HEADLINE

Geram dalam Aksi Diam 700 Hari Penyerangan Novel Baswedan

Geram dalam Aksi Diam 700 Hari Penyerangan Novel Baswedan


KBR, Jakarta - Jam digital seukuran televisi 29 inch yang diletakkan di lobby gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menampilkan angka 700, Selasa (12/3/2019). Angka-angka yang, menunjukkan usia mangkraknya pengusutan kasus penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Pada layar juga ditulis: Sejak Novel Baswedan Diserang, Selama Itu Pula Polisi Gagal Ungkap Pelaku.

Novel disiram air keras oleh dua orang tak dikenal pada 11 April 2017 silam, usai salat subuh. Akibat ulah peneror tersebut, mata penyidik KPK ini nyaris buta. Hingga kini ia mesti menjalani perawatan rutin untuk pemulihan.

"Untuk mata kiri yang dioperasi semakin baik dan untuk mata kanan, stabil. Tapi tetap harus kontrol," kata Novel saat dihubungi jurnalis KBR, Selasa (12/3/2019). Dokter melakukan operasi kecil untuk mengganti jaringan yang rusak di mata kirinya. Sedang agar penglihatan mata kanannya jelas, perlu ada bantuan lensa kontak keras (hard lens).

Kondisi tersebut, tak pelak memengaruhi tugasnya. "Ya karena ada kekurangan sedikit penglihatan, pasti berpengaruh (saat menangani kasus). Persisnya (berapa persen) nggak tahu, tapi pasti besar pengaruhnya," tambah dia.

Polisi menyatakan telah membikin tim gabungan guna mengusut perkara ini, tapi 700 hari berlalu, pelaku tak kunjung berhasil diungkap. Wadah Pegawai KPK juga Koalisi Masyarakat Sipil geram, aksi pun berkali-kali sudah dilakukan. Tapi untuk ini kali, berbeda. Gugatan massa diekspresikan lewat aksi diam.

"Berbagai suara sudah disuarakan, berbagai aksi telah kami lakukan, protes dan aksi sudah digelar di seluruh penjuru Indonesia. Akhirnya tiba masanya kami menyuarakan suara kalbu kami, kalimat yang hanya bisa terdengar saat diam," ungkap Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo di Jakarta, Selasa (12/3/2019).

"Diam, adalah bahasa tanpa sandiwara dan kebohongan. Diam, adalah bahasa terakhir saat lidah kita semua sudah membeku menjeritkan keadilan. Mari bersama dalam 700 detik melawan dengan bahasa diam," sambung Yudi.

red

Peserta aksi diam 700 hari penyerangan Novel Baswedan menuntut agar Presiden Joko Widodo membentuk TGPF, Jakarta, Selasa (12/3/2019). (Foto: ANTARA/ Rivan Awal)

Yang terdengar sepanjang 700 detik itu hanya deru kendaraan yang melintas di Jalanan Kuningan, Jakarta. Di depan Gedung Utama KPK, para peserta aksi serempak duduk. Beberapa di antaranya terlihat menggunakan masker yang menutup mulut, sambil menenteng poster tuntutan bertulis "Aksi Diam 700 Hari Pasca-Penyerangan Novel Baswedan".

Penerangan dari lampu yang menggantung di atap bangunan pun sengaja dimatikan. Cahaya hanya datang dari light stick yang dibagikan sebelum aksi.

Kondisi temaram, jadi perumpamaan jalan gelap penyidikan kasus Novel. Sementara light stick yang digenggam peserta aksi jadi penanda, masih ada keyakinan untuk beroleh keadilan.

Baca juga:

Kendati berlangsung di kawasan Gedung Antirasuah, tak tampak satu pun pimpinan KPK yang hadir di tengahnya. Padahal menurut Yudi, sebelum peringatan tersebut, Wadah Pegawai mengirim surat elektronik berisi pemberitahuan aksi ke seluruh penghuni gedung.

"Kami, pegawai KPK meminta kepada segenap komponen bangsa untuk sejenak meninggalkan suara nyaring yang terus disuarakan oleh berbagai kalangan yang menuntut keadilan dan melawan kezaliman, perlindungan terhadap putera dan puteri yang bekerja di KPK untuk menjalankan cita-cita memberantas korupsi di negeri ini jauh dari rasa keadilan," kata Yudi.

Kritik terhadap pimpinan KPK atas penuntasan kasus Novel ini sempat diutarakan sejumlah bekas pimpinan juga para pegiat antikorupsi. Pimpinan jilid IV dianggap tak tegas bersikap dan setengah hati membela jajaran petugasnya. Sebab mestinya, petinggi KPK bisa saja bersurat ke presiden untuk mendorong pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Atau juga, menempuh langkah lain guna menagih penyelesaian kasus ke kepolisian. Bukan saja untuk kasus Novel, melainkan juga dugaan teror lain yang menimpa petugas antirasuah. 

red

Poster ajakan aksi 700 hari penyerangan terhadap Novel Baswedan. (Gambar: akun twitter KPK)

Peneliti lembaga antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban menerjemahkan aksi diam sebagai bentuk rentetan ketidakpuasan tersebut.

"Yang saya tangkap sebagai bentuk rasa frustrasi, baik dari teman-teman WP (Wadah Pegawai) sebagai rekan terdekat Novel, juga dari publik secara umum. Ini menunjukkan sebenarnya ada ketidakpuasan terhadap cara negara dalam menindaklanjuti penyerangan terhadap Novel. Dan ini sebetulnya suatu hal yang harus dipecahkan karena tim yang sudah dibentuk di bawah kepolisian dinilai tidak menjawab permasalahan itu," ungkap Lalola.

Lola melanjutkan, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi tetap menuntut Presiden Joko Widodo membentuk TGPF, ketimbang mengandalkan tim bentukan Polri. Anggota tim yang kompeten, berintegritas dan jelas rekam jejaknya perlu segera dibentuk dan bertanggung jawab langsung di bawah presiden.

Desakan lain, pimpinan KPK mesti menindaklanjuti laporan mengenai dugaan perintangan penyidikan dalam perkara penyerangan terhadap Novel. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Shaleh Al Ghifari menyebut, penyerangan terhadap Novel hanya satu contoh dari puluhan ribu kasus yang penanganan mengalami under-delay atau penundaan berlarut di kepolisian.

"Ketidakprofesionalan berupa menunda-nunda dan membuat tidak jelas perkara yang ditangani merupakan fenomena umum di Kepolisian. Penelitian LBH Jakarta pada tahun 2016 menemukan bahwa terdapat 44.273 perkara hilang di Kepolisian dan 255.618 perkara masih mengendap," beber Ghifari.

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/nasional/01-2019/diduga_mengetahui_penyerangan_ke_novel_baswedan__propam_polri_periksa_iriawan/98704.html">Diduga Mengetahui Penyerangan ke Novel Baswedan, Propam Periksa Iriawan</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="https://kbr.id/nasional/01-2019/tim_gabungan_kasus_novel__ini_kata_komnas_ham/98686.html"><b>Ini Kata Komnas HAM Soal Tim Gabungan Kasus Novel</b></a>&nbsp;<br>
    




Editor: Nurika Manan

  • Novel Baswedan
  • KPK
  • penyerangan Novel
  • teror air keras

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!