RUANG PUBLIK

Hari Cek Fakta Internasional: 3 Langkah Dasar Mengecek Omongan Politikus

Hari Cek Fakta Internasional: 3 Langkah Dasar Mengecek Omongan Politikus

Setiap tanggal 2 April, jaringan jurnalis, akademisi, konsultan dan pemerhati media merayakan Hari Cek Fakta Internasional.

“Hari besar” ini pertama kali diperkenalkan tahun 2015 oleh International Fact-Checking Network (IFCN).

Setiap tahunnya, mereka merayakan Hari Cek Fakta Internasional dengan membagikan tips terkait pengecekan fakta.

Tips-tips itu diharapkan bisa membantu publik agar lebih waspada dalam mengonsumsi serta menyebarkan informasi di dunia digital.

Berikut sejumlah tips dasar dari IFCN untuk mengecek “kebenaran” omongan para politikus. Mari simak paparannya.


1. Bedakan Antara Fakta, Klaim, Opini dan Janji Politik

Tidak semua pernyataan politikus berisi fakta. Karena itu publik perlu aktif memilah pernyataan mana yang bisa dipercaya dan mana yang tidak.

Fakta bisa diartikan sebagai kenyataan. Sesuatu yang benar-benar ada, atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Pernyataan semacam ini tentu bermanfaat bagi perluasan wawasan publik.

Sedangkan opini berisi pendapat, pandangan atau penafsiran pribadi. Dan janji politik berisi angan-angan yang belum terwujud. Karena tidak berisi fakta, opini dan janji tidak sepatutnya dilahap mentah-mentah.

Beda lagi halnya dengan klaim. Pernyataan macam ini biasanya menjelaskan suatu hal dengan sangat meyakinkan, namun tidak disertai rincian bukti yang tegas dan gamblang. Klaim adalah jenis ujaran yang rawan menyesatkan.

Dalam Debat Capres ke-4 yang digelar Sabtu lalu (30/3/2019), misalnya. Jokowi mengklaim bahwa penerapan sistem online bisa mengurangi tingkat korupsi. Di momen yang sama, Prabowo juga mengklaim bahwa praktik jual beli jabatan terjadi di 90 persen kementerian.

Pernyataan para Capres itu bukanlah fakta, melainkan klaim yang perlu dicek lagi kebenarannya.


Baca Juga:

(CEKFAKTA) Jokowi Percaya Sistem Online Bisa Kurangi Korupsi?

(CEKFAKTA) Prabowo Sebut 90 Persen Kementerian Jual Beli Jabatan? 


2. Cari Buktinya

Berkat keahlian retorikanya, klaim-klaim politikus bisa terdengar sangat meyakinkan. Tapi selama tidak ada bukti yang tegas dan gamblang, klaim itu tidak berarti apa-apa.

IFCN bependapat, di era digital ini proses pencarian bukti atas klaim-klaim politikus tidak hanya menjadi tanggung jawab jurnalis, tapi bisa dilakukan oleh siapa saja.

Kebanyakan politikus sekarang sudah punya media sosial seperti Facebook, Twitter, ataupun website. Dengan begitu publik bisa langsung menagih bukti klaim-klaim politikus lewat berbagai saluran tersebut.

Seandainya politikus tidak mau menjawab pertanyaan di media sosial, publik bisa mencari pembuktian dari berbagai sumber online lain, seperti media massa atau jurnal-jurnal ilmiah yang terpercaya.

Contoh kasusnya, awal Januari 2019 lalu Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, berujar di media nasional bahwa ukuran tubuh komodo di Pulau Komodo telah mengecil.

Namun, ternyata ada jurnal ilmiah online terbitan tahun 2018 yang mengatakan tubuh komodo di sana sesungguhnya malah membesar, bukan mengecil.

Jurnal itu ditulis oleh tim Komodo Survival Program (KSP), gabungan peneliti biologi mancanegara yang telah bertahun-tahun melakukan riset soal komodo.

Dalam kasus ini, pernyataan Gubernur NTT layak diragukan kebenarannya.


Baca Juga: Ekosistem TN Komodo Masih Baik untuk Pariwisata, Ini Kata Peneliti


3. Apakah Saya Mungkin Salah?

Tak ada manusia yang kebal dari kesalahan. Baik itu politikus, peneliti, jurnalis, termasuk anggota masyarakat pelaku cek fakta.

Karena itu, setelah mendapat rincian bukti tentang suatu klaim, publik masih perlu mencari konfirmasi dari sumber-sumber terpercaya lain.

Jika ternyata ada banyak sumber terpercaya yang mengajukan bukti berbeda, pengecek fakta pun harus siap mengoreksi dirinya sendiri.

(Sumber: www.factcheckingday.com)

 

  • Cekfakta
  • Hari Cek Fakta Internasional
  • hoaks
  • hoax
  • #FactCheckIt
  • periksa fakta

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!