NASIONAL

Indonesia Bebas Malaria 2030, Bagaimana Upaya Pemerintah Mengeliminasi Kasus?

Peningkatan aktivitas penemuan kasus secara aktif, terutama di wilayah endemis seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Kalimantan Timur.

AUTHOR / Siska Mutakin

EDITOR / Resky Novianto

Google News
ilustrasi malaria
Ilustrasi nyamuk Malaria (Freepic)

KBR, Jakarta- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan tren kasus malaria hingga tahun 2025 terus meningkat.

Plt Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes, Murti Utami menyebut kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan aktivitas penemuan kasus secara aktif, terutama di wilayah endemis seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Kalimantan Timur.

Berdasarkan data terbaru, Murti menyebut jumlah kasus malaria di Indonesia meningkat menjadi 533.965 kasus pada tahun 2024. 

Padahal pada 2010 ada 464.764 kasus malaria. Jumlah kasus itu pada 2023 hanya turun 10 persen dalam waktu lebih dari satu dekade menjadi 418.546 kasus.

"90 persen itu adalah kontribusi dari wilayah Papua. Banyak kasus itu tanpa gejala, karena adanya infeksi, berulang hingga 3 kali. Ini membuat kita harus lebih waspada," katanya dalam Temu Media Hari Malaria Sedunia Tahun 2025, Jumat (25/4/2025).

Namun demikian, ia menyebut kabupaten Pegunungan Arfak di Papua Barat dinyatakan bebas malaria pada tahun 2024. Menurutnya, keberhasilan ini bisa jadi inspirasi bagi kabupaten/kota lain di Indonesia.

Saat ini, sekitar 90 persen penduduk Indonesia hidup di daerah bebas malaria. Ada lima provinsi yang sudah mencapai bebas malaria tingkat provinsi, yakni Bali, Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

red
Tren kasus malaria di RI. Foto: Youtube Kemenkes RI

Sebagai bentuk apresiasi, Murti mengungkapkan akan memberikan sertifikat eliminasi malaria kepada sejumlah kepala daerah yang berhasil menekan angka kasus secara signifikan. Menurutnya penghargaan ini akan diserahkan dalam Forum Asia Pacific Leaders pada Juni mendatang.

"Mudah-mudahan gaung dari peringatan Hari Malaria Sedunia bisa meningkatkan komitmen, terutama pada daerah-daerah yang masih ada penyakit malaria ini. Dan mari kita dukung terus untuk mencapai Indonesia Bebas Malaria di tahun 2030," tegasnya.

Peningkatan Kasus Malaria di RI, Termasuk Tertinggi di Kawasan ASEAN

Senada, Direktur Penyakit Menular Kemenkes, Ina Agustina Isturini mengatakan peningkatan jumlah kasus di Indonesia, membuat Indonesia menempati urutan kedua dari delapan negara anggota region Asia Tenggara WHO (SEARO), dengan kasus malaria terbanyak setelah India.

"Jadi WHO itu memperkirakan sekitar 1,1 juta kasus di Indonesia. Kita baru menemukan 54 persen dan yang terbaik memang kita menemukan ketika tahun 2024 kita sudah melakukan lebih dari 4 juta tes untuk bisa menemukan kasus sebanyak 543 ribu. Namun ketika kita sudah melakukan 4 juta tes masih kurang, sehingga tahun ini kita target 8 juta tes, supaya kita bisa menemukan kasus sebanyak-banyaknya," katanya dalam Temu Media Hari Malaria Sedunia Tahun 2025, Jumat (25/4/2025).

red
Paparan fakta singkat malaria dalam Acara Temu Media Hari Malaria Sedunia Tahun 2025. Foto: Youtube Kemenkes RI

Ina menyebut tren peningkatan ini dipengaruhi oleh pergerakan penduduk dan perubahan iklim, karena peningkatan terjadi di awal dan pertengahan tahun, yang biasa nya bertepatan dengan masa libur panjang. Maka dari itu, ia menghimbau untuk waspada, terutama saat melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria.

Untuk menanggulangi malaria, Ina menyebut telah menjalankan sejumlah kebijakan, salah satunya adalah penguatan deteksi dini melalui pemeriksaan mikroskopis secara aktif maupun pasif.

"Jadi misalnya ada ketauan satu kasus malaria tentu kita harus cari, mungkin karena mereka tinggal di tempat yang sama bisa jadi ada juga kasus malaria di lingkungannya, di keluarganya, seperti itu, jadi itu kita lakukan kunjungan rumah," ucapnya.

Selain itu, pemeriksaan pasif dilakukan pada pasien yang datang berobat ke fasilitas kesehatan, termasuk juga program pemeriksaan ibu hamil di daerah-daerah endemis.

Ina mengatakan peningkatan kualitas data informasi juga terus dilakukan melalui sistem informasi surveilans malaria yang saat ini dalam proses integrasi dengan platform 'satu sehat'. Sementara itu, penyelidikan epidemiologi dilakukan melalui mekanisme 1-2-5.

"Dalam satu hari itu pasiennya harus ditangani, kita laksanakan. Dalam dua hari itu harus dilakukan penyelidikan epidemiologi dan dalam lima hari itu fokus lingkungannya, tempat perlindungan nyamuknya itu juga harus mulai diintervensi, seperti itu 1-2-5," ujarnya.

Pengobatan juga dilakukan sesuai standar program, yaitu dengan pemberian ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) dan Primaquine. Untuk kasus berat, pengobatan dilakukan dengan injeksi artesunate.

"kita juga harus mengutamakan pencegahan, pencegahan itu seperti tadi bagaimana mencegah kita tergigit nyamuk dan kemudian juga penyelidikan epidemiologi dan ini tentu butuh dukungan dari masyarakat swasta, tidak bisa hanya orang kesehatan saja dan tidak bisa hanya orang kesehatan saja," ungkapnya.

red
Paparan soal tempat perindukan nyamuk Anopheles. Foto: Youtube Kemenkes RI

Ina menegaskan bahwa dukungan dari masyarakat dan pihak swasta sangat diperlukan untuk mengeliminasi malaria secara efektif. Pemeriksaan malaria juga harus dilakukan terus-menerus karena tidak jarang seseorang bisa terinfeksi hingga tiga kali dalam setahun.

Selain itu, keterlibatan swasta juga harus lebih kuat melalui pendekatan 'public-private mix', agar swasta dapat secara proaktif turut serta dalam deteksi dan pengobatan kasus malaria serta peningkatan komitmen juga diperlukan.

Terlepas dari itu, Ina menyebut masih ada tantangan lainnya termasuk peningkatan kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) di daerah yang sebelumnya bebas malaria, tantangan geografis, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur yang belum memadai.

Ina mengungkapkan strategi pemerintah mencakup penguatan komitmen dan pembiayaan melalui advokasi lintas sektor, regulasi daerah, integrasi program malaria, serta pendanaan inovatif.

"karena 93% kasus di Papua, sangat fokus, prioritas untuk kecepatan penurunan kasus di Papua dengan strategi token, temukan, obati, dan kendalikan," ungkapnya.

Strategi lainnya adalah peningkatan target penurunan kasus, penguatan peran komunitas, paket intervensi hutan dan peningkatan target penemuan kasus.

"Jadi ini untuk kasus-kasus yang memang pekerja yang banyak di hutan dan sebagainya, ini perlu ada pengobatan massal, pemberian paket penjagaan malaria, dan screening routine," katanya

Baca juga:

Kasus Malaria Meningkat dalam 10 Tahun Terakhir, Terbanyak di Papua

Contoh Tren Positif Penanggulangan Malaria di Sumba Barat

Bupati Sumba Barat Yohanis Dade menyampaikan kemajuan dalam upaya penanggulangan malaria. Ia membuktikan setelah sebelumnya masuk dalam kategori daerah endemis tinggi atau zona merah, kini selama dua tahun berturut-turut wilayah ii berhasil turun status menjadi daerah dengan kategori endemis sedang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Yohanis mengungkapkan keberhasilan ini tidak lepas dari kerja keras dan inovasi berkelanjutan pemerintah daerah bersama masyarakat dan berbagai pihak terkait.

"Data menunjukkan penurunan kasus malaria yang cukup signifikan di daerah ini. Dari 4.289 kasus malaria pada tahun 2025 menjadi 84 kasus malaria per April tahun 2025," katanya dalam Temu Media Hari Malaria Sedunia Tahun 2025, Jumat (25/4/2025).

red
Laporan kasus malaria di Sumba Barat yang menurun setiap tahun dalam Acara Temu Media Hari Malaria Sedunia Tahun 2025. Foto: Youtube Kemenkes RI

Tantangan Eliminasi Malaria

Ada empat tantangan utama yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Sumba Barat dalam mengupayakan eliminasi malaria.

1. Pendanaan dan Sumber Daya

Program penanggulangan malaria di daerah ini sebagian besar masih bergantung pada bantuan dari organisasi internasional dan donor. Ketergantungan ini membuat keberlangsungan program sangat rentan terhadap perubahan komitmen para penyumbang dana. Sehingga, pemerintah terus berupaya dan berinovasi agar program-program kesehatan ini tetap berjalan dan tidak mengganggu pelayanan yang diterima oleh masyarakat.

2. Rendahnya Kesadaran Masyarakat

Yohanis menyebut tingkat kesedaran dan pemahaman masyarakat tentang malaria dan pencegahannya masih sangat rendah di beberapa lokasi, terutama di kampung-kampung yang jauh dari akses pelayanan fasilitas kesehatan, sehingga dapat menghambat upaya pencegahan dan pengobatan malaria.

3. Kondisi Lingkungan

Perubahan iklim dan urbanisasi dapat mempengaruhi habitat nyamuk yang berpotensi meningkatkan penyebaran malaria di daerah baru, terutama di daerah-daerah selatan Sumba Barat yang berbatasan langsung dengan daerah tinggi kasus dari kabupaten lainnya dengan mobilisasi masyarakat yang cukup tinggi.

4. Jangkauan Pelayanan Kesehatan

Yohanis menyebut jangkauan pelayanan kesehatan dengan jarak wilayah yang luas serta penyebaran penduduk yang tidak merata di daerah dengan akses geografi yang sulit serta keterbatasan tenaga kesehatan yang tersedia menyebabkan pelayanan kesehatan tidak memadai dan waktu pelayanan lebih lama sehingga berdampak pada penanganan kasus secara cepat dan tepat. Menurutnya, untuk mencapai eliminasi malaria di Kabupaten Sumba Barat, pemerintah terus berinovasi dalam berbagai program kesehatan yang ada.

Inovasi Gerakan "CEMARA"

Yohanis mengungkapkan untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, ia meluncurkan Gerakan Cegah dan Basmi Malaria atau *CEMARA*. Inovasi ini lahir sebagai wadah pemersatu gerakan pencegahan dan pemberantasan malaria dengan pendekatan yang terintegrasi dan berbasis kearifan lokal.

Berdasarkan data malaria tahun 2024, kasus malaria di Kabupaten Sumba Barat tertinggi diderita oleh anak sekolah dan prasekolah. Kegiatan juga ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dan menghasilkan generasi yang sehat, cerdas, kuat, tangguh, dan empati. Maka kegiatan ini dilaksanakan.

Hasilnya, 12.030 anak sekolah dasar prasekolah di 95 sekolah dasar telah diperiksa malaria dari target yang ditetapkan, yaitu 4.800 anak, 6 anak menderita penyakit malaria dan langsung diobati.

red
Paparan Gerakan "Cemara" di Sumba Barat dalam Temu Media Hari Malaria Sedunia Tahun 2025. Foto: Youtube Kemenkes RI

Gerakan ini memiliki empat pilar utama:

1. Penguatan Pembiayaan melalui APBD

Yohanis menegaskan bahwa dirinya terus berupaya dan berinovasi agar tidak selamanya bergantung pada dana bantuan atau donor.

"Karena apabila terjadi perubahan komitmen oleh donatur atau penyumbang maka akan berdampak pada keberlanjutan program yang menerima dana bantuan," katanya.

Pada tahun 2025, alokasi Dana Desa untuk penanggulangan malaria meningkat menjadi Rp15 juta. Ia berharap dengan langkah ini, derajat kesehatan masyarakat dapat meningkat dari level desa ke tingkat kabupaten.

2. Pemberdayaan Masyarakat

Dengan semangat "oleh masyarakat, dari masyarakat, dan untuk masyarakat", ia mendorong partisipasi aktif warga dan peran masyarakat difokuskan pada kader Juru Malaria Desa, guru-guru, dan juru kampanye malaria. Untuk itu masyarakat dilatih menjadi agen perubahan yang tidak hanya menjalankan program, tetapi juga menjadi pelaku dan penggerak kebiasaan hidup sehat.

3. Penguatan Regulasi

Regulasi sebagai dasar hukum program juga diperkuat. Pemerintah melakukan revisi terhadap Peraturan Bupati No. 17 Tahun 2019 tentang eliminasi malaria. Selain itu, diterbitkan peraturan desa tentang penanggulangan malaria, TBC, dan AIDS guna memperkuat implementasi program di tingkat lokal.

4. Penguatan Kerjasama Lintas Sektor

Pemerintah menjalin kemitraan dengan lembaga internasional dan organisasi non-pemerintah seperti UNICEF dan PERDAKI. Dukungan diberikan dalam bentuk advokasi, tenaga ahli, hingga penyediaan kader juru malaria desa. Kerja sama juga melibatkan lintas sektor seperti ADINKES, Tim Penggerak PKK, Dharma Wanita, Bhayangkari, dan Persit, dalam memperkuat edukasi dan pemberdayaan masyarakat.

Baca juga:

- Malaria di RI Masih Tinggi, Menkes: Kita Butuh Vaksin

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!