BERITA

Bertemu Para Peziarah di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh

Bertemu Para Peziarah di Kuburan Massal Korban Tsunami Aceh

KBR, Aceh – Tak ada nisan. Tapi areal ini adalah kuburan. Sebidang lahan di Gampong Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar tersebut hanya ditutup rerumputan, dikelilingi pagar setinggi satu meter. Di tengah tanah lapang berdiri dua pondokan kayu, sedang bangunan musala terletak di samping area.

Lahan seluas 2 hektare tersebut jadi lokasi disemayamkannya korban gempa dan tsunami Aceh 14 tahun silam. Diperkirakan ada lebih dari 46 ribu orang di Kuburan Massal Siron.

Hari itu Rabu, 26 Desember tanggal tepat ketika gelombang air laut menerjang Aceh dan menewaskan ratusan ribu jiwa. Sejak pagi orang berdatangan dari berbagai daerah di Aceh.

Para peziarah lalu-lalang menyusur jalan setapak yang membelah tanah lapang itu jadi dua. Beberapa di antaranya ngaso di bawah rindang pohon trambesi.

Sementara sejumlah lainnya mengantar doa, sayup-sayup terdengar lantunan surat Yasin, sesekali diiringi isak tangis.

Dari gapura, seorang perempuan masuk tergopoh membawa serumpun bunga. Langkah kakinya bersicepat menuju tanah lapang.

Saya mengikuti dari belakang, perempuan itu berhenti di tengah area makam. Ia berdiri mematung, didekapnya erat bunga yang ia bawa. Mulutnya terlihat mengucap beberapa kalimat. Sejurus kemudian, bunga-bunga ditariknya dari tangkai, ditaburkan ke atas kuburan. 

red

Chai Yun, anggota keluarga korban tsunami Aceh saat menabur bunga di Kuburan Massal Siron, Rabu (26/12/2018). (Foto: KBR/Alfath)

Chai Yun (63 th) tinggal di Peunayong, Banda Aceh, butuh sekitar 20 menit berkendara untuk mencapai Kuburan Massal Siron. 14 anggota keluarganya jadi korban tsunami 2004.

"Adik-adik saya, keponakan juga. Bahkan ada adik satu keluarganya jadi korban semua," ungkap perempuan yang akrab disapa Ayun itu kepada Kontributor KBR di Aceh, Rabu (26/12/2018).

Ia sebetulnya juga tak tahu persis di mana anggota keluarganya dimakamkan. Usai tsunami berkekuatan magnitude 9,2 menggulung Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam, jasad anggota keluarganya tak pernah ditemukan.

Maka berziarah ke dua lokasi kuburan massal di Aceh pun akhirnya jadi pilihan. Saban tahun setiap 26 Desember, Ayun tak pernah absen mengunjungi kedua permakaman. Dari Kabupaten Aceh Besar, ia melanjutkan ziarah Ulee Lheue di Kota Banda Aceh.

"Saya selalu datang ke dua tempat. Pertama ke mari dulu, Lalu ke Ulee Lheue."

Hal serupa setiap tahun juga dilakukan Nova Sri Rahayu (33 th). Warga Aceh Barat Daya itu melintas 350 kilometer menuju Kuburan Massal Siron di Aceh Besar. Ayah dan anggota keluarganya menjadi korban. 

Sebetulnya, ia belum yakin benar di mana jasad sanak familinya dimakamkan. Hanya saja menurut Ayu, hatinya seakan menuntun kaki mendatangi kuburan massal di Siron. Keputusan ini diperkuat dengan kesaksian orang-orang Lampulo, tempat terakhir kali ayahnya berada saat gelombang setinggi pohon kelapa menyapu daratan dan seluruh isinya.

"Setelah kejadian, saya sempat ke daerah Lampulo. Penduduk situ bilang (mayat-mayat) korban di sana waktu itu di bawa ke sini (kuburan Massal Siron)," tutur Ayu yang hari itu datang bersama suami dan dua anaknya.

Ia pun mengenang, Minggu pagi 26 Desember 2004, ayahnya berada di Hotel Rajawali di Gampong Lampulo untuk mengikuti sebuah acara. Gempa tiba-tiba datang. Beberapa menit kemudian orang-orang di wilayah yang bersisian dengan bibir pantai itu berteriakan. Bersahutan memberi tahu bahwa air laut naik.

Jasad sang ayah adalah salah satu yang tak ditemukan. Selang beberapa tahun tsunami, berbekal informasi dan insting, Ayu kuat meyakini ayahnya dimakamkan di Kuburan Massal Siron.

"Karena pun kuburan massal yang paling besar juga di sini kan," kata dia.

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/12-2018/nelangsa_di_carita/98559.html">Nelangsa di Carita</a><br>
    
    <li><a href="https://kbr.id/nusantara/12-2017/peringati_13_tahun_tsunami__nelayan_aceh_libur_3_hari/94169.html"><b>Peringatan 13 Tahun Tsunami Aceh</b></a>&nbsp;<br>
    

Ketika saya temui, ia sedang berdiri di titik yang ia yakini sebagai pusara orangtuanya. Ayu mengungkapkan, lambat laun ikhlas menerima kepergian ayahnya juga anggota keluarga lain yang menjadi korban tsunami.

"Saya sudah mengantarkan doa kepada ayah, kepada keluarga. Kepada seluruh korban," katanya diikuti senyum.

Tak jauh dari tempat Ayu bercerita, di bawah pohon trambesi sekumpulan laki-laki tampak duduk melingkar. Di tangan mereka buku yasin terbuka, terdengar lirih para peziarah itu membaca doa. Sedangkan di belakang ritual itu, asap dupa mengepul. Serombongan warga lain juga baru selesai berdoa.

Saya menghampiri sebelum mereka beranjak pulang.

Kelompok peziarah ini datang dari Gampong Neuhen, 30 kilometer dari lokasi kuburan massal. Kalau berkendara kira-kira perlu paling lama 45 menit untuk mencapai Siron.

Ketua Pemuda Neuheun, Salamuddin (40 th) menuturkan, ini kali pertama ziarah bersama-sama. Kata dia, warga Neuheun patungan mengumpulkan duit untuk menyewa mobil.

Setelah ziarah, perjalanan juga dilanjutkan napak tilas ke titik-titik yang saat itu diterjang tsunami.

"Kami juga membawa beberapa orang tua, yang memang sejak 14 tahun lalu belum pernah ke sini," tutur Salamuddin. Salah satu peziarah yang sudah sepuh memang tampak harus dibopong oleh dua pemuda. 

"Kami nanti juga ke museum tsunami, ke Lhoknga juga, kami ingin memberikan kebahagiaan ke mereka," kata Salamuddin melanjutkan.

red

Pemuda dan warga dari Gampong Neuheun berziarah ke Kuburan Massal Siron. (Foto: KBR/ Alfath)

Kampung yang mereka tinggali adalah salah satu daerah terdampak tsunami. Kedatangan ke kuburan massal Siron sengaja dilakukan bersama untuk mendoakan warga Neuhen yang jadi korban.

"Kali ini sengaja kami buat berbeda. Anak-anak muda kami ajak berdoa ke sini (kuburan massal Siron). Tapi ada juga warga yang gelar doa di kampung."

Sebelum ini, setiap kali mengenang tsunami Aceh, warga Neuheun menggelar doa di masjid gampong. Kata dia, seluruh warga mulai dari generasi muda hingga yang sepuh berkumpul untuk mengantar doa sejak pagi. Tepat pukul 8 pagi sebagaimana waktu gelombang tsunami menerjang kampung dengan penduduk sekitar 3.000 jiwa tersebut.

"Tapi kami tidak terimbas besar dari kejadian itu. Sekitar 50 rumah yang kena. Lebih kurang 50 orang juga yang meninggal dunia. Tapi mayatnya tidak ditemukan," paparnya lagi.

Neuheun berada 200 meter dari bibir pantai Samudera Hindia. Namun gampong ini juga diapit perbukitan yang membentang sampai ke kaki gunung Seulawah.

"Laut memang dekat dengan kampung kami. Di depan rumah. Gunung juga ada di belakang rumah. Jadi banyak yang lari ke gunung waktu itu."

Salamuddin menuturkan, gerak warga untuk lari ke bukit hanya sebatas naluri menyelamatkan diri. Sebab kala itu, kata dia, masyarakat belum memiliki pengetahuan mengenai mitigasi bencana.

"Makanya banyak yang selamat. Nggak tahu waktu itu kenapa lari ke sana ya. Insting mungkin ya," terka dia.

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/12-2018/hampir_14_tahun_pasca_tsunami_aceh__kuburan_massal_korban_ditemukan_di_perumahan/98487.html">Hampir 14 Tahun Tsunami Aceh, Kuburan Massal Ditemukan di Perumahan</a>&nbsp;<br>
    
    <li><b><a href="https://kbr.id/05-2017/korban_tsunami_aceh_ajukan_suntik_mati__ini_harapan_keluarga/90036.html">Korban Tsunami Aceh Ajukan Suntik Mati</a>&nbsp;</b><br>
    

Riwayat-riwayat dalam bentuk kebudayaan masyarakat di sana pun, menurutnya tak pernah ada yang menyinggung soal gelombang tsunami, sebagaimana di kebudayaan masyarakat Simeulue, yang disebut dengan smong.

Setelah 14 tahun berlalu, sebagai warga yang pernah mengalami bencana, Salamuddin menaruh harap adanya peningkatan pemahaman terhadap kemampuan mitigasi menyeluruh. Utamanya, menyasar seluruh daerah di pelosok kampung.

Misalnya lanjut dia, pemerintah bisa membentuk relawan di tiap kampung dengan memanfaatkan pemuda setempat. Dengan begitu, masyarakat pun tak lagi gagap ketika menghadapi bencana.

“Mereka ini kan masih kuat-kuat tenaganya. Bisa kita ajak untuk diberi pengetahuan kebencanaan. Agar jika ada bencana mereka siap membantu evakuasi. Nggak menunggu (relawan) datang begitu," ungkap Salamuddin.

"Banyak korban jiwa terjadi besar-besaran itu karena masyarakat tidak siap. Kalau ada anak muda yang tahu, tanggap bencana misalnya, mereka kan bisa cepat membantu antisipasi keadaan darurat itu," sambungnya lagi.



Editor: Nurika Manan

 

  • Tsunami Aceh
  • kuburan massal
  • Aceh
  • tsunami
  • korban tsunami
  • ziarah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!