BERITA

Sita Buku di Probolinggo, Aparat Menuai Kecaman

""Harus ada penetapan pengadilan. Ini kan sebenarnya sebagai upaya kontrol""

Sita Buku  di Probolinggo, Aparat Menuai Kecaman
Kegiatan baca gratis komunitas Vespa Literasi. (Foto: Medsos)

KBR, Banyuwangi- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya,   mengecam penyitaan buku yang dilakukan oleh aparat Kepolisian dan TNI di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Buku yang disita dari salah satu komunitas literasi itu disangka  berisi  ajaran komunis.

Kepala Divisi Riset, Pengembangan dan Kerjasama LBH Surabaya Sahura mengatakan, penyitaan buku yang dilakukan aparat keamanan itu, merupakan tindakan yang sewenang- wenang dan melanggar hukum. Karena penyitaan buku yang diduga melanggar  peraturan perundang-undangan  harus dilakukan melalui proses peradilan.


Selain itu, kata dia, pelibatan TNI dalam penyitaan buku tersebut juga termasuk suatu tindakan yang melampaui wewenang. Sebab berdasarkan  undang-undang tentang TNI, militer bukanlah bagian dari penegak hukum.


“Ini harus ada penetapan pengadilan sebenarnya. Karena MK pada tahun 2010  menegaskan  bahwa melarang buku itu tidak boleh sepihak jadi ditetapkan dulu di pengadilan. Ini kan sebenarnya sebagai upaya kontrol bahwa apakah buku ini dilarang atau tidak. sebenarnya buku-buku ini janggal juga kalau disita karena di beberapa  termasuk juga di perpustakaan nasional itu ada juga buku-buku semacam itu,” kata Sahura kepada KBR, Selasa (30/7/2019).


Kepala Divisi Riset, Pengembangan dan Kerjasama LBH Surabaya Sahura menambahkan,  penyitaan buku tersebut juga membatasi kebebasan berpendapat. Padahal hal itu sudah dijamin dalam undang-undang. Untuk itu, LBH Surabaya meminta kepada  Kepolisian Sektor Keraksan, Probolinggo untuk segera mengembalikan  buku- buku yang disita tersebut.


Pada  Sabtu (27/07), aparat kepolisian bersama aparat TNI  menyita buku yang diduga memuat ajaran komunis di lapak baca gratis di Alun-alun Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Kegiatan literasi baca buku gratis  komunitas  Vespa Literasi digelar setiap akhir pekan.  Buku yang disita tersebut saat ini berada di  Polsek Keraksan, sedangkan kedua pegiat literasi yang sempat diperiksa telah dibebaskan.


Razia Buku

Pada awal tahun ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mendukung  razia buku komunis besar-besaran. Ryamizard menilai, razia buku tersebut untuk mencegah adanya usaha balas dendam dari anggota-anggota PKI saat peristiwa 1965.

Ia juga mengklaim mengetahui banyak pertemuan yang merencanakan pembangkitan kembali paham komunisme di Indonesia.

"Kalau mereka tidak berbuat apa-apa, tidak ada masalah. Ini rapat ke sana, rapat ke sini. Bukan kita nggak tau rapat apa. Itu mau apa? (Komunis masih ada kekuatannya?) Ini masalah dendam. PKI itu dendam. Ini kita kecilkan lagi, kalau gede susah nanti. Belum lagi paham radikal. Sama itu. Saya mengerti, bahaya negara ini," kata Ryamizard di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (24/01/2019).


Ryamizard menilai, buku menjadi salah satu media penyebaran paham komunisme yang berbahaya, sehingga perlu dirazia. Kata dia, pemerintah akan berusaha agar paham komunisme tersebut tak membesar. Alasan Ryamizard, PKI sudah tiga kali memberontak, yakni pada 1926, 1948, dan 1965. Selain itu, ia menilai, munculnya kembali komunisme tersebut sama bahayanya dengan gerakan-gerakan radikal di Indonesia.


Sebelumnya Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengusulkan razia buku yang diduga mengandung paham komunisme dilakukan secara besar-besaran.


"Saya usulkan Kalau mungkin ya lakukan razia besar besaran saja, karena toko di berbagai tempat menyatakan, ini bukan hanya di tempat saya di tempat lain ada. Ini yang perlu dicermati lagi," kata Prasetyo saat ditemui di gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/01/2019).


Putusan MK

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mempersoalkan   legitimasi TNI terkait razia buku yang disebut mengandung konten komunisme. Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengatakan, tindakan tersebut melampaui batas kewenangan dan melawan putusan Mahkamah Konstitusi.


"Tidak ada satu pun legitimasi yang dimiliki tentara melakukan sweeping buku. Kalau memang harus ada tindakan seperti itu, diuji dong di pengadilan, masa dulu masih diuji di pengadilan sekarang tidak, toko-toko buku di-sweeping gitu. Ini negara sedang membangun proses demokrasi tapi ada kerikil-kerikil tajam begitu yang melampaui batas kewenagan dan melawan putusan Mahkamah Konstitusi," kata Anam, Rabu (16/1/2019).


Anam mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 mencabut kewenangan pelarangan buku. Melalui keputusan nomor 6-13-20-PUU-VIII-2010 tersebut pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya bisa dilakukan melalui proses hukum, dan diputuskan oleh pengadilan.


Editor: Rony Sitanggang 

  • sweeping buku
  • hantu komunisme
  • razia buku

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!