HEADLINE

Lapindo Minta Kelonggaran Bayar Utang, Harus Persetujuan DPR?

Lapindo Minta Kelonggaran Bayar Utang,  Harus Persetujuan DPR?

KBR, Jakarta- Warga terdampak luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Abdul Rohim, mengungkapkan durasi pencairan uang ganti rugi Lapindo memerlukan waktu paling cepat lima tahun. Abdul mengatakan, ia    bisa mendapat ganti rugi secara penuh pada 2012, sedangkan ada warga terdampak lain yang hingga kini belum mendapatkan ganti rugi sama sekali.

Kata Abdul, warga desanya yang bernama Mudiharto bahkan belum mendapat ganti rugi, hingga meninggal pada 2013, karena tak ketemu kesepakatan soal nilai ganti ruginya.

"Itu umumnya sudah memperoleh untuk tiga desa yang kami perjuangkan. Cuma waktu itu ada yang ketinggalan, karena memang persoalan nilai ganti ruginya belum cocok, sehingga belum dapat ganti rugi. Itu sampai meninggal belum mendapat ganti rugi. Persoalan beda penafsiran, karena BPLS menganggap itu tanah sawah, karena secara fisik dipakai untuk sawah, tapi di sertifikat, secara legalitasnya, itu tanah darat," kata Abdul kepada KBR, Selasa (29/05/2018).

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/05-2018/lumpur_lapindo__pemerintah_sebut_minarak_mulai_bayar_dana_talangan/96200.html">Pemerintah Sebut Minarak Mulai Bayar Dana Talangan Lumpur Lapindo</a>&nbsp;<br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/05-2018/korban_lumpur_lapindo_tuding__minarak_ingkar__bayar_ganti_rugi/96204.html">Korban Lumpur Lapindo Tuding Minarak Ingkar Bayar Ganti Rugi</a> <span id="pastemarkerend">&nbsp;</span><br>
    


Abdul dan Mudiharto adalah warga Desa Besuki, yang pengurusan berkas ganti rugi tanahnya berbarengan dengan warga Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, pada 2007. Proses ganti rugi tersebut bukan diurus langsung oleh Lapindo, melainkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk pemerintah. Proses pencairannya pun diangsur beberapa kali, dengan uang muka dibayarkan pada 2008, disusul angsuran sekitar 10-20 persen, hingga akhirnya selesai pada 2012.


Saat itu, lahan persawahan dihargai Rp120 ribu per meter persegi, sedangkan tanah darat yang padat dihargai Rp1 juta per meter persegi. Abdul berkata, negosiasi soal nilai tanah yang alot biasanya karena perbedaan pendapat antara BPLS dan warga. Pada kasus Mudiharto, BPLS ngotot tanah itu berupa tanah sawah. Sedangkan pada faktanya, kata Abdul, sebagian tanah itu berupa rumah tinggal dan sisanya memang sawah. Sertifikat milik Mudiharto pun tertulis lahan itu berupa tanah padat.


Penjadwalan Ulang Dana Talangan


Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Ardan Adiperdana enggan berkomentar soal permintaan PT Minarak Lapindo Jaya agar pemerintah memperpanjang tenor membayar utang dana talangan, yang seharusnya jatuh pada Juni 2019. Padahal, BPKP menjadi lembaga yang memimpin tim untuk memverifikasi jumlah aset yang dimiliki PT Minarak Lapindo Jaya, yang kemudian menjadi jaminan kepada pemerintah.

Ardan  menyarankan agar menanyakan hitungan kemampuan bayar Lapindo tersebut pada Kementerian Keuangan, yang memanfaatkan hasil kajian BPKP.

"Sebaiknya ke Kementerian Keuangan saja, sebagai pihak pengguna laporan BPKP," kata Ardan melalui pesan singkat.


Pada medio 2015 lalu, pemerintah membentuk Tim verifikasi aset Minarak Lapindo Jaya, yang terdiri dari BPKP Perwakilan Jawa Timur, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, Kementerian PUPR, Kementerian Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional. Tim itu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden nomor 11 tahun 2015 tentang Tim Percepatan Penyelesaian Pembayaran Jual Beli Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo di Dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007. Tim tersebut ditugaskan memverifikasi nilai aset yang dimiliki Lapindo, untuk dijadikan jaminan atas utang dana talangan yang bakal diberikan pemerintah.


Sementara itu Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Anita Firmanti menyebut keputusan memperpanjang tenor waktu membayar utang dana talangan PT Minarak Lapindo Jaya pada negara, perlu mendapat restu dari DPR. Anita memperkirakan, proses itu akan mirip, ketika pemerintah mengajukan anggaran untuk menalangi ganti rugi warga yang terdampak lumpur Lapindo, 2015 lalu.

Meski begitu, Anita   belum mengetahui secara rinci permintaan reschedule pembayaran utang Lapindo, yang seharusnya jatuh pada Juni 2019.

"Surat kalau ke Pak Menteri dan Pak Dirjen saya tidak tahu, tapi kalau lewat sekjen belum tahu. Itu Bu Menteri Keuangan untuk anggarannya, kebijakannya di Menteri PU. Itu bukan persoalan Kementeri PUPR. Biasanya kan dari Minaraknya ke pemerintah, nanti persetujuannya ke DPR," kata Anita kepada KBR, Selasa (29/05/2018).


Anita mengatakan, belum ada pembicaraan soal permintaan Lapindo tersebut dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Adapun Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS), yang merupakan pengganti Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sejak 2017, kini berada di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.


Setelah membahas secara internal, Anita berkata, keputusan soal skema pembayaran utang itu juga memerlukan penghitungan khusus dari Kementerian Keuangan. Ia berkata, pemerintah juga harus melapor pada DPR, jika memang memutuskan memperpanjang tenor pembayaran utang Lapindo.


Sebelumnya  Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam mengatakan  meminta perpanjangan waktu pelunasan  utang kepada pemerintah. Hal itu disebabkan keterbatasan anggaran dalam perusahaannya. Namun terkait pembukaan usaha baru di Jombang, kata Andi, itu persoalan holding yang menaungi, bukan PT Minarak Lapindo.


"Kita ini kan punya kewajiban sosial kasus di lumpur sidoarjo pada waktu itu, tim teknis kami sedang menghitung, kita sampaikan ke pemerintah bahwa kondisi kita ini pada tahun 2019 masih belum bisa kita inilah, saya minta waktu bisa ditunda," kata Andre Darussalam kepada KBR, Selasa (29/5/18).


Jangka waktu penundaan hutang, kata Andi sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Dia tidak ingin berandai-andai terkait kesempatan yang akan diberikan pemerintah, karena dia mengaku tetap komitmen melunasi hutang itu. Kendati dalam perjanjian disebutkan, apabila tak memenuhi tenggat pelunasan maksimal 2009, maka aset bangunan sebesar 2,797 triliun akan jadi punya negara.


"Lah masak kita tidak komit. Pemerintah kalau membantu kan kita saling membutuhkan. Pemerintah butuh penalangan pembayaran pada waktu itu, kita mau mendapatkan pinjaman untuk menyelesaikan, dan itu itikad. Kita kan bisa menolak pada waktu itu bilang tidak mau kan," ujarnya.


Terkait adanya beberapa warga korban lumpur yang belum terima ganti rugi, kata Andi, dana mereka masih ada. Persoalannya hanya karena tidak mencapai kesesuaian antara warga. Mereka saling debat membahas perbedaan antara tanah darat dan tanah sawah.   

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/berita/10-2016/dana_talangan_korban_lumpur_lapindo_disepakati_rp_54_miliar/86020.html">Pemerintah Kucurkan Lagi Rp54 M Dana Talangan Lapindo</a>&nbsp;<br>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/01-2016/alasan_lapindo_kembali_mengebor_gas_sidoarjo__untuk_bayar_utang_/78128.html">Alasan Lapindo Kembali Mengebor Gas Sidoarjo: Untuk Bayar Utang</a>&nbsp;</b><br>
    



Editor: Rony Sitanggang

  • lumpur lapindo
  • PT Minarak Lapindo
  • Lapindo
  • dana talangan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!