SAGA
"KUHP baru diklaim memuat kemajuan soal kebebasan beragama. Kelompok rentan seperti ateis dan agnostik berpendapat sebaliknya."
Ilustrasi Undang-Undang
KBR, Jakarta - Peter -bukan nama sebenarnya- makin resah usai pengesahan Kitab Undang-Undang Hukup Pidana (KUHP) baru. Ateis seperti dirinya kian rentan didiskriminasi yang bisa berujung bui.
“Yang menurut aku dalam beberapa hal (KUHP baru) lebih gawat, lebih berbahaya daripada yang sebelumnya. Jadi lebih baik hati-hati,” tutur Peter.
Setidaknya dua pasal yang membuatnya khawatir. Dua pasal lama yang kembali masuk ini bisa dipakai untuk mempidanakan ateis.
Pertama, Pasal 302 ayat 1, yang menyebutkan, Setiap orang yang di muka umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III
Definisi dan batasan ‘menghasut’ dinilainya kabur, sehingga berpotensi menjadi pasal karet.
“Itu bisa kena sama siapa aja. Kita kan enggak tahu ke depan seperti apa. Kalau ada orang iseng atau yang punya kepentingan, kita dijadiin tumbal, kambing hitam,” jelasnya.
Baca juga: Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)
Warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, Meiliana divonis 18 bulan penjara karena memprotes volume suara azan. Ia dijerat pasal 156a KUHP tentang penistaan agama. Pasal ini masuk di KUHP baru tetapi dengan perbaikan. (Foto: Irsan/Antara)
Kini Peter mesti ekstra hati-hati untuk berkomentar atau mengemukakan pendapat.
“Sebelumnya rentan, sekarang kondisi rentannya, lebih rentan. Jadi kalau sebelumnya udah hati-hati, sekarang lebih hati-hati lagi. Hati-hati kalau ngomong, di medium yang mana pun juga. Kita enggak tahu kalau kita mengetik sesuatu, lalu mengunggahnya ke media sosial itu akan dibaca siapa? Dan itu akan membuat kita terpapar risiko`yang semacam apa,” ungkap Peter.
Terlebih iklim penegakan hukum di tanah air masih jauh dari ideal.
Kerentanan ini juga diakui oleh Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Zainal Abidin Bagir. Dia menyayangkan pasal 302 ayat 1 lolos, padahal sudah diusulkan untuk dicoret.
“Ini seakan-akan tidak beragama itu menjadi satu unsur sendiri. Nah, ini tidak perlu dan berlebihan, dengan kemungkinan nanti orang fokus ke situ. Di pasal 156a KUHP yang lama, ada soal yang tidak beragama itu. Sayang, ini masuk lagi,” kata Zainal yang tergabung dalam Koalisi Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan saat mengawal RUU KUHP.
Zainal bilang, pasal itu mestinya tidak bisa serta merta digunakan untuk mempidanakan ateis.
“Istilah menghasut ini bukan cuma orang bicara, tapi ya lebih keras lah bahasanya. Jadi sebetulnya tidak semudah itu,” imbuhnya.
Pasal 302 ayat 2 saja dianggap sudah cukup. Disebutkan dalam pasal ini, Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV
"Ini bisa jadi pasal non-coercion, yang melarang pemaksaan kepada siapapun, tidak boleh menghasut orang untuk memeluk agama yang tidak dia yakini. Jadi yang dilarang bukan cuma agar seseorang menjadi tidak beragama tapi, paksaan apapun," lanjutnya.
Baca juga: Budi Pego Lebih Jago Bicara Buah Naga Dibanding soal Komunisme
Aktivis lingkungan Banyuwangi, Jawa Timur, Hari Budiawan atau Budi Pego divonis 4 tahun penjara atas tuduhan menyebarkan komunisme yang tertera dalam pasal 107 KUHP lama. Pasal ini kembali masuk di KUHP baru. (Foto: Farid/KBR).
Pasal penyebaran paham anti-Pancasila
Menurut Peter, pasal lain yang mengancam ateis adalah Pasal 188, misalnya di ayat 1 yang menyebutkan, Setiap orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
“Bahayanya adalah kalau kita di wawancara kayak gini nih, aku cerita tentang diriku dan bahwa ada ateis di Indonesia, itu aja bisa jadi salah, karena kita kan enggak tahu batasan dari pasal itu. Dia bisa ditarik melar sehingga mencakup segala macam perbuatan atau perkataan yang dituduh sebagai menyebarluaskan atau mengembangkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila,” terang Peter.
Ateis bisa kena getahnya karena sering disamakan dengan penganut komunisme yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, terutama sila pertama.
“Supaya tegas, saya bukan komunis. Sudah turun temurun sih salah kaprah, orang berpikir bahwa ateis itu sama dengan komunis. Aku kenal banyak ateis, tapi kalau kita ngobrol sama mereka, enggak ada komunis-komunisnya sama sekali. Kalau dibilang komunis, tersinggung orangnya,” ujar Peter sembari tertawa.
Zainal mempersoalkan penolakan terhadap ateis dengan argumen sila pertama Pancasila. Sebab, sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga bisa punya banyak penafsiran.
“Saya tidak setuju juga kalau disebut Pancasila itu harga mati, enggak, dia hidup terus. Bahkan dengan sila pertama yang seperti itu pun, tidak berarti kemudian negara membatasi orang. Gimana caranya negara ini ngecek pikirannya orang, bahwa dia itu, punya keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa? nggak bisa juga kan?,” jelas Zainal.
Pasal tersebut semestinya tidak bisa sewenang-wenang digunakan untuk menjerat ateis maupun kelompok rentan lain.
“Jadi bukan cuma yang ateis yang akan kena. Di penjelasannya (KUHP), yang dimaksud dengan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila adalah paham ideologi politik yang termanifestasi dalam bentuk gerakan politik menentang Pancasila. Sudah ada upaya untuk mengecilkan scope-nya. Jadi sebetulnya syaratnya berat. Kalau hakimnya tetap menafsirkan secara longgar, ya harus diluruskan,” tutur lulusan Indiana University, Amerika Serikat ini.
Baca juga: Minoritas Hidup Damai di Kota Doa
Zainal Abidin Bagir menyebut ada kemajuan dalam pasal-pasal terkait agama dalam KUHP baru, tetapi baru setengah jalan. (Foto: icrs.or.id)
Perjuangan belum usai
Zainal tak menampik pasal-pasal larangan atau pembatasan selalu kontroversial karena multitafsir. Apalagi di tataran realita, dinamika penegakan hukum bisa dipengaruhi banyak hal.
“Kalau kita sudah ngomong sampai implementasi, ada kemungkinan undang-undangnya ditafsirkan dengan interest politik tertentu. Kalau itu terjadi ya harus diluruskan dan dilawan,” Zainal menekankan.
Karenanya, ada pekerjaan rumah yang harus digarap pasca pengesahan KUHP baru. Berbagai upaya advokasi perlu terus dilanjutkan untuk meminimalkan potensi kriminalisasi terhadap kelompok rentan. Misalnya, menyusun aturan turunan sedetail mungkin dan meningkatkan kapasitas penegak hukum.
“Jadi yang bisa dikatakan (kepada ateis) adalah you are not alone dalam hal terdiskriminasi. Bukan mengatakan dengan demikian oke, sama sekali enggak. Kita hadapi isu ini bersama-sama. Kita upayakan kesetaraan secara umum itu terjadi sehingga enggak ada diskriminasi atas dasar apapun, atas dasar ras, agama, suku, gender, orientasi seksual, maupun disabilitas,” pungkas dosen di Sekolah Pascasarjana UGM ini.
Penulis: Ninik Yuniati