NASIONAL

Menagih RUU Perampasan Aset, Siapa Bikin Mandek?

“Semua bergantung pada politik kebijakan hukum negara apakah negara ini mau menggunakan pendekatan keras terhadap tindak pidana korupsi"

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

EDITOR / Rony Sitanggang

Google News
Perampasan aset
Kejagung menunjukkan barang bukti uang sitaan Rp565 miliar kasus importansi gula Kemendag, di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (25/02/25). (Antara/Nadia P)

KBR, Jakarta- Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas melihat pembahasan ihwal RUU Perampasan Aset menyangkut persoalan politik. Pihaknya tengah berupaya agar RUU itu menjadi pembahasan prioritas DPR.

RUU Perampasan Aset tidak masuk ke daftar RUU yang diusulkan DPR untuk masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Beleid yang mandek selama lebih satu dekade tersebut hanya masuk ke dalam Prolegnas 2025-2029.

Soal kesepakatan politik, maka pemerintah kata dia terus menjalin komunikasi dengan partai-partai.

Sementara itu, dia menekankan bahwa dalam hal ini sikap pemerintah sudah jelas yakni mendorong RUU tersebut agar mendapat atensi.

“Jadi itu concern dari pemerintah. Namun sedikit karena pembentuk undang-undang itu adalah DPR maka tentu kewajiban kami untuk melakukan komunikasi dengan teman-teman di parlemen,” tuturnya kepada wartawan di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

Sebelumnya, RUU Perampasan Aset ini mandek selama lebih dari satu dekade setelah naskah RUU tersebut pertama kali disusun pada 2008. Surat Presiden atau Surpres RUU Perampasan Aset baru dikirimkan ke pimpinan DPR sejak 4 Mei 2023 lalu. Tapi, Surpres itu tak kunjung dibahas DPR hingga saat ini.

RUU Perampasan Aset ini dipandang sebagai upaya memberi efek jera bagi koruptor dengan memiskinkan mereka.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menyoroti kerugian negara akibat tindak korupsi.

Berdasarkan data Tren Vonis ICW 2019–2023, rata-rata pengembalian uang pengganti oleh koruptor ke kas negara hanya 13 persen dari total kerugian negara akibat korupsi yang mencapai Rp234,8 triliun.

“Artinya, pemerintah gagal dalam mengembalikan uang negara yang dicuri oleh koruptor. Padahal hari ini, pembahasan penegakan hukum korupsi semestinya naik kelas tidak hanya pada pengembalian kerugian negara tetapi juga pemulihan kerugian korban korupsi,” ucapnya.

Bila difokuskan misal berdasar pantauan ICW terkait tren vonis korupsi tahun 2023 terdapat 1.649 putusan perkara baik ditangani KPK maupun Kejaksaan Agung dengan jumlah terdakwa 1.718 orang. Laporan ini mengacu pada sumber utama Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dari situ terungkap jumlah kerugian keuangan negara akibat korupsi sebesar Rp56 triliun lebih namun hanya Rp7,3 triliun yang dapat dikembalikan ke negara.

Sebanyak Rp7,3 triliun yang dikembalikan ke negara adalah total dari vonis pidana tambahan uang pengganti terhadap terdakwa pada 2023.

Total tuntutan pidana tambahan uang pengganti dari penuntut umum baik KPK maupun Kejaksaan Agung yaitu Rp83 triliun sedangkan setelah vonis hanya dapat terkumpul Rp7,3 triliun.

Berdasarkan hal tersebut ICW mendorong pemerintah dan DPR harus segera mengundangkan RUU Perampasan Aset agar pemulihan kerugian akibat korupsi bisa dimaksimalkan.

Kesepakatan Politik

Sementara itu, Anggota Komisi Hukum DPR RI Fraksi PKS, Nasir Djamil mengartikan upaya Menkum Supratman Andi Agtas yang berkomunikasi dengan partai politik ihwal RUU Perampasan Aset tentu diasosiasikan dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR sebagai pembentuk undang-undang.

“Jadi apapun ceritanya pasti ada kesepakatan politik untuk merealisasikan satu pembahasan ruu di DPR, di pemerintah juga ada begitu ada kesepakatan politik bahwa ini harus dibahas,” ucapnya kepada KBR, Rabu (16/4/2025).

Nasir menyampaikan tidak ada maksud dari kalangan legislator menahan atau menunda-nunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP).

Baca juga:

Kata dia, DPR sedang mengkaji beleid tersebut dari aspek filosofis, sosiologis, maupun yuridis agar bisa berjalan efektif ketika diterapkan nanti. Dia mengakui ada anggapan miring terhadap DPR karena dinilai enggan membahas RUU Perampasan Aset padahal sudah didesak publik.

“Memang akhirnya ada sebagian orang mempersepsikan DPR tidak mau atau menunda-nunda (bahas RUU Perampasan Aset) dan lain sebagainya tapi itu risiko yang harus kami terima tapi kami di dalam berusaha untuk melakukan semacam kajian menggandeng Badan Keahlian DPR untuk melakukan simulasi, kajian mengundang beberapa pakar ahli pidana soal ini,” jelasnya.

Meski begitu, Nasir mengatakan tidak ada niat dari DPR untuk menghambat proses legislasi RUU yang dinilai sebagai instrumen efektif untuk memberantas korupsi tersebut.

“DPR sama sekali tidak menghambat apalagi menahan-nahan rancangan undang-undang ini tapi memang perlu simulasi dan pendalaman yang utuh terkait RUU Perampasan Aset sehingga ruu ini dinilai efektif untuk merealisasikan apa yang kita inginkan selama ini,” tuturnya.

Selagi RUU Perampasan Aset dalam kajian, menurut Nasir, perlu dioptimalkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Kata dia sebenarnya perampasan aset bisa dilakukan lewat aturan itu. Ada 26 tindak pidana yang menjadi asal usul harta kekayaan dalam kasus TPPU termasuk korupsi, narkotika, penyuapan dan lainnya.

“UU ini sebenarnya mampu tinggal nanti memang bagaimana penyidik dan penuntut bisa meyakinkan majelis hakim dan majelis hakimnya tidak masuk angin karena selama ini seringkali dalam kejahatan narkoba misalnya ketika penyidik masuk TPPU tapi di pengadilan orangnya dihukum tapi TPPU-nya dibatalkan oleh majelis hakim jadi ini yang kadang membuat upaya untuk menguras, merampas aset-aset kejahatan nakoba itu menjadi tidak maksimal,” katanya.

Baca juga:

Menurut Nasir perlu ada kesepahaman cara pandang terkait merampas aset pelaku tindak pidana di kalangan aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, dan peradilan.

“Jadi jangan sampai nanti misalnya RUU Perampasan Aset ini mengalami nasib yang sama dijadikan ‘alat’ untuk memukul lawan politik, karena di negeri ini kan agak rentan soal itu,” jelasnya.

Bergantung Presiden

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan mandeknya RUU Perampasan Aset karena belum ada kemauan baik pemerintah maupun DPR untuk membahasnya. Kata dia, semestinya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bisa mendorong RUU itu untuk segera dibahas bersama DPR. Sebab mayoritas partai politik di DPR merupakan koalisi pemerintahan saat ini.

“Semua bergantung pada politik kebijakan hukum negara apakah negara ini mau menggunakan pendekatan keras terhadap tindak pidana korupsi, ini bergantung kepada presiden, semua itu ada di dalam kerangka koalisi kalau presiden menghendaki semalam barang jadi,” katanya kepada KBR, Rabu (16/4/2025).

Menurut dia peran Presiden Prabowo penting karena dengan dukungan mayoritas partai politik, mestinya bisa mengumpulkan para ketua umum untuk bisa melakukan lobi agar beleid itu bisa segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang.

Zaenur menilai bila memang RUU Perampasan Aset sejauh ini masih mandek, kemungkinan para elit belum menghendaki.

“Semua kalau didasari pada nafsu itu bisa kilat tapi kalau untuk kebaikan rakyat itu susah dikatakan wah partainya enggak mau, DPR-nya enggak mau ya karena tidak didasari nafsu,” tuturnya.

Zaenur menambahkan pemerintah dan DPR sebenarnya bisa bekerja cepat dalam mengurus undang-undang bila ada kepentingannya. Hal itu terlihat ketika di masa Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang mengeluarkan rentetan undang-undang yang dinilai publik bermasalah seperti Revisi UU KPK, Minerba, dan Cipta Kerja.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!