HEADLINE

Perppu Pencegahan Pernikahan Anak, Ini Alasan MUI Minta Dilibatkan

Perppu Pencegahan Pernikahan Anak, Ini Alasan MUI Minta Dilibatkan

KBR,Jakarta- Juru bicara Kementerian Agama, Mastuki H.S mengatakan   setuju dengan pembuatan Perppu terkait pernikahan anak. Ia mengatakan kementerian setuju dengan usulan para aktivis dan kementerian PPPA untuk menambah batas minimal usia pernikahan bagi perempuan, selama usulan tersebut sudah melalui pertimbangan dan melihat baik atau buruknya dampak bagi masyarakat.

"Tidak ada masalah mau ditambahkan usianya bagi perempuan atau dikurangi bahkan tidak ada masalah. Dari kementerian pemberdayaan perempuan dan anak, juga pernah menyatakan ke kami untuk mengusulkan penambahan usia itu perempuan dan juga laki-laki tapi yang konsen mungkin perempuan. Sepanjang pertimbangannya dari berbagai sisi, memang itu yang terbaik ya kami kementerian agama tidak masalah," ujar Mastuki, saat dihubungi KBR, Minggu (22/04/2018).


Mastuki mengatakan selama ini   hanya turut serta dalam kebijakan terkait minimal usia calon pengantin, maka dari itu hal lain yang menjadi pertimbangan di luar permasalahan usia, menurutnya patut didiskusikan dengan pihak lain termasuk masyarakat dan MUI. Terkait adanya indikasi penolakan dari MUI mengenai perppu tersebut, ia mengatakan menyerahkan seluruhnya pada keputusan legislatif dalam pembuatan undang-undang kelak.


"Ya dari MUI kan pasti ada yang dilihat, karena usia perkawinan tidak tunggal faktornya ada dari sisi agama yang ditandai dari menstruasi kalau perempuan sudah dewasa, berbeda dalam pengertian maternitas, dalam sisi kesehatan, psikologis dan sosiologis. Itu yang sempat jadi perdebatan UU 1 tahun 1974 itu mempertimbangkan semua hal tadi, untuk menetapkan usia 16 perempuan dan 19 bagi laki-laki, tapi mungkin saat ini ada perubahan sosiologi, perkembangan ilmu mungkin jadi berubah, ya didiskusikan saja bukan hanya dari MUI, tapi dari aktivis dan masyarakat, karenakan pernikahan dini dianggap ada ketidak siapan," ujarnya.


Sejumlah anggota  DPR menentang rencana pemerintah menerbitkan peratuan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) pencegahan pernikahan anak. Wakil Ketua Komisi VIII yang membidangi soal agama, perempuan, dan anak, Sodik Mujahid beralasan tidak ada kegentingan yang memaksa pemerintah harus mengeluarkan perppu.

Politikus Gerindra mendorong pemerintah merevisi UU Perkawinan Tahun 1974.

"Kita paham tentang Perppu, kontennya, meningkatkan batas usia pernikahan. Tapi sekali lagi pertanyaannya, apakah memang keadaannya sudah darurat? Jangan seperti Perppu Ormas, tidak darurat, tapi Perppu, kemudian diprotes," kata Sodik melalui sambungan telepon, Minggu(22/4).


Sodik memahami dengan kondisi saat ini, batasan usia pernikahan perlu dikaji ulang. Hanya saja dia mendorong upaya menaikkan batas usia pernikahan dilakukan melalui revisi undang-undang. Dia mengklaim seluruh fraksi akan setuju. Sehingga, revisi UU Perkawinan pun menurut dia tidak akan berlangsung lama.


Dengan revisi, kata dia, pembahasan bisa dilakukan menyeluruh dan melibatkan seluruh pihak. Dia menekankan pemerintah bisa mengedukasi masyarakat terkait dampak negatif pernikahan anak sembari merevisi undang-undang.


"Sudah ada edukasi tidak ke masyarakat? Jangan sampai juga undang-undangnya ada, tapi masyarakat belum siap. Nanti lebih banyak yang melanggar."

Tapi, Majelis Ulama Indonesia(MUI) tetap keberatan jika batas usia pernikahan dinaikkan. Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid berpendapat usia 16 dan 19 tahun yang berlaku saat ini masih ideal dan sudah sesuai dengan aturan dalam agama Islam.

Dia   membantah anggapan   pernikahan anak rentan menimbulkan perceraian dan kekerasan.

"Perceraian tidak hanya faktor usia pernikahan. Banyak masalah, banyak faktor. Orang yang menikah di usia dewasa juga banyak bercerai. Bisa jadi itu bukan satu-satunya alasan bahwa pernikahan dini berujung perceraian," kata Zainut saat dihubungi KBR, Minggu(22/4).


Zainut meminta pemerintah melibatkan MUI dan organisasi keagamaan lainnya dalam pembahasan Perppu pencegahan pernikahan anak. Menurutnya, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam hal pernikahan. Selain pertimbangan sosial, ekonomi, dan kesehatan, dia meminta penentuan batas usia pernikahan juga mempertimbangakan aspek keagamaan.


"Sah atau tidaknya perkawinan harus juga didasarkan pada nilai-nilai agama."


Menurut Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, Koalisi Perempuan Indonesia, Indry Oktaviani   pernikahan usia anak akan memberi dampak negatif. Pasalnya kata Indry, apabila seorang anak menikah pada usia SMP, maka sudah dipastikan ia tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal itu berkolerasi dengan pencapaian ekonomi yang tidak akan maksimal, seperti sulitnya mencari kerja yang berdampak pada masalah ekonomi dalam rumah tangga, yang menimbulkan masalah lain seperti perceraian atau KDRT, akibat belum siapnya mereka menghadapi persoalan seperti itu.


"Dalam perkawinan anak tingkat perceraiannya tinggi. Dalam konteks Indonesia,  anak balik ke orang tua kalau bercerai.  jadi anaknya yang udah pisah akan dateng bersama anaknya dan pulang ke rumah orang tuanya. Jadi tidak memutus mata rantai kemiskinan malah menjadi beban. Itu satu lagi soal kemiskinan, akibatnya banyak, dan hal lain lagi untuk Indonesia keseluruhan, kalau anak perempuan kita banyak yang tidak bersekolah tinggi maka angka kemiskinan juga tinggi," ujar Indri saat dihubungi KBR, minggu (22/04/2018).


Selain itu masalah kesehatan juga mengancam anak perempuan, seperti gangguan servik akibat alat reproduksi anak belum siap untuk melakukan hubungan sex, atau terjadinya gizi buruk pada ibu dan anak dalam masa hamil dan melahirkan, yang dapat mengakibatkan kematian. menurut Indry banyak hal yang harus dipertimbangkan jika orang tua mau menikahkan anak mereka dalam usia muda, dan tidak hanya memandang dari segi agama  saja.


"Banyak orang menganggap hal ini sepele, malah bagus kan menghindari zina, tapi tidak lihat jangka panjang kedepannya. sebenarnya yang berpikiran takut zina itu orang dewasanya kalo anaknya engga kok. Fakta yang kami temui yang meminta dispensasi itu orang tua, dengan alasan anaknya dianggap sudah mapan karena sudah bekerja, takut zina, anaknya belom ngapa-ngapain udah disuruh kawi. Sedangkan kehamilan di luar nikah itu nomor tiga terbawah masalah yang ditemui di lapangan." ujar Indry.


Banyaknya dampak negatif yang timbul dalam pernikahan anak ini membuat gabungan aktivis perempuan dan anak menyiapkan rancangan draf Perppu terkait hal itu, bahkan menurut Indry, rancangan perppu tersebut sudah disiapkan sejak 2015, dan pernah diserahkan ke KSP dan dibahas bersama Kementerian PPPA, sebelum akhirnya diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.


"Tim koalisi perempuan yang hadir di koalisi 18 itu nyampain ke pak Jokowi bahwa kita ingin bikin Perppu untuk perkawinan anak. Nah di tahun 2015 dalam pertemuan itu pak Jokowi sudah bilang ok, tapi masyarakat sipil siapkan drafnya. Kami jawab tantangan itu dan sudah siapkan drafnya dari 2015. Kita sudah sempat kasih ke KSP membahanya di KPPPA, tapi menyampaikannya langsung ke pak Jokowi baru kemarin. Kita ngasih draf Raperppu, dan rancangan peraturan pemerintah turunan dari perppunya itu," ujar Indry.


Indry juga mengatakan bahwa hanya ada 2 pasal yang disiapkan dalam perppu tersebut yakni menaikan usia pernikahan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, sedangkan untuk laki-laki tetap 19.


Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, meminta publik dan  tokoh agama mendukung rencana pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) pencegahan pernikahan anak. Perppu tersebut rencananya akan menggantikan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974.


Menurut Yohana, batas usia pernikahan harus dinaikkan karena bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Kajian kementeriannya, pernikahan usia anak juga banyak berujung pada kasus kekerasan, perceraian, meningkatkan angka putus sekolah, hingga menurunkan indeks pembangunan manusia.


"Saya berani berkata karena saya yang menerima kasus setiap hari di kementerian. Kasus-kasus pernikahan anak ini dari Aceh sampai Papua. Bukan hanya di Jawa, bukan hanya satu agama," ujar Yohana kepada KBR, Minggu(22/4).


UU Perkawinan yang disahkan 44 tahun lalu mengatur batas usia pernikahan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Sementara UU Perlindungan Anak yang dibuat tahun 2002 mengategorikan usia anak hingga 18 tahun.


Yohana mengatakan masalah pernikahan anak sangat mendesak untuk ditangani. Data Badan Pusat Statistik  2017 menunjukkan 25 dari 100 pernikahan di Indonesia dilakukan di bawah usia 18 tahun. Yohana menyebut rencana ini juga sudah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.


Pekan depan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan akan meminta masukan berbagai pihak untuk mematangkan rancangan perppu. Yohana memastikan  akan menampung suara penolakan atas rencana ini.

Pernikahan dini mencuat, setelah anak SMP di Bantaeng Sulawesi Selatan meminta pengadilan agama memberi dispensasi untuk menikah. Dispensasi diperlukan karena kantor urusan agama setempat menolak menikahkan mereka. Alih-alih menolak, pengadilan agama setempat memberikan izin pernikahan dengan alasan kuatir melakukan hubungan seksual karena kerap pergi bersama.

Editor: Rony Sitanggang

 

  • pernikahan anak
  • stop pernikahan anak

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!