BERITA

Pengidap Gangguan Mental Meningkat, Mayoritas Tidak Berobat

"Depresi bisa disembuhkan dengan kombinasi terapi dan obat antidepresan. Tapi di Indonesia, 91 persen pengidap depresi itu tidak berobat."

Adi Ahdiat

Pengidap Gangguan Mental Meningkat, Mayoritas Tidak Berobat
Ilustrasi. (Foto: Pixabay/Brian Merril)

KBR, Jakarta - Pengidap gangguan mental di Indonesia bertambah banyak dalam lima tahun terakhir.

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, pada 2013 prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia hanya 6 persen. Namun pada 2018 prevalensinya sudah naik menjadi 9,8 persen.

Peningkatan jumlah pengidap gangguan mental itu terjadi di 34 provinsi Indonesia. Adapun lima provinsi dengan pengidap gangguan mental tertinggi adalah:

    <li>Sulawesi Tengah</li>
    
    <li>Gorontalo</li>
    
    <li>Nusa Tenggara Timur</li>
    
    <li>Banten</li>
    
    <li>Maluku Utara<span id="pastemarkerend">&nbsp;</span></li></ol>
    

    Gambaran lengkapnya bisa dilihat di grafik berikut:

    red

    (Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2018, Kementerian Kesehatan RI)


    91 Persen Pengidap Depresi Tidak Berobat

    Menurut American Psychological Association (APA), depresi adalah jenis gangguan mental yang paling umum terjadi.

    "Depresi lebih dari sekadar kesedihan. Orang dengan depresi bisa merasa tidak bersemangat, tidak gembira, mengalami perubahan berat badan signifikan, insomnia atau tidur berlebihan, sulit konsentrasi, merasa tidak berdaya, serta punya pikiran berulang untuk bunuh diri," jelas APA dalam situs resminya.

    APA menegaskan bahwa depresi bisa disembuhkan dengan kombinasi terapi dan obat antidepresan. Tapi di Indonesia, 91 persen pengidap depresi itu tidak berobat.

    "Hanya 9 persen penderita depresi yang minum obat atau menjalani pengobatan medis," ungkap data Riset Kesehatan Dasar 2018.

    Menurut hasil riset tersebut, prevalensi pengidap depresi paling tinggi ada di provinsi:

      <li>Sulawesi Tengah</li>
      
      <li>Gorontalo</li>
      
      <li>Nusa Tenggara Timur</li>
      
      <li>Maluku Utara</li>
      
      <li>Nusa Tenggara Barat</li></ol>
      

      Riset Kesehatan Dasar 2018 juga mengungkap ada 84 persen pengidap skizofrenia yang menjalani pengobatan. Namun, sekitar 51 persen atau separuhnya tidak minum obat secara rutin.

      Para pengidap skizofrenia dilaporkan tidak minum obat karena berbagai alasan, seperti merasa sudah sehat, atau tidak mampu beli obat rutin.


      Dokter Jiwa Sangat Sedikit

      Pemerintah Indonesia sudah berjanji akan menanggung pengobatan pasien gangguan jiwa lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS).

      Namun, fasilitas dan tenaga kesehatan yang mampu menyediakan layanan itu masih sangat terbatas.

      "Data terakhir ada sekitar 987 dokter spesialis kejiwaan (SpKJ) se-Indonesia. Kita sedang melakukan update untuk tahun ini. Mungkin sudah mencapai sekitar 1.000 dokter SpKJ. Ini untuk melayani 250 juta penduduk Indonesia. Kita bisa bayangkan rata-rata 1 banding 250.000," kata Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Agung Frijanto, Senin (7/10/2019).

      Meski dokternya masih sedikit, Agung mengklaim saat ini masalah kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri sudah menjadi prioritas Kemenkes.

      Kemenkes juga mengaku akan mengupayakan pengembangan layanan kesehatan jiwa di seluruh Puskesmas di Indonesia.

      “Peningkatan pelayanan kesehatan yang diharapkan nantinya mencakup kemudahan akses, keterjangkauan, efektif, efisien serta memperhatikan hak-hak asasi manusia,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono, seperti dilansir Antara, Selasa (8/10/2019). 

      Layanan kesehatan jiwa di Puskesmas itu diharapkan bisa menangani masalah pasien gangguan jiwa, sekaligus menghapus stigma buruk tentang mereka.

      Editor: Agus Luqman

  • kesehatan mental
  • kesehatan jiwa
  • gangguan mental

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!