RUANG PUBLIK

Kasus Robertus Robet: Mengingat Lagi Mudarat Dwifungsi ABRI

Kasus Robertus Robet: Mengingat Lagi Mudarat Dwifungsi ABRI

Robertus Robet, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), ditangkap tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Kamis dini hari (7/3/2019). Aktivis HAM ini ditangkap atas tuduhan penghinaan terhadap TNI.

Seminggu sebelum penangkapan, Robet sempat melakukan orasi dalam Aksi Kamisan di depan istana negara, Jakarta, terkait tema dwifungsi militer (28/2/2019).

Orasi tersebut disampaikan untuk merespon ujaran Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, terkait wacana penempatan perwira TNI di lembaga pemerintahan.

Dalam video Youtube yang diunggah akun Tajuk Flores (7/3/2019), Robet terlihat membuka orasinya dengan menyanyikan lagu kritik untuk militer Orde Baru.

Lagu yang populer di kalangan aktivis reformasi 1998 itu memuat lirik:

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna, bubarkan saja, diganti Menwa, kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota nggak pernah bayar, apalagi makan di warung Tegal....

Robet juga menyinggung soal bahaya dwifungsi ABRI yang pernah terjadi di Indonesia, salah satunya lewat pernyataan berikut:

Kalau kamu pernah tahu sedikit, pernah belajar sejarah, tentang bagaimana militer hidup dalam seluruh kehidupan sipil kita, kamu akan berpikir dua kali untuk mengiyakan apa yang akan dilakukan pemerintah dengan mengembalikan kembali jabatan-jabatan sipil dipegang oleh militer.


Baca Juga: Pelesetkan Lagu ABRI, Ini Alasan Polisi Jadikan Robertus Tersangka


Dampak Negatif Dwifungsi ABRI

Seperti disebut Robet dalam orasinya, dwifungsi militer memang menggoreskan kenangan buruk dalam sejarah bernegara.

Hal ini sudah dibahas dalam banyak penelitian. Di antaranya tercatat dalam makalah Dwifungsi ABRI: Legalisasi Kekuasaan Golongan Militer dalam Pemerintahan Orde Baru (2014) yang ditulis Andreas Lantik dari Universitas Sanata Dharma.

Andreas (2014) menjelaskan bahwa dwifungsi ABRI selama era Orde Baru membawa sejumlah mudarat dalam bidang politik, ekonomi, bahkan memicu korupsi di kalangan pejabat militer. Berikut paparan singkatnya.


Dwifungsi ABRI: Menangkan Pemilu Lewat Intimidasi

Di awal Orde Baru, kalangan pejabat ABRI menggarap Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar untuk bersaing dengan partai-partai sipil dalam Pemilu.

Dalam Pemilu perdana Orde Baru tahun 1971, Golkar kemudian menghimpun suara dengan mengintimidasi para pemilih, khususnya yang berada di desa-desa.

Menurut catatan Andreas (2014), kelompok yang jadi sasaran empuk intimidasi adalah orang-orang bekas pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saat itu kondisi orang-orang yang dicap PKI sangat rentan. Jika tidak menuruti kemauan militer, mereka bisa dengan mudah ditahan atas tuduhan pemberontakan komunis.

Hal ini dikonfirmasi R. W. Liddle dalam Evaluation from Above: National Development and Local Leadership in Indonesia (1973).

Profesor politik dari Universitas Ohio itu menyebut bahwa Pemilu di desa-desa diwarnai dengan pemanggilan bekas anggota PKI ke Komando Resor Militer (Koramil). Di sana, mereka diharuskan untuk memilih Golkar.

Harold Crouch, penulis buku Militer dan Politik di Indonesia (1986), juga menyebut bahwa partai-partai lain kerap mengeluhkan intimidasi militer.

Intimidasi muncul dalam bentuk penyergapan rumah aktivis, serta penahanan pemimpin lokal atas tuduhan percobaan kudeta.

Berkat aksi-aksi sejenis, selama era Orde Baru Golkar selalu menang telak dalam Pemilu dan menguasai mayoritas kursi parlemen.

Menurut Andreas (2014), saat itu Golkar sebagai kekuatan dominan tidak pernah menyalurkan aspirasi kaum sipil.

Praktik dwifungsi ABRI hanya menjadikan partai sebagai alat melanggengkan kekuasaan militer.


Dwifungsi ABRI: Korupsi di Badan Militer

Di era Orde Baru, badan usaha penting seperti Pertamina, Bulog, dan berbagai BUMN besar dipegang oleh perwira senior Angkatan Darat.

Dalam aturan mainnya, badan usaha tersebut adalah milik pemerintah. Namun menurut Andreas (2014), dalam praktiknya mereka beroperasi layaknya perusahaan swasta, hanya bertanggung jawab pada pimpinan militernya saja.

Andreas (2014) menyebut, di masa itu terjadi banyak kasus pengemplangan dana di sektor-sektor ekonomi milik negara, baik untuk mengisi kas kesatuan militer ataupun untuk menumpuk kekayaan pribadi para perwira.

Harold Crouch (1986) pun mencatat, saat itu militer kerap melakukan kongkalikong dengan importir-importir “nakal”.

Para importir "nakal" biasa melakukan pemalsuan dokumen impor dan memanipulasi data keuangan hingga merugikan Indonesia puluhan juta dolar Amerika.

Biarpun sempat ada beberapa tersangka yang ditahan, tapi menurut Harold tak ada seorang pun yang pernah dituntut dan diadili.

Penyebabnya: karena mereka punya hubungan dagang dengan pejabat dari kalangan tentara.

(Sumber: Dwifungsi ABRI: Legalisasi Kekuasaan Golongan Militer dalam Pemerintahan Orde Baru, 2014)

  • dwifungsi militer
  • dwifungsi ABRI
  • Robertus Robet

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!