NASIONAL

Hari Peduli Autisme Sedunia: Bagaimana Hapus Stigma dan Ciptakan Ruang Tumbuh?

"Soalnya kata dukunnya atau kata orang tua sesepuh-sesepuh itu bilang ini diguna-guna, sehingga mereka terapinya ke tradisional gitu ya,"

AUTHOR / Siska Mutakin

EDITOR / Muthia Kusuma

Google News
autism
Ilustrasi autism care

KBR, Jakarta- Memahami autisme dengan memberikan ruang tumbuh yang tepat masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Alin, seorang ibu yang memiliki anak autis bernama Gifar, menceritakan pengalamannya dalam mengasuh anak dengan kondisi tersebut.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapinya adalah mencari sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus. Menurutnya, hal itu terjadi karena kesadaran terkait autisme masih sangat rendah.

“Di daerah, kesadaran mengenai anak ABK masih sangat rendah. Gifar sempat ditolak oleh beberapa sekolah, dan hanya satu sekolah yang bersedia menerima dengan perjuangan luar biasa,” ucapnya melalui YouTube Kementerian Kesehatan yang dipantau KBR pada Rabu, (16/4/2025).

Alin menceritakan, Gifar, seperti anak autis lainnya, menghadapi kesulitan dalam berkomunikasi dan mengekspresikan emosinya.

"Komunikasi yang dia tidak bisa menjelaskan ke orang lain seperti apa yang dia rasakan, apa yang dia mau. Sedangkan kita punya keterbatasan untuk memahami dia. Nah dari situ ada sesuatu yang tidak bisa ketemu dan mereka stres gitu kan. Nah dari sini kalau kita memaksa si anak untuk mengerti kita itu tidak mungkin ya," ujarnya.

Alin mengatakan, melalui proses yang panjang dan penuh perjuangan, ia akhirnya bisa mengenali pola perilaku dan emosi Gifar, yang membantu mengurangi tantrum dan mengarahkan emosi anaknya ke jalur yang lebih stabil.

“Yang saya pelajari, sebagai orang tua, saya harus siap mental. Ketika kita mengetahui anak kita terdiagnosa autisme, kita harus siap untuk terus belajar dan tidak boleh menyerah,” ucapnya.

Ruang Tumbuh yang Inklusif

Meskipun autisme tidak dapat disembuhkan, dengan dukungan yang tepat, anak-anak dengan Gangguan Spektrum Autisme (GSA) dapat berkembang dan berfungsi dalam masyarakat. Dokter spesialis anak dr. Amanda Soebadi, Sp.A, Subsp.Neuro.(K),M.Med, mengatakan pendidikan yang inklusif dan pendekatan yang berbasis pada pemahaman terhadap kebutuhan individual setiap anak adalah kunci.

Amanda menegaskan, anak-anak dengan autisme tidak hanya membutuhkan dukungan dari orang tua dan tenaga medis, tetapi juga dari sekolah dan masyarakat. Mereka perlu diberi ruang untuk berkembang, belajar, dan berinteraksi tanpa rasa takut atau dihakimi.

Amanda mengatakan, penyebab pasti autisme hingga kini masih belum diketahui secara jelas. 

"Ada seribu anak dengan autisme, kita akan mendapatkan seribu gambaran gejala yang berbeda. Nggak ada satupun, walaupun ada rambu-rambunya kriteria diagnosis, tapi tidak ada satupun yang persis sama, Penyebabnya apa? Belum diketahui dengan jelas. Dikatakan penyebabnya multifaktorial kompleks, yaitu interaksi antara faktor genetik dan lingkungan," kata Amanda dalam Seminar media: Skrining dan Terapi Autisme pada Anak, Selasa, (15/04/2025).

Baca juga:

Meski begitu, Amanda menjelaskan penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan besar dalam perkembangan gangguan ini. Meski demikian, penting untuk memahami bahwa autisme bukanlah kondisi yang statis atau tetap—anak dengan autisme bisa berkembang dan berfungsi dengan baik jika mendapatkan dukungan yang tepat.

Menurut Amanda ada tiga level dukungan yang diperlukan anak dengan autisme, bergantung pada tingkat keparahannya.

Level 1 membutuhkan dukungan ringan, sementara level 2 memerlukan bantuan yang lebih intensif, seperti pendampingan di sekolah. Sedangkan untuk level 3, anak membutuhkan dukungan yang sangat intensif karena mereka mungkin tidak mampu berkomunikasi secara verbal.

"Karena pada autism itu selain defisit intinya atau core defisit-nya berupa komunikasi verbal dan non-verbal, tapi yang tadinya dia juga bisa mengalami kesulitan processing informasi, terutama informasi bahasa, instruksi dan sebagainya," ujarnya.

Gejala Autisme

Menurut Amanda, Gangguan Spektrum Autisme (GSA) adalah gangguan perkembangan neurologis yang memengaruhi komunikasi, interaksi sosial, serta pola perilaku dan minat yang repetitif.

Gejala autisme sangat beragam dan bisa berbeda-beda antara satu individu dengan yang lainnya, meski ada beberapa tanda yang umum, seperti keterlambatan bicara, kesulitan memahami isyarat sosial, dan ketertarikan pada rutinitas tertentu.

Deteksi dini

Dokter Spesialis Anak Hanna Dyahferi Anomsari, Sp. A, Subsp.T.K.P.S.(K) menegaskan deteksi dini adalah kunci. Hanna mengungkapkan, salah satu tanda paling awal yang bisa diamati adalah keterlambatan atau kegagalan dalam perkembangan komunikasi anak.

Hanna menjelaskan, pada usia 12 bulan, jika anak tidak merespons panggilan nama atau tidak melakukan kontak mata, maka itu bisa menjadi indikator adanya gangguan perkembangan. Alat skrining seperti Modified Checklist for Autism in Toddlers, Revised (M-CHAT-R) telah tersedia untuk membantu orang tua atau tenaga medis dalam mendeteksi autisme pada tahap awal.

"Saat di usia 12 bulan, anak tidak respon waktu dipanggil, kita harus memikirkan apakah ini memang ada sesuatu, misalnya ada gangguan pendengaran atau ada hal lain yang mungkin bisa kita pikirkan salah satunya adalah apakah ini autisme," kata Hana dalam Seminar media: Skrining dan Terapi Autisme pada Anak, Selasa, (15/04/2025).

Baca juga:

Namun, meskipun sudah ada alat skrining yang dapat digunakan, banyak orang tua yang masih terjebak dalam mitos seputar autisme. Beberapa bahkan membawa anak mereka ke pengobatan tradisional, percaya bahwa anak mereka diguna-guna. Padahal, dengan penanganan medis yang tepat, anak-anak dengan autisme bisa berkembang dengan sangat baik.

"Jadi ada beberapa pasien saya datang sudah di usia 9-8 tahun itu saya tanya, kok baru sekarang gitu ya? Kenapa baru sekarang? Oh iya dong, soalnya kata dukunnya atau kata orang tua sesepuh-sesepuh itu bilang ini diguna-guna, sehingga mereka terapinya ke tradisional gitu ya," jelasnya.

Pada 2 April setiap tahunnya, dunia memperingati Hari Peduli Autisme. Tujuannya agar masyarakat dunia diingatkan kembali tentang pentingnya meningkatkan pemahaman dan penerimaan terhadap individu dengan Gangguan Spektrum Autisme (GSA). Peringatan Hari Peduli Autisme Sedunia diharapkan bukan hanya tentang menghilangkan stigma, tetapi juga tentang merayakan keragaman dan mendorong inklusi bagi semua individu, terlepas dari kondisi mereka.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!