BERITA

Dianggap Tak Punya Hak Gugat Pemutusan Internet Papua, SAFEnet Geram ke Jokowi

""Kami kerap diminta, diundang menjadi narasumber. Bahkan saya juga bicara atas undangan pemerintah, bicara di forum tata kelola internet dunia di Berlin tahun lalu. Sekarang tidak diakui pemerintah.""

Dianggap Tak Punya Hak Gugat Pemutusan Internet Papua, SAFEnet Geram ke Jokowi
Siaran pers Kominfo tentang pemblokiran internet di Papua. (Foto: situs kominfo.go.id)

KBR, Jakarta - SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) geram dengan Presiden Joko Widodo dan Kementerian Komunikasi dan Informatika karena dianggap tak memiliki legal standing atau kekuatan hukum ketika menggugat pemutusan akses internet di Papua.

Gugatan itu diajukan Tim Pembela Kebebasan Pers ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada November 2019 lalu.

Tim itu terdiri dari AJI Indonesia dan SAFEnet sebagai penggugat serta LBH Pers dan, YLBHI, Kontras, Elsam dan ICJR sebagai kuasa hukum.  

Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan lembaganya memiliki badan hukum dan sering diminta masukan oleh pemerintah terkait persoalan digital. Damar mengaku tersinggung lembaganya tak diakui saat mengkritik pemerintah.


"Kami kerap diminta, diundang menjadi narasumber. Bahkan saya juga bicara atas undangan pemerintah, bicara di forum tata kelola internet dunia di Berlin tahun lalu. Itu juga atas undangan pemerintah. Bagaimana sekarang, ketika mengajukan tuntutan seperti ini, kami tidak diakui keberadaannya? Itu kan terus terang mengecewakan, dan ini jadi keprihatinan saya," kata Damar setelah sidang agenda penyerahan replik di PTUN Jakarta, Rabu (5/2/2020).


Damar Juniarto mengatakan pemerintah telah semena-mena memutus atau memblokir internet di Papua pada Agustus 2019. Ia menganggap tindakan pemerintah itu tidak dapat dibiarkan.


Ia menilai pemerintah mencoba mencari-cari dalih pembenaran terhadap tindakan throttling (perlambatan akses internet) maupun pemblokiran internet di Papua. Alasan itu termasuk menggunakan pasal karet di UU ITE, yaitu pasal 40.


"Kelihatan sekali pemerintah tidak mengerti apa yang dia susun. Lalu tidak memahami bahwa apa yang dia lakukan ini punya berdampak yang besar. Kalau pemerintah menggunakan pasal hukum hanya untuk sebagai pembenar, tapi tidak memahami isinya, itu akan jadi preseden luar biasa. Penyalahgunaan wewenang, yang menurut saya harus dikritik betul. Dia (UU ITE) plintir sesuka hati dan ini menjauhi dari bunyi pasalnya sendiri," lanjutnya.


Damar menegaskan pasal 40 UU ITE tidak memberikan kewenangan pemerintah memutus internet. Namun hanya membatasi konten di internet saja.


Pada sidang sebelumnya, 29 Januari 2020, Presiden Joko Widodo melalui jaksa negara sebagai kuasa hukum memberikan tanggapan atas gugatan AJI Indonesia dan SAFnet.


Dalam tanggapan itu, Presiden RI selaku Tergugat I menyebut gugatan para penggugat error in persona (salah pihak), para penggugat juga dinilai tidak berhak mengajukan gugatan (persona standi in judicio) dan dinilai isi gugatan kabur (obscuur libel).


Tanggapan Presiden RI itu sama dengan tanggapan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang disampaikan di sidang 22 Januari 2020 yang intinya menyebut AJI dan SAFEnet tidak memiliki legal standing menggugat.


Pada 19-20 Agustus 2019 lalu, pemerintah melalui Menkominfo Rudiantara mengeluarkan Siaran Pers memberlakukan throttling bandwith (perlambatan akses internet) di Papua. Dilanjutkan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September. Pemblokiran akses internet diperpanjang hingga dibuka kembali pada 11 September 2019. Tindakan itu diambil pemerintah merespon kasus demonstrasi menentang rasisme Papua yang berujung kerusuhan di sejumlah tempat di Papua.


Tak berdasar hukum


Tim Pembela Kebebasan Pers menyebut pemutusan internet Papua pada Agustus 2019 dilakukan pemerintah tanpa dasar hukum yang jelas.


Dampak pemutusan itu, aktivitas dan kinerja jurnalis terganggu selama pemutusan akses internet.


Kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers Ade Wahyudin menganggap hal tersebut sebagai tindakan kesewenang-wenangan pemerintah.


"Pemutusan internet ini dilakukan dengan dasar PP Nomor 71 tahun 2019. Itu tentang penyerangan sistem elektronik. Diakui oleh mereka bahwa, PP itu berlaku pada Oktober 2019. Sedangkan peristiwa terjadinya pemutusan ini bulan Agustus dan September. Bagaimana mungkin, perbuatan pemerintah tapi belum ada dasarnya. Dasarnya dibuat Oktober, tapi perilakunya Agustus dan September," Kata Ade setelah sidang agenda penyerahan replik di PTUN Jakarta, Rabu (5/2/2020).


Ade Wahyudin menilai pemerintah salah menafsirkan pasal 40 pada UU ITE terkait pembatasan konten internet. Pemerintah menjadikan pasal 40 ini sebagai salah satu dasar memutus akses internet di Papua.


Menurut Ade, pemerintah tidak diperbolehkan memutus akses internet, namun dapat membatasi konten-konten tertentu sesuai UU ITE.


"Dasar kuat kami melakukan gugatan itu, melalui isu kebebasan pers. Karena media dan jurnalis di lapangan tidak bisa melakukan konfirmasi. Tentu saja, karena tidak bisa melakukan konfirmasi, artinya peristiwa yang terjadi disana itu sangat sulit untuk di-crosscheck. Apalagi jurnalis lokal disana, mereka tidak bisa melakukan konfirmasi. Bahkan tidak bisa mengeluarkan berita-berita," lanjutnya.


Ade Wahyudi menegaskan AJI dan SAFEnet sebagai penggugat memiliki kekuatan hukum. Dua lembaga tersebut berbadan hukum dan berpengalaman mengadvokasi persoalan kebebasan pers di Indonesia.


AJI dan SAFEnet mengajukan tuntutan kepada Presiden Jokowi dan Menkominfo terkait pemutusan akses internet di Papua sejak 21 Agustus sampai 11 September 2019.


Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang dilanggar seperti Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 73 yang mengatur tentang pembatasan dan larangan yang hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang.


Kemudian Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.


Editor: Agus Luqman 

  • SAFEnet
  • internet
  • Papua
  • AJI
  • Kebebasan Pers

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!