NASIONAL
Bursa Karbon, OJK: Lebih Cepat Dibanding Negara Lain
"Kalau di bursa karbon negara jiran kita memerlukan waktu tiga sampai empat bulan,"

KBR, Jakarta- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim RI hanya perlu waktu delapan bulan untuk implementasi bursa karbon di Indonesia, lebih cepat dibandingkan negara tetangga. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menyebut hal tersebut sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk tidak bekerja dengan lambat.
"Kami telah melaksanakannya insyaallah dalam waktu delapan bulan ini, dan juga sebagai pembanding. Kalau di bursa karbon negara jiran kita memerlukan waktu tiga sampai empat bulan, sampai transaksi perdana dapat dilakukan secara final. Maka kita berharap dari laporan bursa karbon pada hari ini, transaksi perdana tersebut dapat dilakukan hari ini juga," Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar dalam sambutan peluncuran bursa karbon Indonesia dalam kanal Youtube OJK, Selasa (26/9/2023).
Selain itu, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar jika dibandingkan dengan negara tetangga yang membutuhkan waktu 1,5 hingga dua tahun untuk regulator menerjemahkannya dalam kegiatan konkret bursa karbon.
Ia menjelaskan peluncuran bursa karbon adalah salah satu amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). UU tersebut juga mengatur perluasan kewenangan OJK termasuk pengawasan perdagangan bursa karbon.
"Menindak lanjuti amanat tersebut OJK menerbitkan POJK nomor 14 tahun ini tentang perdagangan karbon melalui bursa karbon dan SE OJK tentang tata cara penjualan karbon melalui bursa karbon, sebagai implementasi," jelas Mahendra Siregar.
Mahendra mengatakan peluncuran bursa karbon di Indonesia merupakan kolaborasi bersama antar pejabat negara seperti DPR, pemerintah, lembaga non pemerintah, hingga organisasi multilateral.
Baca juga:
- Berbincang tentang Pajak Karbon dan Perdagangan Karbon
- Target Pengurangan Emisi Karbon di NDC Indonesia Naik Jadi 31,89 Persen
Apa itu Perdagangan Karbon?
Perdagangan karbon atau emission trading merupakan kegiatan perdagangan sertifikat atau jual-beli sertifikasi atau izin untuk menghasilkan emisi karbon dioksida atau CO2 dalam jumlah tertentu. Izin pelepasan karbon ini juga kerap disebut kuota emisi karbon atau kredit karbon.
Satu kredit karbon setara dengan pengurangan atau penurunan emisi sebesar satu ton karbon dioksida (CO2). Emisi karbon ini dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, gas atau minyak bumi, kegiatan pembakaran hutan atau pembusukan sampah organik.
Baca juga:
- Pemanasan Global, 700 Hektare Daratan di Jawa Barat jadi Laut
- Punya Potensi Besar Serap Karbon, KLHK Optimalkan Kawasan Pesisir untuk Ekonomi Biru
Dalam kegiatan kredit karbon, penjual adalah para pihak yang berhasil menurunkan emisi lebih dari yang diwajibkan atau dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas. Kredit karbon juga bisa berasal dari proyek-proyek hijau. Batasan kredit ditentukan oleh pemerintah.
Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, maka perusahaan bisa menjual kredit itu di pasar karbon. Namun jika emisinya melebihi kredit yang ditentukan, maka perusahaan harus membayar atau membeli kredit di pasar karbon.
Pembeli kredit karbon biasanya industri yang menghasilkan emisi karbon tinggi karena menggunakan bahan bakar fosil. Misalnya pabrik baja, pembangkit listrik batu bara atau pembangkit listrik gas, pusat data dan sebagainya.
Editor: Rony Sitanggang
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!