NASIONAL

Anggota DPR Soal Prevalensi Stunting: Indonesia Perlu Belajar dari Peru

Angka stunting Peru turun secara signifikan dari 37 persen pada tahun 1991, hingga 13 persen pada tahun 2016. Selama kurung waktu tersebut, Peru telah menurukan angka stunting sebesar 20 persen

AUTHOR / Aura Antari

EDITOR / Resky Novianto

Google News
stunting
Ilustrasi program penurunan prevalensi stunting di RI. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta– Anggota Komisi IX yang membidangi kesehatan DPR RI Sihar Sitorus menilai pemerintah perlu memetakan penyebaran jumlah balita guna mengkaji penyebab stunting di Indonesia. 

Sebab, kata dia, kota-kota besar memiliki prevelensi stunting lebih rendah ketimbang di daerah, sehingga dibutuhkan penyesuaian program yang berbeda dengan kota-kota prevelensi stunting tinggi.

Sihar menyebut, balita dengan kondisi stunting berpotensi untuk meningkatkan tingkat kemiskinan di suatu wilayah karena memiliki kecerdasan dan produktivitas yang tidak sebanding dengan balita pada umumnya.

“Yang saya gak tangkap, apakah stunting di mata Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merupakan problem kemiskinan, kualitas makanan atau kesehatan gitu ya,” ujar Sihar dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Badan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Nasional/BKKBN, Senayan Rabu (19/2/2025).

Sihar menjelaskan, penyelesaian masalah terkait stunting membutuhkan solusi efisien dan berkelanjutan guna menanggulangi dan menurunkan prevalensi di daerah.

Dia menyarankan agar pemerintah belajar dari keberhasilan negara lain menurunkan angka prevalensi stunting. Salah satunya yakni negara di Amerika Selatan, yakni Peru.

"Peru soal penanganan stunting. Angka stunting Peru turun secara signifikan dari 37 persen pada tahun 1991, hingga 13 persen pada tahun 2016. Selama kurung waktu tersebut, Peru telah membuktikan penurunan angka stunting sebesar 20 persen," tutur Sihar.

Sihar mencontohkan kebijakan pemerintah Peru yang membentuk program JUNTOS, yaitu bantuan tunai bersyarat dengan masyarakat miskin sebagai sasarannya.

Dia menyebut, para ibu yang terdaftar harus membawa anak-anak mereka yang berusia di bawah 2 tahun ke pusat kesehatan untuk memantau pertumbuhan dan kesehatan mereka secara keseluruhan. Para ibu ini juga harus memastikan anak-anak mereka bersekolah.

Sihar menambahkan, program di Peru tersebut bertujuan meningkatkan sumber daya rumah tangga, kesempatan pendidikan, dan penggunaan layanan kesehatan dan gizi. Terbukti, dapat menurunkan prevalensi stunting pada balita di Peru periode 2005-2010, dari 17 persen hingga 22 persen.

Baca juga:

- Mendagri Geram Ada Anggaran Stunting Rp10 Miliar tapi Diterima Rakyat Rp2 Miliar!

Berdasarkan catatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), prevalensi stunting Indonesia turun dari 37 persen pada tahun 2013 menjadi 21,5 persen pada 2023. Namun angka ini masih di atas standar WHO terkait prevalensi stunting, yaitu kurang dari 20 persen.

Kepala BKKBN Wihaji mengatakan target prevalensi stunting sebesar 18 persen pada tahun ini. Angka 18 persen yang disebutkan oleh Wihaji merupakan penurunan dari target sebelumnya, yaitu 14 persen pada 2024. 

BKKBN, kata Wihaji, akan bekerja sama dengan Badan Gizi Nasional atau BGN untuk menurunkan angka stunting ini lewat program Makan Bergizi Gratis. Program tersebut akan menyasar ibu hamil, batita, dan balita yang rencananya dilaksanakan pada 20 Januari 2025.




Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!