BERITA

RUU KKR, Ini Alasan Pemerintah Hapus Pasal Amnesti

""Tidak ada rehabilitasi kemudian juga reparasi. Itu tidak dikaitkan dengan amnesti.""

RUU KKR, Ini Alasan  Pemerintah Hapus Pasal Amnesti
Spanduk peringatan 21 tahun tragedi Semanggi I terpasang di kampus Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Rabu (13/11/2019). (Foto: ANTARA/Nova Wahyudi)

KBR, Jakarta-  Pemerintah memastikan tak akan memasukkan pasal yang memungkinkan pelaku pelanggar HAM mendapat amnesti dari Presiden, pada Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Juru bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman, mengatakan, pemerintah tak ingin mengulang peristiwa pada 2006, saat Undang-undang KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena memuat pasal amnesti untuk pelanggar HAM.

Fadjroel berkata, beleid tersebut juga tetap memberikan kewenangan pada KKR membuat rekomendasi penyelesaian kasus pelanggar HAM lewat pengadilan HAM ad hoc.

"Akan dipisahkan. Jadi tidak ada rehabilitasi kemudian juga reparasi. Itu tidak dikaitkan dengan amnesti. Itu tidak dikaitkan, jadi urusannya nanti tetap ada pengadilan HAM, rekomendasi," kata Fadjroel di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (05/12/2019).


Fadjroel mengatakan, RUU KKR bakal mengutamakan penyelesaian kasus dengan pengungkapan kebenaran, meski ada peluang merekomendasikan ke pengadilan HAM. Fadjroel menyebut pengungkapan kebenaran tersebut untuk memberikan kelegaan hati di antara pelaku dan keluarga korban pelanggar HAM.


Fadjroel berkara, RUU KKR akan menjadi jawaban atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum terselesaikan.

Setelah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) kumulatif, pemerintah bakal mengebut penyusunan draf RUU-nya. Ia berkata, naskah akademik RUU KKR telah rampung, sedangkan drafnya sedang disiapkan oleh guru besar hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo.

Sebelumnya  Badan Legislasi (Baleg) DPR  memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), ke dalam tiga RUU daftar kumulatif terbuka di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Wakil Ketua Baleg DPR Rieke Diah Pitaloka mengatakan, RUU KKR masuk dalam daftar kumulatif terbuka, bersama dua RUU lain, yaitu RUU tentang Koperasi serta Perubahan Kedua UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

RUU kumulatif terbuka merupakan RUU di luar Prolegnas, yang dalam keadaan tertentu dapat diajukan oleh DPR atau Presiden.

"Tiga RUU yang merupakan daftar kumulatif terbuka yaitu tentang RUU Koperasi, Perubahan Kedua UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, dan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) memang masuk dalam kumulatif terbuka," ucap Rieke Diah Pitaloka di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/12-2018/penyelesaian_kasus_ham_mandek__komnas_ham_minta_presiden_keluarkan_perppu_kkr/98398.html">Kasus HAM Mandek, Komnas HAM Minta Presiden Keluarkan Perppu KKR</a> &nbsp; <br>
    
    <li><b>
    

    Penyelesaian Kasus HAM Mandek, Mahfud Wacanakan UU KKR    

Pengungkapan Fakta

LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan rencana pemerintah menyelesaikan kasus Semanggi I dan berbagai kasus pelanggaran HAM menggunakan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Koordinator LSM Kontras Yati Andriyani mengatakan, jika penyelesaian mengunakan cara rekonsiliasi maka harus ada pengungkapan fakta terlebih dahulu yang menjadi pedoman.

Sementara, saat ini pelaku tidak diketahui siapa yang melakukan.

"Tapi saya masih curiga kalau KKR yang dimaksud pemerintah itu sebenarnya ada rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu kan ada tahapannya, yang namanya rekonsiliasi harus ditempuh dengan satu pengungkapan kebenaran. Pengungkapan kebenaran itu tentang fakta-fakta peristiwa apa, pelaku siapa, penanggung jawab siapa harus dibuka. Kalau pemerintah langsung pada rekonsiliasi, itu sama saja dengan upaya menutup kasus ini dengan cuci tangan," ujar Yati Andriyani di M Block Space, Rabu (13/11/2019).


Koordinator Kontras Yati Andriyani menyebut Undang Undang KKR tidak mengugurkan kewajiban negara menempuh proses hukum terhadap pelaku pelanggar HAM.


Menurut Yati Andriyani, pengadilan HAM dan Undang-Undang KKR sifatnya saling melengkapi. Namun, harus diungkap lebih dulu siapa pelakunya.

Dengan begitu pemerintah tidak bisa mengugurkan peradilan dengan KKR.

Baca juga:


Editor: Rony Sitanggang

  • Tragedi Semanggi
  • KKR
  • Tragedi Trisakti
  • HAM
  • Kontras
  • Kasus Pelanggaran HAM
  • kasus HAM

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!