BERITA

KLB Difteri, DPR Minta Pemerintah tak Bebani Masyarakat

KLB Difteri, DPR Minta Pemerintah tak Bebani Masyarakat

KBR, Jakarta- DPR meminta  pemerintah tak membebankan biaya penanggulangan difteri kepada masyarakat. Ketua Komisi IX yang membidangi kesehatan, Dede Yusuf, meminta Kementerian Kesehatan segera berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan selaku bendahara negara untuk mencari pos anggaran alternatif.

"Ada yang namanya kontingensi. Mestinya itu ada. Itu adanya di Kementerian Keuangan. Jadi mestinya bisa berkoordinasi untuk mengambil dana itu. Karena KLB itu sifatnya harus ditangani secepatnya," ujar Dede, Senin (11/12).


Menurut Dede, jika anggaran Kemenkes memang tidak mencukupi, tidak ada salahnya jika meminta bantuan anggaran dari dana cadangan. Tahun 2017, pemerintah menyisihkan Rp 40,2 triliun khusus untuk anggaran cadangan.


Selain itu, pemerintah juga. bisa mengkaji kemungkinan anggaran itu diambil dari pos yang lain. Sehingga menurut Dede, tidak ada alasan Kementerian Kesehatan kekurangan anggaran untuk mengatasi penyebaran difteri. Apalagi, anggaran kesehatan di tahun 2017 juga sudah mencapai Rp 140 triliun.


"Pemerintah pusat dan daerah harus sama-sama keluarkan alokasi anggaran untuk KLB. Jadi tanggungjawab mereka."

Baca: Angka Kematian Akibat Difteri di Jawa Barat Meningkat 

 

Sebelumnya Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nila Moeloek mengatakan imunisasi serentak (ORI) membutuhkan biaya yang tak sedikit. 


"Memang ini (imunisasi) gratis, gratis untuk masyarakat tetapi tidak untuk kementerian kesehatan. Biaya pengulangan ORI ini lumayan besar," jelas Nila Moeloek dalam sambutannya sebelum meninjau ORI, Senin (11/12/17).


Nila tidak bisa memastikan berapa banyak nominal pengeluaran ORI serentak. "Anggaran saya tidak hafal jumlahnya. Tetapi cukup besar karena ini program. Bukan hanya difteri tetapi keseluruhan," jelasnya.


Kata dia sejak diumumkan kasus KLB, BPJS mengaku angkat tangan.

"Lah ini kita belum tahu siapa yang mau bertanggungjawab, apa BPJS mau nanggung kami tidak tahu. Kami harus memperhitungkan," kata Nila.

Nila menyebut bahwa obat anti difteri alias Anti Difteri Serum (ADS) tak murah.


"Kalau tidak mau ORI, berarti siap siap menularkan. Kalau sudah kena, biayanya luar biasa, bukan vaksin lagi tetapi anti difteri serum (ads). Satu pasien dengan difteri ini kami harus mengeluarkan uang seharga empat juta rupiah," terangnya.

Kebutuhan Vaksin

 

PT Bio Farma (Persero) memastikan sanggup memenuhi kebutuhan vaksin difteri, yang kini berstatus kejadian luar biasa (KLB). Juru bicara Bio Farma Nurlaela Arief mengatakan, perusahaannya mampu memproduksi vaksin 2 miliar dosis setiap tahun, termasuk tiga vaksin yang mengandung anti-difteri.

Kata dia, perusahaannya akan memprioritaskan peoduksi untuk kebutuhan vaksin di dalam negeri ketimbang pesanan negara lain.

"Tentunya kami siap menyediakan sesuai dengan permintaan, kebutuhan, dan kami prioritaskan kebutuhan dari Kementerian Kesehatan. Maksudnya kebutuhan dalam negeri dulu, sebelum kami kirim kebutuhan global. Karena kami memprioritaskan kebutuhan vaksin dalam negeri, tentunya kebutuhan atau pesanan yang sudah dipesan oleh negara berkembang atau melalui UNICEf, kebutuhannya dialihkan dulu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," kata Nurlaela kepada KBR, Senin (11/12/2017).

Baca: Wabah Difteri, Kemenkes Sebar Vaksin Ke 17 Provinsi    


Nurlaela mengatakan, dia tak bisa menghitung produksi vaksin secara parsial, karena produksinya yang tergantung kebutuhan dan fluktuatif setiap tahun. Namun, khusus vaksin difteri, biasanya kebutuhan tahunan untuk dalam negeri tak banyak berubah dikisaran 5 juta vaksin untuk anak usia 0 hingga 5 tahun.


Nurlaela berkata, terdapat tiga jenis vaksin yang mengandung anti-difteri, yakni untuk anak  usia 0 hingga 5 tahun, yang mengandung anti-difteri, tetanus, dan hepatitis B. Kemudian ada vaksin yang mengandung anti-difteri dan tetanus untuk anak usia 5 hingga 7 tahun, serta untuk usia 7 hingga 19 tahun.


Nurlaela berujar, di dunia ini hanya ada tiga produsen vaksin utama, yakni Tiongkok, India, dan Indonesia. Kata dia, dari 2 miliar vaksin produksi Bio Farma, 40 hingga 50 persen di antaranya diekspor ke negara-negara berkembang di Asia, atau berdasarkan pesanan Badan PBB untuk Urusan Anak-anak (UNICEF). Meski begitu, kata Nurlaela, perusahaannya siap memangkas produksi vaksin untuk ekspor demi memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Menurut Nurlaela, perusahaannya juga tak mempermasalahkan keuntungan yang kecil dari produksi  tersebut, lantaran vaksin difteri dihargai murah.


Editor: Rony Sitanggang

  • wabah difteri
  • KLB Difteri

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!