BERITA

Serikat Buruh: Upah per Jam Bisa Bikin Pengusaha Tak Bayar UMP

"“Daya tawar upah buruh kepada pengusaha menjadi lemah. Bisa saja pengusaha mengatakan hanya ingin mempekerjakan buruhnya selama dua jam per hari dengan sistem upah per jam tersebut.”"

Dian Kurniati, Adi Ahdiat

Serikat Buruh: Upah per Jam Bisa Bikin Pengusaha Tak Bayar UMP
Poster yang dibawa Aliansi Serikat Buruh Jawa Barat saat demo menolak kebijakan upah minimum rendah di depan Gedung Sate, Bandung (2/11/2019). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah tengah menyiapkan skema penghitungan upah kerja per jam.

Ia mengatakan skema baru ini akan berlaku bagi mereka yang bekerja di bawah 40 jam per pekan. Sedangkan mereka yang bekerja 40 jam per pekan tetap diupah secara bulanan.

Menurut Ida, sistem upah per jam cocok untuk pekerja dengan waktu kerja fleksibel.

"Dalam konteks fleksibilitas waktu kerja, karena fleksibilitas ternyata banyak dibutuhkan. Saya sounding dengan banyak teman-teman pekerja, mereka juga memahami itu, dan bahkan dalam konteks itu dibutuhkan fleksibilitas. Pasti ada ketentuannya dong, ada formula penghitungannya," kata Ida di kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (27/12/2019).

Ida mengaku masih mencari formulasi yang adil untuk menghitung upah per jam. Ia mengklaim skema ini akan menguntungkan kalangan pekerja dan pengusaha. 

"Upah dengan skema penghitungan per jam tersebut juga bisa dibayarkan per bulan," jelas Ida.


Serikat Buruh Khawatir Pengusaha Bisa Seenaknya

Berbeda dengan Menaker, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) justru menilai skema upah per jam itu sekadar menguntungkan pengusaha, namun merugikan kalangan buruh.

Ia khawatir skema baru itu membuat pengusaha bisa menggaji buruh di bawah upah minimum provinsi (UMP).

"Jika diterapkan, pengusaha bisa seenaknya secara sepihak menentukan jumlah jam bekerja buruh," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam siaran persnya, Jumat (27/12/2019).

“Daya tawar upah buruh kepada pengusaha menjadi lemah. Bisa saja pengusaha mengatakan hanya ingin mempekerjakan buruhnya selama dua jam per hari dengan sistem upah per jam tersebut.”

“Peran negara untuk melindungi rakyat kecil yang hanya mengandalkan upah minimum dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya menjadi hilang,” tegas Said lagi.

Selain menolak upah per jam, KSPI juga menolak berbagai kebijakan lain yang terkandung dalam omnibus law ketenagakerjaan.

“Isi omnibus law tersebut sangat merugikan buruh. Antara lain pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA (tenaga kerja asing) buruh kasar, penggunaan outsourcing yang masif, jam kerja yang fleksibel, termasuk upah bulanan dirubah menjadi upah per jam,” kata Presiden KSPI Said Iqbal.

“Intinya buruh menolak sistim upah per jam yang absolut memiskinkan kaum buruh. KSPI juga menolak seluruh isi omnibus law cluster ketenagakerjaan yang merugikan buruh. Sebab sejauh ini UU No. 13/2003 sudah cukup memberikan keseimbangan kepentingan buruh dan pengusaha,” tegasnya.


Editor: Ardhi Rosyadi

  • upah per jam
  • omnibus law
  • tenaga kerja
  • buruh
  • upah minimum
  • UMP

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!