NASIONAL
Aneta-Papua.org, Media Perempuan Papua, Wadah Pemikiran dan Perlawanan
Peluncuran aneta-papua.org tidak mudah.

KBR, Jakarta- Media perempuan aneta-papua.org diluncurkan secara daring (dalam jaringan), Rabu, 14 Mei 2025. Peluncuran ini menjadi momen kebanggaan bagi mereka yang telah bekerja keras menghadirkan media alternatif berfokus pada perspektif perempuan Papua.
"Sebuah penantian panjang, kita meluncurkan Aneta. Mari teman-teman kita sama-sama saling merayakan dengan memberikan tepuk tangan. Akhirnya Aneta bisa lahir hari ini tanggal 14 Mei 2025," ujar perwakilan Aneta, Yokbeth Felle saat peresmian aneta-papua.org melalui Zoom Meeting, Rabu, (14/5/2025).
Peluncuran aneta-papua.org tidak mudah. Sebab, selain membutuhkan konsep matang, juga menghadapi tantangan besar terkait pendanaan. Keterbatasan biaya menjadi alasan utama peluncuran Aneta tertunda dari target awal yang direncanakan pada Maret 2025.
"Puji Tuhan, karena tidak mudah juga ternyata untuk membangun website, selain butuh tenaga pikiran untuk mengkonsepkannya, ternyata kita butuh banyak sekali biaya. Itu menjadi jawaban kenapa kelahiran Aneta sedikit lambat dari waktu yang ditentukan diperkirakan, yaitu Maret, tetapi ditunda-tunda. Akhirnya kita baru bisa melahirkannya secara kolektif di hari ini," katanya.
"Secara tidak langsung ini akan jadi hari ulang tahun Aneta ke depannya. Akan kita rayakan juga, semoga kita bisa bertahan dan konsisten seperti teman-teman," imbuhnya.
Perempuan dan Papua
Perempuan dan Papua adalah dua identitas sarat makna dan kompleksitas. Dalam realitas sosial-politik yang keras dari rasisme, militerisme, trauma antargenerasi, hingga dominasi maskulinitas dalam perjuangan perempuan Papua yang kerap disisihkan dari ruang berpikir, berbicara, dan bertindak.
Aneta-papua.org lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Aneta adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal.
Di tengah keterbatasan representasi di media arus utama, baik di dalam maupun di luar Papua, Aneta menjadi ruang aman dan kolektif yang memungkinkan perempuan membagikan kisahnya sebagai bagian dari perjuangan politik yang sah.

Mengapa Aneta?
Perempuan dan kelompok marjinal lain di Papua menghadapi tantangan besar dan sistematis, karena itulah Aneta dilahirkan.
Aneta diambil dari nama Angganeta Manufandu, tokoh pejuang perempuan yang memimpin Gerakan Koreri di Byak. Para pendiri berharap, Aneta hadir dengan semangat menyerupai Angganeta Manufandu: Menginspirasi Perempuan Papua serta Kelompok Marjinal lain.
Sebab, selama ini kisah, pengalaman dan perjuangan perempuan Papua, tidak mendapat tempat memadai di tengah-tengah masyarakat.
Ancaman Siber hingga Intimidasi
Sebelum aneta-papua.org, sudah ada media alternatif lain di Bumi Cenderawasih, yakni lao-lao-papua.com: Media Pergerakan Rakyat Papua.
Tantangan besar dihadapi Lao-Lao, sebagai media alternatif papua. Terdapat sejumlah tekanan yang dialami, mulai dari serangan siber hingga intimidasi fisik terhadap jurnalis mereka.
Dalam satu kasus, ketika Lao-Lao mengampanyekan isu kekerasan seksual yang melibatkan seorang pejabat Papua, tim redaksi mendapat teror melalui telepon dan diminta memberikan klarifikasi atas poster kampanye tersebut.
Ancaman-ancaman tersebut tidak bisa dihindari, apalagi bagi media alternatif yang berani membuka ruang baru untuk suara perempuan dan kelompok marginal lain.
"Sa ambil contoh waktu kita kampanye itu ada kekerasan seksual yang dilakukan satu pejabat di Papua. Itu kan kita sampai diteror, ditelpon satu persatu, Lao-Lao diminta klarifikasi kenapa kita menyebarkan poster dan lain-lain. Itu tuh ancaman-ancaman seperti itu akan ada pasti apalagi dengan teman-teman perempuan yang secara berani mulai mendirikan media alternatif," ujar Pengurus Kalawai.org sekaligus eks Pimred Lao-Lao Papua, Yason Ngelia dalam Launching aneta-papua.org, Rabu, (14/5/2025).
Yason mengatakan, tekanan sosial dan politik kerap muncul akibat konten kontroversial. Menurutnya, tulisan-tulisan membongkar ketimpangan atau mengangkat isu-isu sensitif kerap menimbulkan polemik, bahkan ancaman langsung.
"Lalu kemudian ancaman-ancaman yang sifatnya eksternal, misalnya tulisan-tulisan yang kontroversial akhirnya membuat polemik dan lain-lain. Terus secara organisasi saya pikir ketimbang Lao-Lao yang umum," imbuhnya.

Tantangan Jurnalis Perempuan
Ia mengatakan, jurnalis perempuan menghadapi tantangan lebih berat, terutama saat mereka menyuarakan keberpihakan terhadap isu-isu struktural seperti kekerasan berbasis gender dan patriarki.
"Teman-teman perempuan mungkin punya banyak tantangan ketimbang kita setelah berjalan itu, misalnya keberpihakan, patriarki kemudian, penindasan pada perempuan Papua," ungkapnya.
Selain ancaman eksternal, secara teknis dalam satu hingga dua tahun pertama, banyak energi terkuras menghadapi serangan siber yang menargetkan situs mereka.
Proses pemulihan seperti perawatan sistem, peningkatan keamanan, hingga biaya pengembang tidak pernah diprediksi sebelumnya dan menjadi beban operasional signifikan.
"Per tahun misalnya serangan siber, kita harus apa namanya, maintenance website-nya lagi, terus bayar developer lagi untuk security dan lain-lain. Itu biayanya dari tadi kita tidak prediksikan sebelumnya, itu energi habis di 1-2 tahun itu," katanya.
Media Alternatif Gerakan Jurnalisme Publik
Di luar Papua, ada konde.co, media alternatif lain yang juga fokus pada isu-isu perempuan. Tantangan utama konde.co bukan sekadar mendirikannya, melainkan mempertahankan konsistensinya.
Siapa pun bisa membuat media, tetapi menjaga keberlangsungannya selama bertahun-tahun adalah pekerjaan besar. Publik tidak hanya butuh informasi, tetapi juga pembanding dari berita-berita yang selama ini mudah diakses. Menurut Pimpinan Redaksi Konde.co, Luviana Ariyanti, tak mudah untuk bisa konsisten.
"Itu kemudian membuat teman-teman konde menjadi semangat, menjadi bagian dari gerakan jurnalisme publik," ujar Pimred Konde.co, Luviana Ariyanti di acara yang sama.
Gerakan jurnalisme publik menjadi sebuah pendekatan jurnalistik yang tidak hanya menyajikan berita, tetapi juga terlibat dalam gerakan sosial dan mendorong perubahan kebijakan.
Menurut Luviana, jurnalisme publik perempuan berupaya mewujudkan transformasi sosial yang lebih berpihak, baik melalui peningkatan kesadaran publik maupun kampanye terhadap regulasi yang dinilai tidak adil.
"Membuat media itu mudah, yang paling sulit adalah konsistensi. Jadi bagaimana selalu konsisten selama bertahun-tahun untuk mempertahankan ini semua, karena publik butuh media, butuh pembanding, butuh tulisan-tulisan yang untuk pembanding," ujarnya.

Progresif
Luviana mengatakan, yang tak kalah penting adalah sistem manajerial yang berpihak dan progresif. Konde.co menerapkan kebijakan kerja mendukung kesehatan mental dan kesetaraan gender.
Di antaranya, cuti melahirkan selama empat bulan, cuti ayah satu bulan, serta sistem kerja fleksibel dengan hanya satu hari kerja di kantor dan sisanya work from anywhere.
"Kalau Konde tuh enggak cuma pengen mematuhi undang-undang, tetapi gimana caranya lebih progresif, ya. Di konde ada aturan yang biar orang tuh kesehatan mentalnya terjaga gitu, ya. Misalnya ibu melahirkan itu libur empat bulan kalau di Konde. Kan itu lebih progresif dari undang-undang tenaga kerja, ya," ungkapnya.
"Terus cuti ayah, cuti ayah tuh satu bulan gitu. Jadi, di undang-undang tenaga kerja itu enggak ada, tapi di Konde ada. Jadi, bagaimana menyiapkan manajerial sistem kerja," imbuhnya.
"Kalau Konde tuh sehari di kantor, empat hari boleh work from anywhere, bekerja dimanapun, bisa di rumah atau di manapun gitu. Itu untuk menjaga kesehatan mental karena di Jakarta itu sangat macet gitu, ya. Membuat orang stres dan lain-lain," pungkas Luviana.
Baca juga:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!