiran masyarakat, dan dalam konteks lagu berjudul Bayar Bayar Bayar ini, merupakan pengalaman faktual dan empirik dari masyarakat,"

AUTHOR / Siska Mutakin, Wahyu Setiawan

EDITOR / Muthia Kusuma

Google News
aksi
Massa aksi Indonesia Gelap membawa poster kritikan terhadap dugaan intimidasi polisi ke Band Sukatani, Jumat, (21/2/2025) (FOTO: KBR/Wahyu Setiawan)

KBR, Jakarta- Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menilai adanya intimidasi dan ancaman multidimensional dalam permintaan maaf yang dilakukan oleh Band Sukatani atas karya seni mereka berupa lagu berjudul Bayar Bayar Bayar.

Ketua PBHI, Julius Ibrani, menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kebebasan berekspresi serta pelanggaran Kode Etik Polri.

"Karena ekspresi adalah bentuk nyata atau perwujudan dari alam pikiran masyarakat, dan dalam konteks lagu berjudul Bayar Bayar Bayar ini, merupakan pengalaman faktual dan empirik dari masyarakat yang berhadapan dengan anggota Polri dan kemudian harus membayar pungli," kata Julius kepada KBR, Jumat (21/02/2025).

Menurut Julius, ancaman terjadi saat Band Sukatani dalam perjalanan dari Bali menuju Banyuwangi setelah tampil. Ia menegaskan bahwa pengalaman ini faktual, bukan direkayasa atau dibuat-buat.

Julius menegaskan, tindakan represi terhadap Band Sukatani yang dilakukan oleh anggota Polri melanggar kode etik profesi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 mengenai Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Oleh karena itu, perlu segera ada tindakan tegas dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Irjen Pol Abdul Karim selaku Kepala Divisi Propam Mabes Polri agar kasus seperti ini tidak terus berulang, yang pada akhirnya merusak citra Polri dan menurunkan kepercayaan publik," ujarnya.

Sebelumnya, Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan Polri tidak antikritik. Bahkan, ia menyampaikan, pihak yang paling berani mengkritik Polri secara keras adalah Sahabat Polri sendiri.

Julius menilai, tindakan anggota Polri yang merepresi Band Sukatani bertentangan dengan instruksi dan arahan Kapolri.

Sukatani
Band punk rock Sukatani dijadwalkan tampil di acara "Crowd Noise" di Gedung Korpri, Slawi, Tegal, Jawa Tengah, pada Minggu (23/2/2025) (Sumber: Instagram crowdnoise_)

Julius juga menyoroti maraknya tindakan represi terhadap karya seni. Ia mencontohkan kasus seorang seniman bernama Yos Sudarso yang dilarang menayangkan hasil lukisannya karena dianggap mengkritik negara. Selain itu, ia juga menyinggung kasus pelarangan lagu-lagu Iwan Fals, puisi-puisi Wiji Thukul, serta pembredelan buku-buku kritis dan karya seni dalam bentuk lukisan yang dianggap subversif.

Baca juga:

Menurut Julius, tindakan represif seperti ini justru memperburuk citra Presiden Prabowo Subianto, mengingat latar belakangnya sebagai pejabat militer sekaligus politisi.

Julius menegaskan bahwa karya seni adalah indikator kemajuan peradaban dan kebudayaan suatu masyarakat, baik berupa patung, puisi, lagu, dan sebagainya. Ia menilai bahwa Band Sukatani adalah bagian dari kebudayaan Indonesia yang berkembang pesat, mencerminkan pemikiran kritis, dan tidak sekadar menciptakan karya seni yang normatif belaka.

PBHI mendesak Kementerian Kebudayaan untuk bersikap dan bertindak tegas dalam menjamin hak kebebasan berekspresi serta melindungi karya seni Band Sukatani.

"Jika tidak, maka kita akan menjadi bangsa yang kerdil, masyarakat yang penuh ketakutan. Saat itu juga, status negara kita yang tadinya Rechtsstaat atau negara hukum akan berubah menjadi Machtsstaat atau negara penjaga malam yang penuh ketakutan di hadapan rakyatnya," pungkas Julius.

Aksi Bela Band Sukatani

Sebelumnya ramai di media sosial, personel Band punk, Sukatani asal Purbalingga meminta maaf kepada Polri dan menarik lagu yang berjudul Bayar Bayar Bayar di platform musik digital. Lagu itu salah satunya berisi kritik terhadap polisi.

Merespons video permintaan maaf itu, ribuan massa berkumpul di Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, hari ini. Massa aksi 'Indonesia Gelap' di Jakarta kompak menyanyikan lagu 'Bayar, Bayar, Bayar' milik band Sukatani.

Massa menduga ada indikasi intimidasi dari Kepolisian terhadap band punk itu untuk memaksa mereka meminta maaf dan menghapus lagu berisi kritik terhadap polisi di platform steaming digital. Mereka juga meneriakkan reformasi.

Berdasarkan pantauan Jurnalis KBR, massa yang didominasi mahasiswa itu menggelar unjuk rasa bertajuk Indonesia Gelap.

Sebagian massa membawa beragam poster berisi kritikan ke pemerintah. Seperti gemuknya kabinet Prabowo-Gibran hingga efisiensi anggaran yang dinilai tidak berpihak ke rakyat.

Dari atas mobil komando, orator juga meneriakkan berbagai tuntutan. Antara lain mendesak Presiden Prabowo mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran, mencabut revisi UU Minerba, hingga menghapus praktik militeristik.

Polisi memasang blokade di depan Kantor Kementerian Pariwisata, sehingga massa tidak bisa menuju ke arah Istana.
Arus lalu lintas di sekitar Patung Kuda terpantau macet. Hingga pukul 17.30 WIB, massa aksi masih bertahan di lokasi.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!