BERITA

PSHK: Soal Pengembalian Mandat, Presiden dan KPK Harus Bertemu

""Ini kalimat-kalimat yang, jangan-jangan, tafsirnya harus politis ya, bukan tafsir hukum.""

PSHK: Soal Pengembalian Mandat, Presiden dan KPK Harus Bertemu
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah), Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kiri) dan Laode M Syarif (kanan) dalam konferensi pers soal pengembalian mandat KPK kepada Presiden di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). (Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan)

KBR, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memastikan tidak ada hukum yang mengatur soal pengembalian mandat pimpinan KPK kepada presiden.

"Kalau mundur dari kursi pimpinan, itu sudah jelas prosedurnya di UU KPK. Tapi kalau 'menyerahkan mandat', mengembalikan tanggung jawab KPK kepada presiden, ini kalimat-kalimat yang, jangan-jangan, tafsirnya harus politis ya, bukan tafsir hukum," kata Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri Damayana dalam talkshow Ruang Publik KBR, Senin (16/9/2019).

Lantaran tidak bisa dihadapi secara hukum, Gita mendorong Presiden Jokowi agar menyikapi aksi "pengembalian mandat" ini dengan cara memanggil KPK.

"Pertama Presiden Jokowi harus negosiasi dengan KPK, maksud 'pengembalian wewenang' itu apa? Kalau sudah jelas, baru kita bisa tahu apakah mereka (pimpinan KPK) mau mengundurkan diri atau tidak. Kalau ternyata memang mengundurkan diri, artinya harus ada surat bebas tugas, ya tahapan prosedural seperti itu. Saya pikir harus tertib juga kita," jelas Gita.

Gita menekankan bahwa satu-satunya pihak yang memahami makna dan konsekuensi dari "pengembalian mandat" ini hanya KPK sendiri.

Namun, Gita memperkirakan, aksi tersebut dilakukan KPK sebagai bentuk protes terhadap revisi UU KPK yang tengah bergulir.

"Mengutip editorial salah satu media, (pengembalian mandat) ini merupakan kulminasi dari frustasinya teman-teman KPK mengenai revisi UU KPK yang akan mengatur mereka, tapi mereka tidak diajak ngomong," kata Gita.


Revisi UU KPK Melanggar Tata Tertib

Direktur Eksekutif PSHK Gita Putri Damayana menegaskan bahwa pembahasan revisi UU KPK memang sudah sepatutnya ditolak karena melanggar tata tertib.

"Kalau dia (revisi UU KPK) mau jadi usulan di Prolegnas (Program Legislasi Nasional), harus direvisi dulu Prolegnas-nya. Tapi ini kan nggak. Jadi, Prolegnas yang sedang berjalan, tahu-tahu disundul masuk ke Rapat Paripurna," kata Gita.

"Sekarang kalau prosedurnya aja sudah nggak tertib, melanggar UU 11/2011 tentang tata tertib pembuatan undang-undang, tentang tata tertib DPR, gimana dengan materinya?" Lanjut dia.

Selain menyalahi prosedur, Gita juga menilai bahwa revisi UU KPK tidak memiliki urgensi yang jelas.

"Sense of urgency-nya apa? Selama ini pemerintah mengedepankan bahwa penyusunan kebijakan harus berbasis data. Tapi sekarang data apa yang kita bicarakan saat mau revisi UU KPK?" Tukas Gita.

Karena berbagai masalah tersebut, PSHK mendesak Presiden Jokowi agar menunda revisi UU KPK melalui pencabutan Surat Presiden (Surpres).

Gita menegaskan bahwa presiden punya kewenangan itu berdasarkan asas contrarius actus, yakni pejabat boleh membatalkan keputusan yang ia buat.

"Kalau Surpres itu dicabut, atau presiden tidak memerintahkan menteri untuk membahas bersama DPR, paling tidak kita bisa melakukan pembahasan revisi (UU KPK) ini dengan lebih tertib," jelas Gita.


Editor: Rony Sitanggang

  • mandat KPK
  • Revisi UU KPK
  • PSHK

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!