BERITA

Darurat Sipil Tangani Covid-19, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan: Tak Tepat!

Darurat Sipil Tangani Covid-19, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan: Tak Tepat!

KBR, Jakarta - Koalisi Reformasi Sektor Keamanan menilai penerapan darurat sipil dalam penanganan Covid-19 di Indonesia tidak tepat. 

Anggota Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang juga Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, menyatakan, penggunaan istilah darurat sipil memiliki konsekuensi besar dalam penanganan bencana wabah ini.

"Jangan bicara mengenai darurat sipil, karena tadi ada konsekuensi pengerahan pasukan militer. Karena ada asumsi bahwa pemerintahan sipil, institusi sipil, dinilai sudah tidak lagi mampu bekerja secara optimal. Sementara hari ini belum ada pemerintahan sipil atau institusi sipil yang terganggu dengan adanya wabah ini. Mereka semuanya masih bisa memegang pengendalian operasi dalam penanganan wabah," ucap Wahyudi saat dihubungi KBR, Senin (30/3/2020) sore.

Wahyudi Djafar khawatir terjadi salah kaprah dalam penerapan istilah darurat sipil. Menurutnya, kondisi darurat sipil mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1956 tentang Keadaan Bahaya.

Selain itu, penerapan darurat sipil itu berbeda dengan penerapan darurat dalam tiga Undang-Undang lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Wahyudi menyebut, ketika menerapkan darurat sipil pun, pemerintah juga harus melaporkan ke PBB untuk mekanisme pemantauannya.

"Perpu 23 Tahun 1956 tentang Keadaan Bahaya membagi keadaan darurat menjadi tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, sampai darurat perang. Sehingga itu memberikan justifikasi bagi pengerahan pasukan militer. Ini berbeda dengan pernyataan darurat dalam konteks bencana yang diatur UU Penanggulangan Bencana dan UU Kekarantinaan Kesehatan. Meskipun sama-sama dinyatakan dalam keputusan presiden," tambahnya.

Wahyudi juga menekankan, istilah darurat sipil sejatinya merupakan pendekatan konvensional militer, bukan sebagai pijakan dalam mengambil kebijakan untuk kesehatan publik. 

"Perpu yang mengatur darurat sipil sudah usang dan muncul saat demokrasi terpimpin dalam rangka menekan pemberontakan daerah-daerah," katanya.

Ia juga khawatir jika darurat sipil itu diterapkan, akan semakin membatasi kebebasan sipil di Indonesia di tengah pandemi Covid-19.

"Darurat sipil nanti gradasinya kan naik ke darurat militer. Ketika darurat militer, maka kemudian yang berkuasa adalah penguasa darurat militer, dalam hal ini adalah militer, nanti sampai ke perang dan seterusnya," ungkapnya.

Merujuk kepada regulasi yang tersedia, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

"Hal ini didasarkan pada isu Covid-19 yang merupakan kondisi yang disebabkan oleh bencana penyakit, bukan karena pemberontakan di daerah-daerah," tambah Wahyudi Djafar.

Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta ada kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, yang dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. 

Kebijakan itu, kata Jokowi, perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil. 

Editor: Kurniati Syahdan 

  • Koalisi Reformasi Sektor Keamanan
  • Elsam
  • Darurat Sipil
  • Jokowi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!