RUANG PUBLIK

Naikkan Harga Rokok: Kubu Jokowi Setuju, Kubu Prabowo Skeptis

Naikkan Harga Rokok: Kubu Jokowi Setuju, Kubu Prabowo Skeptis

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) Kemenkes RI 2018 menemukan jumlah perokok anak meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir.

Riskesdes 2018 juga mencatat bahwa kasus penyakit yang terkait kebiasaan merokok terus bertambah dari waktu ke waktu.

Karena itu, talkshow Ruang Publik KBR menghadirkan perwakilan dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi – Ma’ruf serta Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandi untuk menggali pandangan kedua kubu tentang masalah rokok.

Kubu TKN diwakili oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany. Sementara kubu BPN diwakili oleh dr. Harun AR Albar. Berikut cuplikan perbincangannya:


Baca Juga:Perokok Anak Meningkat, Indonesia Masih Jadi Surga Industri Rokok


TKN: Pejabat dan Kiai Perlu Edukasi Bahaya Rokok

Prof. Hasbullah dari kubu TKN menilai bahwa rokok memiliki dimensi masalah yang kompleks. Di samping menjadi masalah kesehatan, rokok juga menjadi masalah sosial-ekonomi.

“Jadi dia (perokok) menghabiskan lebih banyak duit buat beli rokok, dibandingkan buat beli makanan yang bergizi baik untuk anak-anaknya. Itu penelitian kami,” jelas Prof. Hasbullah (12/3/2019)

Prof. Hasbullah juga memandang rokok memiliki dimensi keagamaan. “Rokok sudah jelas merusak diri dan merusak orang lain. Harusnya berani kita deklarasikan haram itu,” ujarnya.

Ia menyinggung bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya pernah mengeluarkan fatwa rokok haram pada tahun 2010.

Namun fatwa itu dianggap kurang efektif karena hanya mengharamkan rokok untuk ibu hamil dan menyusui saja.

“Saya kira masalah ini harus dipahami juga oleh tokoh agama, bahwa rokok sudah dibuktikan di seluruh dunia merusak diri dan orang lain,” jelasnya.

Timses Jokowi ini menilai, masih banyak pejabat publik dan kiai yang menganggap rokok tidak berbahaya.

“Di banyak kampung, masyarakat itu datang ke kiai bawa rokok. Ini tantangan besar kita, bagaimana kita didik mereka agar memahami bahayanya rokok,” tegasnya.

Namun Prof. Hasbullah mengingatkan, edukasi semacam ini membutuhkan waktu yang panjang.

“Kalau lihat pengalaman di berbagai negara, perlu waktu 30 – 40 tahun. Karena mengubah perilaku itu makan waktu panjang,” tukasnya.


BPN: “Jurus Bangau” dan Gerakan Bahagia Tanpa Nikotin

Dari kubu berbeda, dr. Harun selaku perwakilan BPN menyebut bahwa sumber utama masalah kecanduan rokok adalah tingkat stress masyarakat yang cukup tinggi.

“... dipecat karena lapangan kerja sempit, harga BBM naik, sembako naik, pelariannya rokok,” jelasnya.

Bertolak dari situ, dr. Harun menyebut bahwa masalah rokok perlu ditangani dari dua sisi, yakni sisi medis dan non-medis.

“Prabowo - Sandi sudah punya ‘jurus bangau mengurangi defisit’. Sektor non-medis itu diperbaiki. Dengan lapangan kerja terbuka, sembako murah, pasti ada kesadaran untuk mengurangi rokok,” jelasnya.

Timses Prabowo ini juga menyebut akan mengatasi masalah kecanduan rokok lewat gerakan Bahagia Tanpa Nikotin.

“Problem utama rokok adalah nikotin yang menyebabkan kecanduan. Makanya kita promosikan gerakan hashtag ‘Bahagia Tanpa Nikotin’. Dokter Milenial Indonesia sedang menggodok itu,” tukasnya.

Menurut dr. Harun, nantinya gerakan Bahagia Tanpa Nikotin akan berisi program preventive dan promotive.

Sosialisasi bahaya rokok untuk anak-anak akan dilakukan lewat fasilitas kesehatan, dengan mengedukasi dan melibatkan para orang tua.

“Puskesmas untuk (edukasi) bapak-bapak, posyandu untuk (edukasi) emak-emak. Merekalah sebagai petugas untuk anak-anaknya yang merokok,” jelasnya.


Wacana Penaikan Harga Rokok: TKN Setuju, BPN Skeptis

Kubu TKN dan BPN sepakat bahwa masalah kecanduan rokok perlu ditangani lewat program edukasi publik.

Namun saat bicara kenaikan harga rokok, dua kubu ini punya pendapat berbeda. Timses Jokowi mendukung, sementara Timses Prabowo bersikap skeptis.

Prof. Hasbullah dari kubu TKN mengatakan, “… memang kita perlu menaikkan harga rokok untuk mencegah perokok pemula, supaya anak-anak tidak beli,” ujarnya.

Timses Jokowi ini juga menyebut bahwa penaikkan harga rokok tidak akan memberatkan perekonomian negara.

Menurut Prof. Hasbullah, “… sebetulnya pemerintah dan DPR tidak usah takut kalau harga rokok dinaikkan. Ngga usah dengar omongan industri, nanti ekonomi susah, petani susah, tidak pernah terjadi itu. Kalau harga rokok dinaikkan pemerintah akan dapat duit lebih banyak dari cukai rokok,” ujarnya.

Prof. Hasbullah menambahkan bahwa pendapatan dari cukai itu bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan petani tembakau dan pekerja industri rokok, supaya mereka mendapat pekerjaan lebih baik.

Di sisi lain, timses Prabowo berpendapat bahwa kebijakan penaikkan harga rokok tidak bersifat holistik.

“Dalam riset dikatakan bahwa pengeluaran keluarga miskin itu nomor satu beras, nomor dua rokok. Dengan menaikkan harga rokok, mungkin pengeluaran terbesarnya malah rokok, bukan beras lagi. Jadi penanganannya harus holistik,” sanggah dr. Harun.

Alih-alih menaikkan harga rokok, dr. Harun menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), komisi pertelevisian, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan juga MUI untuk membuat program promotive dan preventive yang holistik.

“Kalau masyarakat Indonesia sudah sadar, biar rokoknya gratis dikasih, mereka akan menolak,” jelasnya.

Timses Prabowo juga menyebut akan mendorong industri untuk berinovasi, semisal dengan membuat rokok nikotin rendah, atau bahkan tanpa nikotin sama sekali.

“Jadi semua happy. Pemerintah happy, dokter, rumah sakit happy. Pabrik rokok happy juga dengan menjual rokok yang sehat. Jangan bilang itu mustahil, sekarang penelitian ke arah sana sudah ada,” ujar dr. Harun.


  • Industri Rokok
  • #rokok
  • Jokowi-Maruf Amin
  • Prabowo-Sandi
  • TKN
  • BPN

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!