BERITA

3 Tahun Terakhir, LBH Terima 5 Ribu Laporan Masyarakat

3 Tahun Terakhir, LBH Terima 5 Ribu Laporan Masyarakat

KBR, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima sekitar lima ribuan laporan masyarakat sejak 2017 hingga 2019, terkait persoalan perlindungan data pribadi.

Pengacara publik LBH Jakarta Jenny Sirait mengatakan, seluruh laporan kasus perlindungan data pribadi yang ditangani LBH Jakarta sangat beragam, mulai dari pinjaman uang daring atau online, bahkan jual-beli pekerja seksual.


LBH Jakarta menyebut penyalahgunaan data pribadi sangat mengkhawatirkan dan meresahkan masyarakat.


"Kalau kita lihat berapa banyak kasus yang ditangani mungkin bisa sampai di angka 5 ribuan kasus, terkait dengan perlindungan data pribadi. Tapi kalau kita mau bilang siapa pelakunya maka kita bisa bilang bahwa pelakunya negara. Kenapa pelakunya negara? (karena) tidak ada aturan terkait hal itu, negara yang kemudian tahu ini ada masalah, tetapi tidak kemudian segera mengatur dengan baik, tidak segera mengesahkan aturannya. Maka negara sendiri melanggengkan penyebaran data pribadi itu," ucap Jenny dalam konferensi pers RUU Perlindungan Data Pribadi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2019).


Jenny Sirait menambahkan, laporan masyarakat yang kini ditangani LBH Jakarta dalam kasus pelecehan seksual, berawal dari penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan oknum tak bertanggungjawab.

Jenny juga tidak menampik ada oknum yang memanfaatkan data pribadi, yang tersebar di media sosial untuk dimasukkan dalam sebuah grup percakapan online. Grup tersebut dijadikan sebagai wadah untuk jual-beli pekerja seksual.


"Dalam grup itu, klien kami dipasang tarifnya sekian. Masalah yang kita tangani ini berasal dari penyalahgunaan data pribadi. Data pribadinya diakses begitu mudah," ujar Jenny.


Selain itu, lanjut Jenny, laporan perlindungan data pribadi yang masuk ke LBH Jakarta, mayoritas terkait pinjaman uang secara online.


Kasus pinjaman uang secara online itu marak terjadi, kata Jenny, lantaran perusahaan yang bersangkutan menyalahgunakan data pribadi konsumen. Apalagi, data pribadi merupakan salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi konsumen apabila akan meminjam uang.

"Kasus pinjaman uang online ini banyak yang tidak menjamin data pribadi konsumenya aman. Enggak ada yang menjamin apakah perusahaan terkait tidak menyebarkan data pribadi konsumen atau tidak," katanya.


Desak Pemerintah Tuntaskan RUU Perlindungan Data Pribadi


Sementara itu, kumpulan dari beberapa Organisasi Masyarakat sipil yang tergabung Koalisi Advokasi Perlindungan Data Pribadi, mendesak pemerintah segera menuntaskan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) di tingkat Kementerian/Lembaga.


Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi harus bisa mendorong pencegahan terjadinya praktik penjualan dan penyalahgunaan data pribadi yang dapat merugikan masyarakat.


Menurutnya, RUU ini harus bisa mensinkronisasi Undang-Undang yang telah ada, serta memayungi aturan hukumnya secara komprehensif.


"Hari ini ada serangkaian aturan misalnya aturan tentang data pribadi itu kan muncul, juga ada di dalam Undang-Undang administrasi kependudukan yang terkait dengan data kependudukan. Ada di Undang-Undang perbankan, Otoritas Jasa Keuangan, yang terkait dengan data-data keuangan dan ada di dalam Undang-Undang kesehatan, dan lain-lain. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum, kemudian kita memerlukan Undang-Undang baru yang lebih komprehensif yakni UU Perlindungan Data Pribadi, bukan merevisi satu persatu," ucap Wahyudi Djafar di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2019).


Wahyudi Djafar menjelaskan, saat ini peraturan perundang-undangan yang ada tidak cukup untuk melindungi data pribadi warga negara.


Ia menyebut, aturan yang berlaku saat ini belum secara jelas memberikan definisi tentang perlindungan data pribadi.


"Undang-Undang (saat ini) belum memberikan penjelasan apa tentang jenis-jenis data pribadi termasuk juga alasan di dalam pemrosesan suatu data pribadi. Undang-Undang hari ini juga belum secara tegas mengatur kewajiban dari pengendalian pihak yang melakukan pengumpulan penyimpanan dan penggunaan dari data-data termasuk juga prosesor datanya, untuk melakukan tindakan pengolahan atas data-data pribadi yang diunggulkan," ujar Wahyudi.


Wahyudi Djafar mengakui, data pribadi warga negara saat ini masih rentan untuk disalahgunakan, lantaran belum adanya kejelasan hak dari pemilik data.


Selain itu, kompensasi akibat kerugian mekanisme perlindungan data pribadi warga negara, juga tidak diatur dalam payung hukum yang jelas.


"Lebih parahnya memang hari ini belum ada kejelasan tentang apa saja jenis hak dari pemilik data atau dikenal sebagai yang harus di dalam suatu Undang-Undang mulai dari hak atas informasi, hak akses, atau hak untuk menolak, hak untuk mengubah menghapus datanya, hak  yang terkait dengan pemprofilan dan pengambilan keputusan otomatis, hak yang terkait dengan pemulihan yang efektif jika terjadi kegagalan dalam kehidupan pribadi termasuk, juga hak untuk mendapatkan kompensasi kerugian akibat terjadinya kegagalan dalam semua itu mekanismenya," tutur Wahyudi.


Belum disediakan oleh berbagai macam aturan yang ada yang terkait dengan data pribadi hari ini, semakin menambah kerentanan perlindungan data prbadi itu sendiri, tambahnya.


Percepatan dirampungkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) ini, kata Wahyudi, mesti segera dilakukan pemerintah, namun dengan kesepakatan Kementerian Lembaga yang terkait di dalamnya.


Ia berharap, RUU PDP bisa segera dikirim ke DPR, untuk selanjutnya dibahas di sisa masa periode ini ataupun bila akhirnya dibawa ke periode selanjutnya.


"Sebenarnya (RUU PDP) tinggal menunggu proses pengiriman ke DPR, tetapi kan memang kita terkendala hari ini DPR akan segera berakhir 30 September 2019. Tapi paling penting menurut saya adalah pemerintah bersepakat dulu tentang materi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi ini dan segera menyerahkan kepada DPR," jelasnya.


Editor: Kurniati Syahdan

  • data pribadi
  • Perlindungan Data Pribadi
  • perlindungan privasi
  • LBH Jakarta
  • Fintech
  • Pinjaman Online
  • RUU Perlindungan Data Pribadi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!