NASIONAL

Diklaim untuk Sejahterakan Ojol, Apa Isi RUU Transportasi Online?

RUU Transportasi Online dirancang untuk mengatur berbagai aspek penting dalam ekosistem transportasi digital, termasuk status mitra ojek online.

AUTHOR / Hoirunnisa, Naomi Lyandra

EDITOR / Wahyu Setiawan

Google News
Diklaim untuk Sejahterakan Ojol, Apa Isi RUU Transportasi Online?
Sejumlah pengemudi ojek daring (ojol) melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

KBR, Jakarta - Komisi V DPR RI tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Transportasi Online. RUU itu diklaim untuk menyejahterakan pengemudi ojek online (ojol). Salah satunya akan mengatur status kemitraan dan perlindungan hak-hak ojol.

Ketua Komisi V DPR Lasarus mengklaim RUU Transportasi Online akan menjawab tuntutan para pengemudi ojek online (ojol) yang disampaikan dalam aksi demonstrasi, Selasa (20/05/2025).

"Kami mendengarkan masukan dari teman-teman, mendapat perintah dari pimpinan DPR untuk segera memulai membahas Undang-Undang Angkutan Online. Melihat dari portofolio penyusun ini, nanti rumusnya pansus, bukan Panja Komisi V, tapi Pansus Undang-Undang Angkutan Online," ujar Lasarus dalam Rapat Komisi V, Rabu (21/5/2025).

Lasarus mengatakan sudah menerima aduan para driver pada aksi 21 Mei lalu. Pertama, tuntutan untuk memberikan sanksi tegas kepada aplikator yang melanggar Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 12 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) KP No 1001 Tahun 2022.

Kedua, penetapan batas potongan maksimal sebesar 10 persen dari pendapatan mitra pengemudi oleh perusahaan aplikator. Tujuannya untuk menggantikan aturan saat ini yang dinilai kerap dilanggar hingga mendekati 50 persen.

Politikus PDIP itu mengklaim RUU Transportasi Online dirancang untuk mengatur berbagai aspek penting dalam ekosistem transportasi digital. Antara lain hubungan kerja antara pengemudi dan perusahaan aplikator, termasuk status kemitraan dan perlindungan hak-hak pengemudi.

Selanjutnya sistem potongan biaya oleh aplikator, dengan usulan batas maksimal sebesar 10 persen dari pendapatan pengemudi. Sehingga ada penetapan tarif yang adil dan sesuai dengan biaya operasional pengemudi.

Kemudian perlindungan data pribadi bagi pengemudi dan penumpang, sejalan dengan UU Perlindungan Data Pribadi. Juga mengatur legalitas operasional ojek daring sebagai bagian dari transportasi umum yang diakui secara hukum.

Lebih Baik Perbaiki UU

Langkah DPR yang ingin membuat UU Transportasi Online justru menuai penolakan dari sebagian kalangan. Menurut Guru Besar Bidang Transportasi Universitas Indonesia (UI) Sutanto Soehodho, tidak perlu membuat undang-undang baru untuk mengatur transportasi online secara khusus.

Menurutnya, cukup dengan memperbaiki atau merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang selama ini menjadi dasar regulasi transportasi darat.

"RUU yang dibuat tidak harus memiliki tempat sendiri. Tapi saya setuju bahwa kita harus menyatukan dengan undang-undang yang sudah ada, yaitu angkutan jalan. Karena apa? Angkutan online pasti ada kaitannya. Dan ini yang harus diatur, keseimbangannya seperti apa," ujar Sutanto dalam diskusi di Ruang Publik KBR, Kamis (22/5/2025).

"Yang kedua memang kita harus melihat secara sistem sebetulnya angkutan online ini pengemudi bekerja untuk siapa? Ya untuk pengguna sebetulnya. Kalau saya mau pakai kata yang lebih eksplisit berangkali, aplikator itu cuma broker sebetulnya," tambahnya.

Menurut Sutanto, transportasi daring pada dasarnya bagian dari sistem angkutan umum, hanya berbeda mekanisme operasional berbasis aplikasi. Karena itu, pembentukan regulasi seharusnya mempertimbangkan konteks dan kesinambungan dengan aturan sebelumnya.

Baca juga:

Perbaikan regulasi juga harus dilakukan secara komprehensif. Ia khawatir jika dibuat UU baru, akan tumpang tindih dengan aturan lainnya.

"RUU atau koreksi undang-undang yang ada harus dilihat secara menyeluruh, jangan sampai pasal-pasalnya tiba-tiba bertentangan dengan undang-undang lain. Kita harus hadirkan pemerintah sebagai pengatur ekosistem ini secara adil dan seimbang," kata Sutanto.

Sutanto juga mengingatkan pentingnya pengaturan kuota jumlah pengemudi daring di tiap wilayah. Menurutnya, ledakan jumlah pengemudi yang tidak terkendali berpotensi menimbulkan kemacetan dan penggunaan ruang jalan yang berlebihan, padahal infrastruktur dibiayai oleh pajak masyarakat.

"Sudah ada ekses. Jumlahnya terlalu banyak, kendaraan idle, dan pakai badan jalan. Ini kan bikin macet. Pemerintah harus tegas soal kuota, jangan semua dilepas. Sama seperti perusahaan, harus ada batas," katanya.

Sutanto menilai, model bisnis transportasi online memang membuka lapangan kerja baru, namun tetap perlu batasan dan pengawasan.

Apalagi keberadaan transportasi online tidak bisa dibiarkan menjadi pesaing langsung yang tidak adil terhadap angkutan umum konvensional, seperti bus TransJakarta atau kereta yang selama ini disubsidi oleh pemerintah.

Menurut dia, solusinya adalah dengan menempatkan layanan transportasi online sebagai pelengkap angkutan umum besar, khususnya untuk layanan first mile dan last mile, bukan sebagai pengganti total.

red
Survei Indef 2022.

Apa yang Perlu Diatur?

Raymond J Kusnadi, Koordinator Advokasi Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), menegaskan ketidakadilan dalam sistem operasional aplikasi transportasi online masih marak terjadi.

Ia mengungkapkan berbagai keluhan pengemudi, mulai dari pemotongan saldo, skema prioritas diskriminatif, hingga absennya perlindungan hukum ketenagakerjaan yang konkret.

"Kemarin ada pertemuan. Kami sudah sampaikan soal potongan-potongan. Nanti akan ditindaklanjuti. Aspirasi lain kami sampaikan seperti soal skema prioritas yang diskrimatif, contoh Grabbike hemat, yang beberapa waktu lalu diprotes, didemo oleh kawan-kawan dari berbagai macam daerah," ujar Raymond dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (22/5/2025).

Dia bilang skema-skema yang diputuskan perusahaan kerap merugikan pengemudi.

"Jadi skema ini saat kami mendaftar di situ, kami mendapat prioritas sehingga aplikasi kita lebih gacor lah dibanding driver-driver yang tidak mendaftar di skema tersebut. Menurut kami itu kan tidak adil, terutama dari sisi kepengaturan orderan kami itu kan jadi tidak adil ya," ungkap Raymond.

Menurutnya praktik seperti itu telah melanggar prinsip kesetaraan kerja sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Dan itu memang sudah menjadi menyalahi aturan mengenai persamaan hak dalam bekerja yang ditulis di Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti itu," ujarnya.

Menurutnya, pemotongan saldo pengemudi oleh perusahaan aplikasi juga merupakan bentuk pemotongan upah.

"Kami ikut Grabbike hemat, misalnya, itu besok hari, saldo kami tuh dipotong. Yang tertinggi itu sampai Rp20 ribu pemotongannya, untuk 10 orderan ke atas," lanjutnya.

Meski saat ini sudah ada Peraturan Menteri No 12 Tahun 2019, Raymond menilai perlu ada penguatan hukum dalam bentuk aturan di tingkat UU.

"Untuk ke depannya saya pikir itu perlu diatur di RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bukan untuk dibuat sepenuhnya Undang-Undang yang baru. Di satu sisi di aspek kendaraan, kemudian kami mencermati juga untuk aspek kesejahteraannya seperti apa, aspek tenaga kerjanya seperti apa," tegasnya.

Baca juga:

Dia bilang sebenarnya unsur pekerjaan, perintah, dan upah sebagai syarat hubungan kerja sudah terpenuhi dalam hubungan driver dengan platform.

"Faktanya adalah setiap yang dikatakan tarif per orderan itu adalah upah satuan hasil yang kami terima. Jadi kami baru bisa mendapatkan upah setelah kami menyelesaikan setiap orderan. Makanya kami mengatakan bahwa payung hukum soal ojol ini sudah ada untuk aspek ketenagakerjaan dilindungi di UU 13/2003 itu," ujarnya.

Namun, yang menjadi masalah utama adalah negara belum menegakan hukum secara tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan aplikasi.

"Masalahnya sekarang harus ada pengakuan dari negara. Sepuluh tahun ini kan negara tidak menegakkan hukum ketenagakerjaan itu. Sehingga perusahaan platform ini jadi semena-mena sendiri, mereka merasa tidak tersentuh di bawah UU 13/2003 ini."

Sementara itu, Direktur Eksekutif Modantara (Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia) Agung Yudha mengingatkan tidak semua potongan dari pendapatan pengemudi berasal dari satu jenis biaya.

Ia menyebut ada berbagai komponen biaya, termasuk komisi dan application charge yang dibebankan kepada konsumen.

"Sebetulnya kan kalau pemotongan dari jasa komisi, itu kan tiap aplikator pasti beda-beda ya. Jadi kan tidak cuma satu dua tapi ada beberapa. Dan itu range-nya sudah diatur di maksimalnya yaitu di 20 persen atau di 15 persen plus 5 persen sesuai dengan peraturan yang berlaku," ungkapnya.

Ia menjelaskan perbandingan antara yang dibayar konsumen dan diterima pengemudi bisa tampak tidak proporsional karena adanya biaya tambahan di luar komisi.

"Ketika membandingkan misalnya apa yang dibayarkan oleh konsumen atau apa yang diterima oleh driver, tentu saja terlihatnya potongannya lebih dari 20 persen atau lebih dari persentase yang disebutkan di aplikasi terkait," lanjut Agung.

Agung juga menilai perusahaan aplikasi sebaiknya melakukan evaluasi berkala terhadap program-program insentif, demi memastikan kebermanfaatannya bagi seluruh ekosistem.

"Sebaiknya memang di-review secara berkala apakah program tersebut lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya bagi keseluruhan ekosistem, tidak hanya bagi pengemudi tapi juga bagi si aplikatornya sendiri dan juga bagi konsumen," ujarnya.

red
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia Raden Igun Wicaksono (tengah) saat rapat di Komisi V DPR, Rabu (21/5/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

Dalam hal regulasi, ia sepakat tidak perlu membuat undang-undang baru yang terpisah. Menurutnya, cukup dengan memperkuat aturan yang sudah ada.

"Kami sepakat bahwa sebetulnya tidak perlu ada UU spesifik, mungkin itu lebih baik menginduk pada aturan yang lebih besar misalnya seperti UU Transportasi untuk hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan transportasinya. Kalau memang ada yang diperbaiki di Undang-Undang Ketenagakerjaan misalnya, ya mari kita fokus ke situ. Dan yang perlu diperbaiki di Undang-Undang Transportasi, mari kita fokus ke situ," tegas Agung.

"Sebetulnya PR-nya penyelenggara negara baik DPR maupun pemerintah adalah bagaimana menciptakan lapangan-lapangan kerja formal yang layak dan juga membuka ruang kerja sehingga teman-teman ini bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan formal dan tidak perlu menjadi ojol karena lapangan kerjanya ada”, tegas Agung.

Kenapa DPR Mau Bikin UU Baru?

RUU Transportasi Online dirancang sebagai undang-undang khusus (lex specialis) yang tidak digabungkan dengan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), mengingat kompleksitas dan spesifiknya isu transportasi berbasis aplikasi digital.

Menurut Anggota Komisi V DPR RI Syahrul Aidi Maazat, karakteristik transportasi daring sangat berbeda, sehingga memerlukan regulasi tersendiri.

"Di LLAJ itu kan relasinya antara pemilik dan pelaksana. Di transportasi online ini kan ada pihak aplikator. Jadi supaya pembahasannya bisa lebih fokus dan aturannya lebih komprehensif. Di transportasi online ini ada aplikator sebagai pihak ketiga. Jadi dibutuhkan aturan yang lebih spesifik dan fokus," jelas Syahrul kepada KBR, Kamis (22/5/2025).

Syahrul mengatakan pembahasan transportasi online yang dimasukkan ke dalam UU LLAJ justru akan membelokkan fokus dari semangat pembentukan undang-undang. RUU Transportasi Online, kata dia, khusus menangani dinamika ekosistem digital dan relasi kerja baru yang lahir dalam layanan transportasi daring.

Syahrul menyebut pembahasan RUU ini masih dalam tahap awal. Saat ini DPR tengah mengumpulkan berbagai persoalan dan masukan dari publik untuk merumuskan substansi yang akan dimuat dalam draf resmi.

Bagaimana Aturan di Negara Lain

Di Amerika Serikat, mengutip laporan The New York Times, negara bagian California sempat menerapkan Assembly Bill 5 (AB5) yang mengklasifikasikan pengemudi Uber dan Lyft sebagai pekerja tetap.

Namun, akibat tekanan dari perusahaan teknologi, muncul Proposition 22 pada 2020 yang menetapkan pengemudi sebagai kontraktor independen dengan perlindungan minimum seperti subsidi asuransi dan kompensasi kerja.

Sementara di Inggris, mengutip BBC News, Mahkamah Agung pada Februari 2021 memutuskan pengemudi Uber bukan kontraktor independen, melainkan pekerja (worker) yang berhak atas upah minimum, cuti berbayar, dan perlindungan kerja lainnya.

Di Spanyol, pemerintah menerapkan Ley Riders pada Agustus 2021. Mengutip surat kabar harian El País, aturan ini mewajibkan platform seperti Glovo dan Uber Eats menjadikan kurir dan pengemudi sebagai karyawan tetap, bukan mitra bebas.

Perancis mewajibkan transparansi algoritma penilaian dan penentuan order melalui UU Digital Platform Workers. Laporan dari Reuters perusahaan diwajibkan menjelaskan cara kerja algoritma dan melindungi hak pengemudi atas pemutusan hubungan kerja sepihak.

Di India, pemerintah menyusun skema jaminan sosial bagi pekerja sektor gig economy, termasuk pengemudi daring. Laporan NITI Aayog 2022 menyebutkan pentingnya pembentukan dana jaminan sosial berbasis kontribusi perusahaan dan negara untuk menjamin kesejahteraan para pekerja digital.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!