BERITA
Kemenkes Bantu Satrio Bayi Gizi Buruk di Sultra
Pembiayaan Satrio bisa menggunakan kartu Indonesia sehat atau dari kementerian sosial.
AUTHOR / Sasmito
KBR, Jakarta- Kementerian Kesehatan meminta Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Baubau tetap menangani bocah penderita gizi buruk Satrio (5) asal Kabupaten Wakatobi. Direktur Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak, Kementerian Kesehatan, Doddy Izwardi mengatakan, pihak rumah sakit tidak perlu mengkhawatirkan masalah biaya meski orang tua Satrio tidak memiliki biaya dan bukan anggota BPJS.
Kata Doddy, pembiayaan Satrio nantinya bisa saja menggunakan dari kartu Indonesia sehat (KIS) atau dari kementerian sosial.
"Kita sedang berkoordinasi langsung ke petugas rumah sakit untuk mendapatkan informasi lengkapnya. Bagaimana dengan pembiayaan? Dalam pengaturan perawatan itu sudah ada mekanisme pembiayaan," jelas Direktur Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak, Kementerian Kesehatan, Doddy Izwardi, kepada KBR, Kamis (03/03).
Doddy melanjutkan, "Kita berkoordinasi dengan Kementerian Sosial ataupun dari BPJS atau KIS apa yang bisa ditanggulangi."
Doddy Izwardi menambahkan penderita gizi buruk di Indonesia saat ini mencapai 3500 kasus lebih di seluruh Indonesia. Menurutnya, ribuan kasus tersebut merupakan kasus gizi buruk yang sebelumnya terjadi dan berulang kembali. Karena itu, kata dia, pemerintah akan terus menguatkan puskesmas-puskesmas di seluruh daerah. Sebab, jika tidak, penderita gizi buruk yang sudah sembuh akan kembali lagi.
Sebelumnya bocah bernama Satrio (5 tahun) dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang mengalami gizi buruk terancam keluar dari rumah sakit. Penyebabnya, orang tua Satrio yang tak punya pekerjaan tetap tak mampu membayar biaya rumah sakit yang mencapai jutaan rupiah. Satrio yang kondisinya beratnya sempat hanya 5,2 kilogram itu juga tak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Editor: Rony Sitanggang
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!