BERITA

Indeks Campur Tangan Industri Rokok, Indonesia di Posisi Tiga Terbawah

Marry Assunta dari SEACTA ketika meluncurkan Indeks Campur Tangan Industri Rokok di Asia, Jumat (14/

KBR, Denpasar- Indonesia ada di posisi ketiga dari bawah dalam laporan Indeks Campur Tangan Industri Rokok di Asia. Ini artinya, di Indonesia industri rokok  banyak campur tangan dalam berbagai kebijakan publik serta kegiatan lainnya.

Indeks ini diluncurkan oleh Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEACTA), Jumat (14/9/2018) sebagai bagian dari konferensi ke-12 Asia Pasifik tentang Tembakau dan Kesehatan (APACT) di Denpasar, Bali.

Penasihat Kebijakan Senior SEACTA Marry Assunta mengatakan, ini adalah Indeks pertama yang diluncurkan di Asia. Indeks ini mengukur bagaimana pemerintah dari 14 negara di Asia menerapkan panduan dari FCTC; konvensi internasional dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk pengendalian tembakau.

Artikel 5.3 FCTC menekankan soal perlindungan negara terhadap kebijakan pengendalian tembakau dari campur tangan industri rokok.

“Kami meranking negara-negara dari apa yang dilakukan pemerintah mereka dalam menerapkan Artikel 5.3. Brunei, Thailand dan Filipina berada di posisi atas. Semakin rendah nilai, semakin baik apa yang sudah dilakukan pemerintah,” jelas Marry.

“Di ujung lain ada Jepang, Bangladesh dan Indonesia. Artinya, pemerintah mereka belum melakukan kegiatan yang cukup baik tanpa campur tangan industri rokok.”

Menurut Marry, perusahaan rokok banyak menjangkau pejabat pemerintahan, terutama di luar bidang kesehatan, lewat kegiatan  tanggung jawab sosial perusahaan. Problem lain adalah soal transparansi.

“Negara yang sudah melakukan ini dengan baik adalah Filipina,” kata Marry.

Filipina dipuji karena memiliki Kode Perilaku bagi pejabat pemerintah dalam berinteraksi dengan perusahaan rokok. Dan interaksi yang bisa dibangun antara pejabat pemerintah dengan industri rokok sebatas supervisi, regulasi dan pengawasan; bukan aktivitas CSR.

Selain itu Thailand juga dapat penilaian yang baik karena menjadi negara pertama yang mewajibkan industri rokok melaporkan kegiatan mereka. “Dari total produksi, keuntungan yang diperoleh serta seberapa banyak uang yang dialokasikan untuk marketing, termasuk pendanaan,” jelas Marry.

Meski belum meratifikasi FCTC, Indonesia dianggap sudah melakukan upaya untuk mengurangi campur tangan industri rokok. Misalnya dengan mengadopsi Panduan Manajemen Konflik Kepentingan dengan Industri Rokok. Indonesia didorong untuk segera meratifikasi FCTC untuk meningkatkan perlindungan terhadap kebijakan pengendalian tembakau.

Jepang ada di posisi buncit karena masih memiliki sejumlah problem. Pemerintah menguasai 31% saham industri rokok, sehingga sulit menghindari campur tangan tersebut. Industri rokok Jepang juga melakukan aktivitas CSR, tidak menerapkan peringatan bergambar di bungkus rokok serta memiliki banyak tantangan untuk menerapkan Kawasan Tanpa Rokok di area publik.

Brunei ada di posisi tertinggi, yang artinya tidak banyak campur tangan industri rokok di sana. Brunei diuntungkan karena tidak memiliki industri tembakau serta tidak punya pertanian tembakau. “Tapi aturan di sana sangat ketat. Pemerintah Brunei menerapkan izin untuk menjual rokok dan rokok juga tidak boleh dijual di sekitar sekolah,” jelas Marry.


Editor: Rony Sitanggang

 

  • pengendalian tembakau
  • rokok
  • industri rokok

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!