BERITA

SAFENet: Internet Shutdown di Papua Justru Bisa Meningkatkan Kekerasan

""Harusnya pemerintah menyadari bahwa internet shutdown ini sama sekali tak menyelesaikan masalah,""

SAFENet: Internet Shutdown di Papua Justru Bisa Meningkatkan Kekerasan
Aksi massa di Jayapura, Kamis (29/8/2019). (Foto: Agus Pabika/JUBI)

KBR, Jakarta - Sudah sepuluh hari terakhir masyarakat Papua dibatasi akses informasinya. Mulai dari memperlambat koneksi hingga pemblokiran jaringan internet secara total serta pemutusan akses pada jaringan telepon dan sms. 

Yang terbaru, PLN memutus jaringan listrik di Jayapura. Papua secara total dibungkam. 

Direktur Eksekutif Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFENet), Damar Juniarto menilai langkah Pemerintah memutus semua akses informasi justru membuat situasi semakin tak kondusif. 

"Harusnya pemerintah menyadari bahwa internet shutdown ini sama sekali tak menyelesaikan masalah," kata Damar Juniarto kepada KBR,  Kamis (29/8/2019). 

Kondisi ini juga yang  membuat masyarakat Papua marah. Sejumlah aksi protes hingga demonstrasi berujung ricuh terjadi dalam sepuluh hari terakhir. Korban nyawapun tak bisa dihindari. 

SAFENet kembali meminta pemerintah untuk mencabut pembatasan akses informasi di Papua. 

Berikut wawancara lengkap KBR dengan Direktur Eksekutif Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara atau SAFEnet, Damar Juniarto 

Sudah sepuluh hari akses informasi di Papua dibatasi. Bagaimana kondisi terakhir dari pantauan tim SAFENet?

Kabar terbaru hari ini (Kamis, 29/8/2019) masyarakat  di Jayapura tidak bisa dihubungi lewat telepon atau sms. Jadi yang hari ini dirasakan adalah blackout. Meskipun harus dicari tahu apa penyebabnya. 

Ini sudah hari kesepuluh. Diawali dengan pelambatan akses, kemudian internet shutdown dan hari ini sms dan telepon juga tidak bisa. Artinya kita membiarkan mereka terisolasi. 

Dampak bagi masyarakat Papua di sana seperti apa? 

Kita terlalu fokus pada persoalan keamanan tapi tidak memperhatikan persoalan yang muncul saat internet dimatikan. Ada persoalan ekonomi misalnya UMKM online tidak bisa bekerja, sektor pariwisata yang berbasis pada digital juga terdampak, ada juga persoalan bisnis yang kaitannya dengan lalu lintas dokumen yang harus dikirim lewat email. 

Ada juga sektor sosial seperti Pendidikan. Mahasiswa banyak yang mendaftar di Universitas Terbuka (UT). Saat ini adalah masa registrasi. Akibat dari pemblokiran internet adalah mereka tidak bisa mengirim ke database UT. 

Ada juga pelayanan publik yang terkendala. Hari ini pelayanan Pemda yang memanfaatkan jaringan internet juga sudah sepuluh hari berhenti. ATM juga tak bisa digunakan. 

Selain itu layanan BPJS juga tidak bisa diakses. Warga yang berobat harus bayar tunai. 

Sebenarnya bagaimana mekanisme pembatasan boleh dilakukan sebuah negara? 

Semua ada tata caranya. Kita sudah ada kebijakan yang mengatur tentang hak atas informasi. Ini tak sesuai dengan pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.

Jadi, harus ada kesepakatan dulu apakah ini merupakan konflik?

Kalau iya ini adalah konflik, penanganan harus sesuai dengan UU Penanganan Konflik Sosial yang ditandai dengan adanya pernyataan situasi kedaruratan oleh Presiden. 

Kita tahu, sampai hari ini belum ada pernyataan apakah ini darurat sipil atau darurat militer. 

Kalau itu sudah dipenuhi, langkah selanjutnya adalah penunjukan siapa yang bertanggung jawab dan memulihkan situasi keamanan oleh presiden. Dalam hal ini juga harus disampaikan rentang waktunya berapa lama. Sekarang kita tidak melihat itu ada. 

Jadi siapa sebenarnya yang berwenang melakukan pembatasan akses?

Itu dia pertanyaan besarnya. Dengan kewenangan apa Kominfo dan Polhukam melakukan ini semua?

Kewenangan ini penting agar kita mengetahui dengan jelas apakah langkah pembatasan akses informasi dengan memblokir akses internet ini cukup dilakukan dengan alasan yang disampaikan pemerintah?

Alasan sejak hari pertama adalah untuk mengatasi penyebaran hoax. Padahal penanganan hoaks sudah ada mekanismenya yaitu melalui cyber crime menggunakan UU ITE. 

Hoaks itu kan konten, kalau pemerintah mau menangani hoaks ini harusnya merujuk pada UU ITE Pasal 40 ditulis hanya pada muatan yang melanggar hukum. Jadi tidak bisa dilakukan pada aksesnya. 

Apa warning SAFENet untuk pemerintah?

Tindakan internet shutdown itu sudah dikecam karena melanggar UN Declaration tahun 2016 yang mengatakan pembatasan informasi dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. 

Saat ini pemerintah berpikir dengan memblokade internet situasi akan normal. Namun berdasarkan studi yang dilakukan di India dan dirilis Februari 2019 disebutkan, dengan memblokir internet, kekerasan justru meningkat. Konflik makin parah. 

Alasannya, pelaku kekerasan akan merasa bebas bergerak tanpa pengawasan. Sementara masyarakat yang seharusnya bisa menghindar dari konflik justru tidak bisa karena kurang informasi. Ini masalah serius jika pemerintah berpikir ini adalah solusi terbaik. 

Editor:  Agus Luqman 

  • Refrendum
  • Papua
  • Bintang Kejora
  • pemblokiran internet
  • Safenet

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!