BERITA

Guru Besar Unair: Rapid Test Bukan untuk Diagnosa

""Yang disebut dengan diagnostik konfirmasi adalah jika swab itu diuji dengan PCR positif, berarti orang itu ada virusnya, berarti observasi dalam 14 hari," "

Valda Kustarini

Guru Besar Unair:  Rapid Test Bukan untuk Diagnosa
Petugas mengumpulkan sampel darah anggota DPRD Kota Bogor dalam pemeriksaan virus corona di Bogor, Jawa Barat, Kamis (19/3/2020). (Foto: ANTARA/Arif Firmansyah)

KBR, Jakarta-   Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Unair) Chairul Anwar Nidom mengatakan alat rapid test  yang dibeli pemerintah bukan untuk mendiagnosa virus dalam tubuh orang. Sebab, alat ini hanya menguji antibodi di dalam serum darah.

kata dia, orang yang diperiksa hanya akan menunjukan tanda positif jika dia pernah terinfeksi atau sedang terinfeksi.

"Artinya bahwa rapid test bukan untuk menunjang diagnostik. Dengan rapid test, orang atau pemerintah harus observasi. Karena belum tentu ada virus. Yang disebut dengan diagnostik konfirmasi adalah jika swab itu diuji dengan PCR positif, berarti orang itu ada virusnya, berarti observasi dalam 14 hari," kata Chairul Anwar Nidom pada KBR, Selasa (24/3/2020).


Selanjutnya, Nidom menjelaskan bagaimana deteksi orang yang terjangkit virus corona melalui alat rapid tes serologi yang dibeli pemerintah. Saat sample darah dimasukan ke dalam alat uji, orang yang sudah dan sedang terjangkit virus corona akan memiliki 3 garis, yaitu Imunoglobulin G, Imunoglobulin M dan control. Jika  Imunoglobulin G dan M-nya positif berarti pernah  atau  sedang terjangkit virus.


"Kalau IGM artinya sedang terinfeksi. kalau untuk menguji virusnya ada atau tidak ada tetap menggunakan PCR," ujarnya.


Terkait alat yang tidak tepat sasaran, maka Nidom mempertanyakan alasan pemerintah membeli alat tersebut. Menurutnya, alat rapid tes corona tersebut cocok untuk pemetaan daerah yang terjangkit virus covid-19. Malahan menurutnya cara pemerintah menyelesaikan virus corona tidak runut dalam aspek diagnostik.


"Tidak tepat, tidak menjawab persoalan. Persoalan kita ingin mengetahui berapa orang ODP berapa PDP berapa orang yang diobservasi tujuannya untuk memperhitungkan fasilitas kesehatan. Demikian juga untuk tracing, kalau tracing tidak bisa pake serologis. karena serologis itu ada IGG dan IGM, kalau orang itu terinfeksi virusnya belum ada," katanya.


Dengan alat yang sudah sampai ke Indonesia, pemerintah masih tetap menggunakan alat tersebut untuk pemetaan dareah mana saja yang terjangkit. Misalnya pengujian sample di wilayah perbatasan Jakarta dengan daerah lain.


"Dengan cara seperti itu pemerintah daerah bisa melihat resiko. sehingga pengawasan bisa dilihat dari sana," pungkasnya.


Sebelumnya, Pemerintah mengimpor 500 ribu alat rapid test dari Cina untuk mengecek penyebaran virus corona di Indonesia. Kepala BNPB yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letjen Doni Monardo memastikan rencana tersebut terus direalisasikan. Untuk proses pembelian dan pengecekan menggunakan rapid test pun sudah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.


Akurasi 30 Persen 

Ahli molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menyebut tingkat akurasi rapid test (pemeriksaan cepat) virus corona hanya sekitar 30 persen untuk mendeteksi virus Covid-19.

Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan, rapid test hanya dapat dijadikan penunjang dari tes spesimen yang sudah ada.

Sebab, kata Rusdan, rapid test berpotensi menghasilkan 70 persen hasil 'negatif' covid-19 palsu.


"Rapid test itu betul-betul tidak bisa diandalkan. Soalnya rapid test ini tidak bisa membedakan, apakah orang ini sedang sakit atau orang ini sudah sembuh. Karena sama-sama positif. Kalau kita bicara rapid test itu biasanya yang berbasis antibodi. Tapi dugaan saya, ya mungkin pemerintah ini hanya pertama. Jadi rapid test yang kualitatif, hanya bisa mengatakan yes or no gitu," kata Ahmad Rusdan ketika dihubungi KBR, Kamis (19/3/2020).


Konsultan genom di Laboratorium Kalbe ini menilai pemerintah tak dapat menggantikan tes spesimen atau PCR (Polymerase Chain Reaction).


Menurut Ahmad Rusdan, akuransi PCR mencapai di atas 70 persen. Menurutnya, tak ada satupun artikel ilmiah yang menunjukkan pengunaan rapid test untuk memastikan seorang bebas Covid-19.


"Data-data yang ada saat ini, itu menggunakan ART-PCR. Saya malah belum lihat ada jurnal ilmiah yang melaporkan, bahwa dari sekian puluh ribu atau ratusan ribu kasus yang positif, yang positif itu pakai rapid test," kata Rusdan.


"Setahu saya itu ini masih pakai ART-PCR. Rapid test itu mungkin pengunaannya sebagai back-up aja. Misalnya, begini untuk rapid test itu kemungkinan besar penggunanya tadi di bandara, di pelabuhan. Di mana kita bicara orang yang mobile, orang yang keluar masuk," lanjutnya.


Ahmad Rusdan menyebut, saat ini terdapat dua jenis rapid test. Jenis pertama hanya mengukur antobodi, sedangkan jenis kedua dapat mendeteksi virus Covid-19. Namun tetap melakukan uji di lab dengan waktu sekitar satu jam.


"Memang penting sekali dari penegakan diagnosis. Jadi lini pertama, karena memang seed-nya sendiri di instruksinya itu digunakan sebagai auxiliary. Auxiliary itu sebagai penunjang, bukan lini pertama. Ini harus kita ketahui juga. Jadi jangan menggunakan (rapid test) ini sebagai lini pertama, tetap harus diukur dengan PCR. Jadi rapid test ini memang tidak bisa menggantikan ART-PCR. Maka penggunaannya harus tepat. Satu-satunya yang bisa saya bayangkan, ini usefull lebih ke surveilans," jelasnya.


Editor: Rony Sitanggang



  • rapid test
  • Kesehatan
  • COVID-19
  • virus corona

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!