BERITA

Polisi Tangkap Buruh yang Hendak Aksi Damai, Jurnalis Turut Jadi Korban

Polisi Tangkap Buruh yang Hendak Aksi Damai, Jurnalis Turut Jadi Korban

KBR, Jakarta- Polisi menangkap sejumlah buruh yang hendak berunjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Penangkapan dilakukan ketika demo belum dimulai.

"Kami kan di-sweeping sama polisi pagi-pagi. Sampai dibuka dompetnya, dilihat KTP-nya, KTA-nya. Kami kan yang datang baru beberapa, lima orang, ada yang empat orang. Kalau yang di tempat TVRI ada satu bus yang turun di situ, lalu digiring sama polisi," kata juru bicara Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) Ilhamsyah kepada KBR, Jumat (16/8/2019).

Ilhamsyah menekankan aksi yang ia gelar ini merupakan aksi damai. Ia pun mempertanyakan kenapa aparat bertindak represif, menghalang-halangi aksi, bahkan sampai melakukan penangkapan.

Hingga Jumat siang (16/8/2019), ratusan buruh masih menggelar aksi menolak revisi UU Ketenagakerjaan. Revisi itu dinilai akan mengancam kesejahteraan buruh, baik lewat pengurangan nilai pesangon, perlambatan kenaikan upah, serta perluasan sistem outsourcing. 


Baca Juga: Tolak Pengurangan Pesangon, Serikat Pekerja Minta Bantuan Jokowi 


Polri: Tidak Ada Penangkapan

Di tempat lain, juru bicara Polri Dedi Prasetyo membantah kabar tersebut. Ia mengaku tidak mendapat laporan soal penangkapan buruh.

"Ini baju polisi bukan (yang menangkap)? Kan yang di foto-foto ini, di video kan baju pakaian preman, sedangkan 7.500 personil Polri sudah jelas ya, dia menggunakan uniform, tugasnya dia adalah mengamankan jalannya sidang di MPR, DPR supaya berjalan aman dan tertib," kata Dedi Prasetyo di kantor Humas Polri, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Dedi menyatakan akan meneliti lebih lanjut soal kabar penangkapan ini. Ia juga mengancam penyebar pemberitaan hoaks terkait aksi demo di sekitar DPR dan MPR.

AJI Jakarta Kecam Kekerasan dan Intimidasi Polisi terhadap Jurnalis

Sejumlah jurnalis mengalami kekerasan dan intimidasi oleh aparat kepolisian saat meliput massa pengunjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (16/8/2019). 

Berdasar rilis yang diterima KBR, sedikitnya enam jurnalis mengalami kekerasan.

Peristiwa itu terjadi saat para pengunjuk rasa yang ditangkap di Gedung TVRI sedang digiring ke mobil tahanan polisi. 

Sejumlah reporter dan fotografer kemudian mengambil gambar foto dan video. 

Salah satu jurnalis SCTV, Haris dipukul di bagian tangan saat merekam video melalui ponselnya. Sebelumnya dia dilarang dan dimarahi ketika merekam menggunakan kamera televisi.

"Kamu jangan macam-macam, saya bawa kamu sekalian," katanya menirukan ucapan polisi.

Haris menyatakan dirinya wartawan, namun polisi tak menghiraukan. Pelaku pemukulan mengenakan baju putih dan celana krem, diduga dari satuan Resmob.

Beberapa polisi yang berjaga diketahui berasal dari Polres Jakpus. 

Korban lainnya, jurnalis foto Bisnis Indonesia, Nurul Hidayat. Dia dipaksa menghapus foto hasil jepretannya. 

Menurutnya, pelaku mengenakan pakaian bebas serba hitam, berambut agak panjang, dan ada tindikan di kuping.

Fotografer Jawa Pos Miftahulhayat juga terpaksa menghapus foto di bawah intimidasi polisi. 

Dia diancam akan dibawa polisi bersama para demonstran yang diangkut ke mobil.

Begitu pula jurnalis Vivanews, Syaifullah yang mengalami intimidasi serupa. Polisi meminta rekaman video miliknya dihapus. Dia juga diancam akan diangkut polisi jika tak menghapus video.

Reporter Inews, Armalina dan dua kameramen juga mengalami intimidasi oleh oknum aparat berbaju putih. Salah seorang petugas bahkan berteriak, "Jangan mentang-mentang kalian wartawan ya!". 

Salah seorang wartawan media online ditarik bajunya dan dipaksa menghapus foto. Melihat kejadian itu, kru Inews tidak berani melawan kesewenangan aparat dan terpaksa menghapus videonya.


Aparat Mencederai Kebebasan Pers

Kasus kekerasan terhadap jurnalis bukan kali ini saja terjadi. Tindakan melanggar hukum yang dilakukan aparat penegak hukum bukan hanya mencederai kebebasan pers, tapi juga mempermalukan institusi Polri di hadapan publik.

AJI Jakarta mendesak aparat kepolisian menghentikan intimidasi dan kekerasan tersebut karena jelas-jelas melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Pasal 8 UU Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Merujuk pada KUHP dan Pasal 18 UU Pers, pelaku kekerasan terancam hukuman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Kasus kekerasan jurnalis oleh aparat kepolisian juga bertentangan dengan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017. 

Pasal 4 ayat 1 menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Kami mendesak aparat kepolisian menghentikan kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis serta mengusut tuntas kasus ini," kata Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani. 

Selain itu, AJI Jakarta juga meminta para pemimpin redaksi secara aktif melaporkan kasus kekerasan yang dialami jurnalisnya ke pihak kepolisian.

"Kami meminta para pemimpin masing-masing media untuk melaporkan kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis tersebut ke Propam Mabes Polri terkait pelanggaran etik dan ke Polda Metro Jaya untuk proses hukum," ujar Asnil.

Atas intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis, AJI Jakarta menyatakan:

1. Mengecam keras tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang meliput pengunjuk rasa di kawasan Gedung DPR/MPR.

2. Mendesak aparat kepolisian menangkap pelaku hingga diadili agar mendapat hukuman seberat-beratnya, sehingga kasus serupa tidak terulang kembali.

3. Meminta para pemimpin media massa untuk ikut melaporkan kasus kekerasan yang dialami jurnalisnya ke pihak kepolisian.

4. Mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan jurnalis sebelumnya, karena hingga kini belum ada kasus yang tuntas diadili di pengadilan. 

Editor: Sindu Dharmawan

  • buruh
  • serikat pekerja
  • pekerja
  • GEBRAK
  • UU Ketenagakerjaan
  • AJI
  • Jurnalis
  • Polri

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!