BERITA

Cegah Body Shaming, Ini Saran Psikolog untuk Para Orangtua

"Peran orangtua dan lingkungan keluarga di rumah, menurut Vera jadi kuncinya. "

Aika Renata

Cegah Body Shaming, Ini Saran Psikolog untuk Para Orangtua
Ilustrasi. (Foto: Pexels)

KBR, Jakarta - "Wah, gemukan ya sekarang!"

"Kurusan kamu. Bagusan berisi tuh body."

"Masih pendek aja. Gak berubah ya!"

Beberapa pernyataan di atas adalah ragam komentar yang acapkali telontar pada perjumpaan pertama, setelah sekian lama dua orang tak bertemu. Barangkali ada yang berupa ungkapan sungguh-sungguh, tapi ada pula yang sekadar basa-basi awal pertemuan. Tapi yang perlu diketahui, pernyataan-pernyataan di awal tulisan ini tergolong bentuk perilaku 'body shaming' atau penghinaan atas citra tubuh.


Perilaku 'body shaming' ini belakangan kian disorot sejak Kepolisian RI menyatakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3 soal penghinaan dan pencemaran nama baik juga bisa digunakan menjerat komentar di dunia maya soal fisik seseorang yang dianggap "menghina". Alhasil, kelak orang yang berkomentar menjurus ke hinaan fisik bakal terancam masuk penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp750 juta. 


Namun hingga kini belum ada data valid mengenai jumlah pasti kasus pelaporan 'body shaming'. Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana mengungkapkan laku yang menjurus ke body shaming ini bukan hanya dialami orang usia dewasa, melainkan juga anak-anak dan remaja.

Karena itu menurutnya, penting mencegah perilaku tersebut sedini mungkin. Pasalnya kata Vera, body shaming punya dampak berkepanjangan hingga usia dewasa.

"Body shaming adalah salah satu bentuk bullying. Dampaknya adalah menyakiti, merusak konsep diri, kepercayaan diri. Karena yang diterima si anak atau remaja ini kan komentar negatif tentang fisiknya," ungkap Vera dalam perbincangan untuk program KBR Pagi.

"Itu membuatnya merasa jelek, tidak diterima lingkungannya yang akhirnya berpengaruh pada kepercayaan diri dan harga dirinya," tambah Vera lagi saat menjelaskan efek korban body shaming kepada jurnalis KBR.

Lantas, bagaimana cara menangkal agar tak terpeleset ke tindakan body shaming?

Peran orangtua dan lingkungan keluarga di rumah, menurut Vera jadi kuncinya. Itu sebab ia menyarankan para orangtua agar mendorong anak belajar mencintai diri, sehingga dapat menerima kondisi fisiknya. Selain itu, orangtua juga mulai mengarahkan anak untuk mengenali dan mengembangkan potensi diri.

"Tidak dibiasakan selalu mengutamakan kemampuan fisik. Anak juga mesti merasa dia punya kelebihan lain selain fisik. Tantangannya adalah ketika anak masuk usia puber, mau nggak mau dia akan perhatikan penampilan karena fisik berubah kan. Penting tuh bagi anak ikut aktivitas olahraga, kesenian, dll. Jadi bisa fokus ke situ," saran Vera.

Meski demikian, ia menambahkan, penting bagi orangtua untuk terus membangun komunikasi yang baik dengan anak dan remaja sehingga anak menjadi lebih percaya diri akan kemampuan dirinya pada masa yang akan datang.

"Tidak mudah untuk minta anak cuek aja. Dengarkan dulu ketika anak berkeluh kesah. Jangan rendahkan perasaannya, misalnya dengan bilang gitu aja kamu bete. Hindari komen seperti itu," tuturnya.

"Apa yang kemudian bisa dilakukan bisa muncul dari diskusi itu, si anak merasa percaya dengan kemampuan dalam diri. Itu sebenarnya jadi tameng bagi anak ketika menghadapi body shaming," ujar  Vera.

Editor: Nurika Manan

  • #bodyshaming
  • #anakdanremaja
  • #psikologanakremaja
  • #veraitabiliana

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!