BERITA

'Belajar Coding Untuk Anak-Anak Kini Lebih Manusiawi'

'Belajar Coding Untuk Anak-Anak Kini Lebih Manusiawi'

KBR, Jakarta – Saat ini kehidupan manusia tidak bisa lepas dari teknologi. Semua kalangan dari berbagai usia memanfaatkan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu aspek penting yang berkaitan dengan teknologi adalah coding atau pengodean.

Saat ini coding ternyata tidak hanya dipelajari orang dewasa. Anak-anak sekolah dasar kini sudah banyak yang mulai didorong menguasai teknik pengodeaan ini. Secara sederhana, coding diartikan tentang bagaimana orang memberikan perintah kepada gawai agar menuruti keinginan pengguna.

Banyak anggapan coding adalah bahasa pemogram yang rumit, panjang dan harus dihafal. Namun bagi Aranggi Soemardjan, founder sekaligus CEO Clevio anggapan tersebut adalah buah dari pemikiran jadul.

“Sekarang ini coding lebih manusiawi. Jadi bagi anak-anak yang baru mau belajar, kita biasanya mulai dengan puzzle yang di dalamnya berisi perintah-perintah yang software-nya bisa mengikuti kemauan kita”, ujar Aranggi dalam sebuah perbincangan di program Ruang Publik KBR.

Sebagai pendiri lembaga pendidikan khusus progamming, Aranggi mengatakan sangat penting anak-anak diajarkan coding sedini mungkin. Lebih lanjut, ia menjelaskan ketika anak-anak belajar pemograman coding, anak-anak akan mesti berpikir mengenai flow chart dari coding-nya.

“Ketika anak belajar tentang flow chart, secara tidak langsung anak itu belajar mengenai decision making. Itu lifeskill yang penting banget,” kata Aranggi.

Sebagai generasi yang akan hidup di peradaban baru, kemampuan memahami logika algoritma dari sebuah coding tersebut yang sangat penting bagi bekal anak di masa depan.

“Anak-anak itu di masa depan kan akan berhadapan dengan era digital yang mengerikan. Mereka akan berhadapan dengan kecerdasan buatan, bigdata. Tantangan kita sebagai generasi yang tergolong tua adalah memastikan mereka bisa bertahan dan menang ketika hidup di era tersebut,” tambahnya.

Bukan hanya sebagai bekal di masa depan bagi anak. Lewat coding para anak juga bisa menjadi saluran kebaikan bagi orang lain. Dalam sistem belajar Clevio, prinsip tersebut dikenal dengan greeter good.


red

Aranggi Soemardjan, Founder/ CEO Clevio (kiri) dan Akbar Wicaksono, salah satu anak didik dari Clevio (kanan) bersama ibunya (tengah) saat berbincang bersama KBR di Ruang Publik KBR, dipandu Don Brady. 


Akbar Wicaksono, salah satu anak didik dari Clevio yang kini duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengatakan lewat coding, ia kerap diminta bantuan oleh gurunya dalam membuat aplikasi yang bisa membuat anak-anak di kelasnya lebih tertarik dalam belajar.

Akbar baru-baru ini menjuarai Lomba Cipta Game dalam Olimpiade IT Nasional di Bali. Ia bercerita asal muasal dia tertarik dengan dunia pengodeaan mulai dari umur 12 tahun.

“Pertama tertarik dari main game. Terus jadi ingin tahu bagaimana membuat game-nya juga,” kata Akbar.

Lewat pemahamannya yang mumpuni perihal coding, saat ini Akbar sudah berhasil membuat enam buah game. Salah satu game favoritnya diberi nama Angklung. Akbar mengatakan ketika ia membuat game tersebut, ia ingin para teman sebayanya berminat dalam memainkan alat musik angklung.

Kini, remaja yang bercita-cita mendirikan perusahaan seperti Google ini, tengah merancang sebuah situs yang mampu digunakan untuk membantu usaha ibunya.

Kemampuan Akbar ini menjadi contoh bagaimana seharusnya pengodeaan diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Ia tidak lantas menjadikan anak gila gadget semata, namun juga mampu berdampak baik kepada sekitarnya.

“Di masa depan ketika teknologi semakin maju, pilhannya cuma ada dua. Anak-anak kita dikuasai, atau mereka yang menguasai,” kata Aranggi menutup obrolan.


Baca juga: Clevio Coder Camp, Saatnya Gamers Cilik Menciptakan Game Sendiri


Editor: Agus Luqman

  • Coding
  • Clevio
  • Kecerdasan Buatan
  • pengodean
  • kode

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!