HEADLINE
Ini Rantai Komando Tragedi '65 dan Tahun-tahun Setelahnya
Dalam salinan putusan IPT 1965 yang diterima KBR, berkas jaksa penuntut membeberkan keterlibatan Soeharto dalam pembantaian massal 1965 dan tahun-tahun setelahnya.
AUTHOR / Tim KBR
KBR, Jakarta - Majelis Hakim International People's Tribunal 1965 menyatakan kejahatan kemanusiaan dan genosida yang terjadi pada 1965-1966 didalangi dan dilakukan oleh militer melalui sistem komando. Karenanya, menurut Ketua Majelis Hakim IPT 1965, Zakeria Yacoob, Negara Indonesia harus bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan kemanusiaan tersebut.
"Dari hasil penelitian para peneliti terungkap adanya komando dan petunjuk yang mengaitkan tindakan itu dengan tindak kriminal di wilayah Indonesia lain, dan menunjukkan adanya rantai komando koheren dari Jakarta ke jajaran yang lebih rendah," jelas Zak Yacoob dari Cape Town, Afrika Selatan melalui siaran video.
Dalam salinan putusan IPT 1965 yang diterima KBR, berkas jaksa penuntut membeberkan keterlibatan Soeharto dalam pembantaian massal 1965 dan tahun-tahun setelahnya. Semua itu dimulai pada 2 Oktober 1965 saat Jenderal Soeharto mengambil kontrol de facto atas Ibu Kota dan angkatan bersenjata --tepat sehari setelah tujuh petinggi Angkatan Darat dibunuh.
"Sudah jelas dalam berkas penyelidikan Komnas HAM tentang rantai komando ini. Penelitian kami di 13 wilayah juga serupa, kami serahkan ke hakim, dari Nias sampai ke Kupang pola kekerasan dan kejahatan sama," jelas Ketua Yayasan IPT 1965 Saskia E Wieringa kepada KBR di Jakarta.
Sistem kontrol dan represi militer ini bersifat vertikal dibentuk langsung di bawah wewenang Jenderal Soeharto. Dan, dilaksanakan melalui serangkaian perintah dari Jakarta ke tingkatan lebih rendah. Perintah dan operasi ini dilakukan di bawah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) --sebuah kendaraan yang khusus dibentuk pada 10 Oktober 1965 untuk menghabisi anggota PKI dan simpatisannya, dengan Soeharto sebagai komandan atau Pangkobkamtib.
Instruksi kepada tingkatan tentara yang lebih rendah itu, dikeluarkan Kopkamtib lewat surat bernomor atau dari institusi militer lainnya, seperti Kementerian Pertahanan atau Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) yang juga berada di bawah kendali Soeharto. Dan, ujung dari perintah itu ada di tangan para komandan tingkat distrik atau KODIM (Komando Distrik Militer). Merekalah yang kemudian menentukan hidup dan mati para anggota serta orang-orang yang dituduh simpatisan PKI.
Rantai Komando Tragedi 65
Hasil penelitian sekitar 40 peneliti IPT 65 serupa bahkan memperkuat penyelidikan Komnas HAM. Ditemukan keseragaman pola kekerasan di seluruh daerah yang diteliti. Apabila sebelumnya Komnas HAM meneliti enam daerah di Indonesia, tim peneliti IPT 1965 melakukan hal yang sama di 13 wilayah di Indonesia.
"Kami bawa peneliti dari Aceh, Nias, Medan, Sumatera Utara, ini masuk daerah penelitian Komnas HAM. Lalu di beberapa tempat di Jawa, Bali, Moncongloe dan Pulau Buru memang belum penuh seluruh Indonesia, tapi saya rasa di setiap daerah di Indonesia seperti itu," papar Saskia yang juga turut menyumbang berkas penelitian kasus ini.
Temuan di 13 wilayah tersebut, kata dia, sangat meyakinkan para hakim di persidangan rakyat untuk memutuskan bahwa kejahatan pada tahun-tahun itu sangat terencana dan sistematis. Laporan penelitian itu merinci secara gamblang rantai komando dan pola yang seragam di setiap daerah. Mulai dari pertanyaan interogasi para tahanan hingga metode penyiksaan.
"Ini polanya sama, dan dilakukan tentara atau milisi yang dipersenjatai tentara. Bukti ini cukup meyakinkan hakim kami untuk menyatakan hasil penyelidikan Komnas HAM meyakinkan dan bukti kami memperkuat itu," imbuhnya.
Berdasarkan riset terhadap teks asli penelitian Mathias Hammer--peneliti keterlibatan militer memobilisasi masyarakat sipil dalam pembantaian massal, beberapa surat perintah memberikan wewenang pada komandan militer untuk mengambil tindakan di luar hukum. Di antaranya tercantum pada Dekrit Kep-069/10/1965, dalam: Kopkamtip 1970. Bunyinya, meminta tim-tim bentukan Soeharto untuk membantu para komandan mengambil tindakan penyelesaian pada tawanan/tahanan, baik sesuai hukum atau berdasarkan kebijakan khusus.
Saat itu Soeharto memberikan tugas para komandan di tingkat distrik untuk membentuk tim investigasi yakni Tim Pemeriksa Daerah (Terperda) untuk menginterograsi para tahanan. Tim inilah yang diberi mandat mengumpulkan keterangan saksi.
"Terperda (Tim Pemeriksa Daerah-red) dikirim dari Kopkamtib ke mana-mana dengan pertanyaan interogasi dan metode penyiksaan yang sama dengan bantuan masyarakat sipil," jelas Saskia menceritakan ulang temuannya dengan peneliti lain.
Laporan ini terkonfirmasi melalui keterangan Sintong Panjaitan, Perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD).
"Saya juga bingung, pangkat saya lebih rendah tapi saya bisa memerintah mereka. Saat itu karena pasukan saya kecil, maka kami melatih Anshor, Muhammadiyah dan kelompok Marhaen," kata Sintong dalam sambutannya di Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Arya Duta, Jakarta medio November 2016.
Purnawirawan TNI AD itu menjelaskan, kelompok sipil dilatih baris-berbaris dan melakukan operasi penangkapan anggota-anggota yang dituding terkait komunisme.
Pada 21 Desember 1965, Jenderal Soeharto menerbitkan surat perintah (Kep-1/KopKAM/12/1965) untuk para pemimpin militer di seluruh Indonesia. Peraturan itu memerintahkan pasukan militer mengumpulkan daftar anggota PKI dan organisasi di bawahnya dari masing-masing daerah.
Tiga Dekrit Soeharto
Instrukti pertama pasca pengambilalihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto, lahir pada 12 Maret 1966 berupa Dekrit Presiden 1/3/1966 yang menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia. Dekrit juga menyatakan perintah untuk membubarkan seluruh strukturnya dari pusat sampai ke daerah, termasuk organisasi-organisasi yang berasosiasi dan berkaitan dengan PKI.
Dekrit lain terbit pada Mei 1966 --yang melarang organisasi-organisasi massa dan struktur PKI sampai ke tingkat komite desa. Daftar tersebut terdiri dari 22 organisasi massa, 25 institusi pendidikan, federasi serikat buruh, SOBSI (dengan keanggotaan sekira tiga juta orang) dan 62 serikat buruh lainnya. Sementara Baperki, sebuah organisasi untuk penduduk Indonesia keturunan Cina, juga dilarang (ditambah tiga institusi yang berkaitan dengan Baperki).
Selang dua tahun, pada 18 Oktober 1968, Komandan Kopkamtib Soeharto mengeluarkan Dekrit yang mengklasifikasikan orang-orang yang dituduh terlibat G30S dalam tiga golongan:
Golongan A: Mereka yang secara jelas terlibat langsung.
Golongan B: Orang-orang yang secara jelas terlibat tidak langsung.
Golongan C: Orang-orang yang menunjukkan indikasi atau yang bisa cukup diasumsi memiliki keterlibatan langsung atau tidak langsung.
Pola Kekerasan Hingga Pertanyaan Interogasi Seragam
Temuan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian di Aceh. Saskia menceritakan, seorang peneliti Australia menemukan dokumen lengkap berisi nama-nama sasaran pembunuhan di Kantor Kodim Aceh.
"Waktu itu Kodim mau pindah kantor, dan dia tanya tentang 65, karena mereka (tentara-red) sibuk sekali lalu dia dikasih kotak tentang 65 lalu disuruh melihat. Dia lihat dan ambil ada daftar, data-data, dengan peta, siapa yang dibunuh, kapan dibunuh, semua komplit 3000 halaman dia dapat dan fotokopi. Dia membuat tesis tentang itu, dia ikut serahkan data itu kepada hakim kami," ungkapnya.
Dalam salinan tuntutan, tim jaksa juga meyakini akan melimpahnya bukti berupa penelitian ilmiah bahwa pembantaian massal ini ada di bawah sistem komando dan represi militer Soeharto.
"Polanya, misalnya, kalau perempuan selalu ditanya punya cap Gerwani. Atau ditanya, kamu pernah ke Lubang Buaya dan menari telanjang, ini terjadi di Kupang, Bali Aceh padahal mereka tidak tahu," ungkapnya.
Badan Investigasi resmi bentukan Komnas HAM dalam pernyataannya pada 23 Juli 2012 menyimpulkan, sejumlah pihak yang harus bertanggung jawab di antaranya komandan-komandan militer, Pangkopkamtib 1965 hingga setidaknya 1978 dan komandan-komandan di wilayah setempat.
Meski begitu, bukti dokumentasi terkini mengenai pembantaian massal tersebut masih kurang. Tim jaksa penuntut dalam salinan putusan IPT 65 menduga ada upaya militer untuk menutup-nutupi bukti.
Ini ditunjukkan melalui temuan sebuah dokumen tertanggal 8 November 1973. Dalam berkas itu, Jaksa Agung mengeluarkan instruksi ke kantor-kantor penuntut di seluruh daerah di Indonesia untuk menyisihkan atau tidak menuntut kasus-kasus pembunuhan terhadap anggota PKI dan organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Buka Arsip terkait Tragedi 1965
Itu sebab, Ketua Yayasan IPT 1965 Saskia Wieringa mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka arsip-arsip yang berkaitan dengan tragedi 1965 dan setelahnya.
"Di mana-mana (ada buktinya-red) kalau belum dihancurkan, atau dibuang, tapi saya mengira itu masih ada. Dan arsip Kopkamtib tentu masih banyak bahan, tapi arsip itu sampai sekarang belum terbuka. Dan itu juga kami minta dalam rekomendasi supaya arsip-arsip itu dibuka," katanya.
Keterbukaan arsip pada periode itu penting untuk melengkapi hasil penelitian tragedi yang sudah lebih dari setengah abad ini. Sehingga didapatkan akar masalah kejahatan kemanusiaan pada masa itu.
"Hingga kini tidak ada yang tahu persis siapa otak itu, siapa yang menulis (perintah, metode penyiksaan, operasi penangkapan-red) semua itu. Kami belum tahu itu. Saya rasa ini penting, saya berharap arsip akan dibuka untuk penelitian, Komnas HAM atau LIPI atau kelompok studi di Universitas," pungkasnya.
Pengungkapan kebenaran tragedi 1965, menurut Saskia harus segera dituntaskan agar tak berulang di masa depan.
Editor: Quinawaty
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!