BERITA

Silang Pendapat Perda Bernuansa Agama

Silang Pendapat Perda Bernuansa Agama

KBR, Jakarta - Kemunculan peraturan daerah bernuansa agama jadi salah satu isu yang menyedot perdebatan di tengah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Polemik ini bermula dari pernyataan Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie yang menyatakan partainya bakal menolak jika ada perda yang dibuat berlandaskan agama.

Pernyataan Grace itu bertolok pada Perda Syariah yang ia anggap memicu ketidakadilan, diskriminasi dan intoleransi. Ada yang sepakat, ada pula yang menolak.

Sikap senada disampaikan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Setara Institute.

Lembaga riset Setara misalnya, mendorong pemerintah mengevaluasi seluruh perda dan memoratorium penerapan pasal yang dinilai diskriminatif. Peneliti Setara, Halili mengungkapkan, hingga Desember 2017 ada 183 peraturan daerah yang diskriminatif, intoleran, dan melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan. 

"Kita tidak bisa menghakimi tafsir. Agama itu kan lebih banyak soal tafsir. Yang harus dihakimi adalah kalau ada ustadz, misalnya, menghasut yang lain untuk melakukan kejahatan kebencian atau hate crime. Itu harus diusut," terang Halili kepada KBR. 

Ia menemukan, penerapan Perda bernuansa agama malah cenderung memperuncing laku diksriminatif terhadap kelompok minoritas. Jika dibiarkan, kondisi tersebut mengancam toloransi beragama di masyarakat.

Baca juga: Singgung Perda Syariah, Ketum PSI Dipolisikan Atas Tuduhan Penistaan Agama

Kekhawatiran serupa diungkapkan KPPOD. Aturan yang dibuat berdasar agama tertentu menurut lembaga pemantau kebijakan daerah tersebut akan condong meminggirkan kelompok marginal. Karena itu Direktur KPPOD Robert Endi Jaweng setuju Perda diskriminatif sudah selayaknya dihapus.

"Pada dasarnya perda-perda bernuansa agama itu perda yang sifatnya pencitraan politik saja. Perda yang memang bertujuan memenangkan hati pemilih saja yang tujuannya ke elektoral," kata Robert saat dihubungi KBR, Selasa (20/11/2018).

Ia juga mengkritik sikap Kementerian Dalam Negeri yang hanya bergigi kala mengevaluasi Perda yang dianggap menghambat investasi, namun lembek saat dihadapkan pada Perda terkait agama.

Merespons masalah ini, Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto mengklaim pemerintah pusat sudah berupaya mencegah terbitnya perda-perda diskriminatif. Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu telah menghapus Perda di salah satu kabupaten yang mensyaratkan hafalan surat dalam Al-Quran bagi anak yang ingin masuk Sekolah Dasar.

Perda itu menurut Widodo, akhirnya dibatalkan Kemendagri lantaran dinilai diskriminatif.

Namun begitu ia mengingatkan, kini kementeriannya tak lagi berwenang mencabut Perda bermasalah. Itu sebab ketika ada pihak yang menemukan aturan daerah bermasalah maka ia menyarankan untuk melakukan uji materi.

"Kami dulu sesuai dengan Undang-undang 23 Tahun 2014, kalau ada Perda bermasalah, Perda itu boleh dicabut. Kemudian dilakukan judicial review, kewenangan kemendagri itu, pasal yang menyatakan kewenangan Mendagri untuk membatalkan perda itu dicabut oleh MK," jelas Sigit ketika dihubungi KBR, Selasa (20/11/2018).

Baca juga: Perda Diskriminatif, Pemerintah Akan Buat Rambu-Rambu untuk Kepala Daerah

Kendati begitu, ia memastikan Kemendagri bakal terus memantau proses penyusunan Perda.

Soal Perda bernuansa agama ini, ada pula kelompok yang menolak. Ketaksetujuan salah satunya disampaikan Direktur Pencapresan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Suhud Alynudin. Ia justru mendukung masuknya dalil agama ke peraturan daerah. Suhud menganggap, selama Perda tidak menyalahi ideologi negara dan UUD 1945, maka penerbitan perda syariah atau perda Injil bisa saja digunakan pemerintah daerah.

Namun Suhud memberi catatan, Perda bernuansa agama itu harus diformulasikan dengan baik agar tidak mendiskriminasi kelompok tertentu.

"Kalau ditanya apakah setuju perda berdasarkan agama, saya setuju, karena dia berdasarkan tidak bertentangan dengan ideologi negara Pancasila, tidak bertentangan UUD. Selama prosesnya tidak bertentangan dengan proses legislasi, tidak ada yang salah perda dengan nilai-nilai agama," kata dia.

Merespons pro dan kontra tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, aturan agama sebetulnya tidak perlu diatur dalam Peraturan Daerah. Sebab menurutnya peraturan daerah sebatas mengatur hubungan sosial kemasyarakatan, kenegaraan dan kedaerahan.

"Sebuah anjuran, tidak ada sanksi seperti potong gaji atau apapun sudah berlebihan menurut saya. Sebaiknya hubungan kita dengan pencipta, itu tidak diatur dalam peraturan seperti itu kalau peraturan tersebut. Misalnya membuat memberikan sanksi bagi pelanggarnya," jelas Refly saat dihubungi KBR pada Selasa (20/11/2018).

"Kalau anjuran ya tidak perlu di dalam Perda, anjuran ya cukup saja iimbauan kepala daerah," tambah Refly.

Ia pun menegaskan, seluruh Perda yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional. Tapi dalam konteks Aceh, berbeda. Ia menerangkan, kondisi khusus diberikan ke pemerintahan Aceh karena itu pula di sana berlaku Qanun yang mengatur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan bermasyarakat.

Materi qanun tambah Refly, tetap diselaraskan dengan hukum nasional. Itulah mengapa, hal-hal substantif seperti pelaksanaan hukuman mati, tetap menjadi ranah hukum nasional. Kalaupun ada penolakan terhadap Perda Syariah, ia menganjurkan menempuh langkah uji materi ke Mahkamah Agung.

Baca juga: Peneliti Temukan 2016 Sebanyak 40 Perda Langgar Hak Perempuan dan LGBT 



Editor: Nurika Manan

  • Peraturan Daerah
  • Perda
  • syariah
  • Perda bernuansa agama
  • Indonesia2019
  • #Indonesia2019

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!