RUANG PUBLIK

Bayang-bayang Militer dalam Pemilu, dari Era Soekarno sampai Jokowi

""Tangan kekar" militer nyaris tidak pernah absen dalam Pemilu Indonesia. Mulai dari era Soekarno sampai era Jokowi sekalipun. Berikut paparan singkatnya."

Adi Ahdiat

Bayang-bayang Militer dalam Pemilu, dari Era Soekarno sampai Jokowi
Ilustrasi. (Foto: ANTARA)

“Tangan kekar” militer selalu hadir dalam kehidupan sosial-politik Indonesia, meski dengan wajah dan peran yang berbeda-beda.

Hal ini dijelaskan Sri Yanuarti, peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI, lewat publikasi Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia (Jurnal Penelitian Politik LIPI, 2018).

Menurut catatan Sri (2018), militer nyaris tidak pernah absen dalam setiap gelaran Pemilu, mulai dari era Soekarno hingga era Jokowi sekalipun. Berikut paparan singkatnya.


Militer dalam Pemilu Orde Lama

Keterlibatan militer dalam politik sudah terjadi sejak Pemilu pertama Indonesia tahun 1955.

Saat itu militer punya hak memilih dan hak dipilih. Tapi mereka tidak mendapat jatah kursi parlemen.

Tahun 1954, bekas Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Abdul Haris Nasution mendirikan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) sebagai “organisasi garis depan” para tentara.

Menurut catatan Sri (2018), IPKI mengincar pemilih dari kalangan personil militer aktif, keluarga mereka, sekaligus para veteran.

Saat itu, dukungan militer terhadap IPKI secara terang-terangan datang dari Divisi Siliwangi Jawa Barat. Tentara memberi dukungan berupa angkutan dan uang untuk orang-orang yang mau ikut berkampanye.

Namun, pada Pemilu 1955 IPKI hanya memenangkan 1,4 persen suara pemilih.

Setelah itu IPKI terus aktif sebagai oposisi Soekarno, sampai akhirnya rezim Soekarno jatuh.

Pada tahun 1971 IPKI kembali bersaing dalam Pemilu, namun kalah telak dari partai militer tandingan yang muncul belakangan, yakni Golkar.


Militer dalam Pemilu Orde Baru

Sepanjang Orde Baru, Golkar berperan sebagai alat untuk melanggengkan rezim Soeharto.

Berkat kebijakan dwifungsi ABRI, di era ini militer amat leluasa melakukan intervensi terhadap proses Pemilu.

Menurut catatan Sri (2018), intervensi yang dilakukan militer saat itu adalah memecah-belah partai pesaing Golkar lewat operasi intelijen. Kelompok masyarakat yang tidak memilih Golkar juga diintimidasi dengan ancaman kekerasan.


Baca Juga: Kasus Robertus Robet: Mengingat Lagi Mudarat Dwifungsi ABRI 


Militer dalam Pemilu Pasca-Reformasi

Selepas era Orde Baru, peran militer dalam pemilu di Indonesia mengalami pasang surut.

Sri (2018) menyebut bahwa dalam kurun satu dekade pertama reformasi (2000 – 2010) militer mengambil jarak dengan politik praktis, termasuk dalam Pemilu.

Namun, pada dekade kedua reformasi (2010 – sekarang) segelintir perwira tergoda "kembali" masuk ke kehidupan politik nasional.

Hal ini di antaranya terlihat dari peningkatan jumlah calon bupati, gubernur dan presiden yang berlatar belakang militer.

Dalam catatan Sri (2018), tahun 2015 ada 4 calon kepala daerah dan 1 calon wakil kepala daerah yang merupakan anggota TNI aktif.

Ada juga sejumlah anggota TNI yang mengundurkan diri dari kemiliteran, kemudian maju menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur.  Di antaranya Agus Harimurti Yudhoyono  yang maju dalam pilkada Jakarta 2017.

Sementara itu, kalangan purnawirawan TNI juga saling bersaing dalam bursa pemilihan presiden.

Beberapa purnawirawan yang pernah jadi Capres/Cawapres adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, dan Wiranto. Prabowo bahkan sudah maju jadi Capres untuk ketiga kalinya dengan ikut Pemilu 2019.


Militer dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019

Tahun 2014 Jokowi maju sebagai Capres dari kalangan sipil. Namun, ia tak juga lepas dari bayang-bayang kekuatan militer yang berdiri di belakangnya.

Sri (2018) menyebut bahwa pada 2014 kubu Jokowi membentuk Tim Bravo 5, tim yang berisikan bekas petinggi militer untuk pemenangan Jokowi - Jusuf Kalla.

Tim Bravo 5 terdiri dari para purnawirawan TNI yang mayoritas adalah lulusan Akademi Militer angkatan 1970-an, seangkatan dengan Luhut Binsar Panjaitan yang kini menjabat Menko Bidang Kemaritiman.

Selepas Pemilu 2014 Tim Bravo 5 sempat dibekukan. Namun menjelang Pemilu 2019 tim ini diaktifkan kembali dengan tujuan memenangkan pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin.

Begitupun dengan kubu Prabowo. Menurut Sri (2018), di Pemilu 2019 ini ia didukung oleh sederet purnawirawan jenderal TNI dari beragam matra, mulai dari Kepala Badan Intelijen Strategis sampai mantan menteri.

(Sumber: Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia, Jurnal Penelitian Politik LIPI, 2018)

 

  • dwifungsi militer
  • dwifungsi ABRI
  • Jokowi
  • Prabowo Subianto
  • Pemilu 2019

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!